Menguak Tabir Mukjizat

BOOK ID

Terkenal: Saeedi Roshan, Mohammad Bagher, 1340 -

Saedi Roshan, Mohammad bagher

Tajuk kontrak adalah keajaiban. Bahasa Indonesia

Tajuk dan nama penulis:Menguak Tabir Mukjizat: Membongkar Rahasia Peristiwa Luar Biasa Secara Ilmiah[Book]/ Muhammad Baqiri Saidi Rausyan; penterjemah : Ammar Fauzi Heryadi.

Spesifikasi Penerbitan:Qom: pusat penerbitan danpenterjemahan internasional al Musthafa, 2014= 1393.

Rupa:368 ص.14/5 × 21/5 س م.

Forrest: Pusat Antarabangsa bagi Terjemahan dan Penerbitan Al-Mustafa Salihullah؛ پ1393/267/174، Perwakilan Mostafa di Indonesia؛ 13.

ISBN:175000Rials 978-964-195-044-8 :

Status Penyenaraian: Fapa

Nota: Bahasa Indonesia.

Nota: Profil.

Thread: Miracle

موضوع:معجزه

ID Ditambah:Fawzi Hariadi, Ammar, Penterjemah

ID Ditambah:Fauzi Heryadi, Ammar

ID Ditambah:Al-Mustafa Society. Al-Mustafa International Center for Translation and Publication

ID Ditambah:Almustafa International University‪Almustafa International Translation and Publication center

Kedudukan Kongres:BP220/6/س7م6049519 1393

Dewey Rating:297/43

Nombor Bibliografi Kebangsaan:3649495

p: 1

Point

بسم الله الرحمن الرحیم

p: 2

Menguak Tabir Mukjizat

Membongkar Rahasia Peristiwa Luar

Biasa Secara Ilmiah

Muhammad Baqiri Saidi Rausyan

penerjemah:

Ammar Fauzi Heryadi

pusat penerbitan dan

penerjem ah an internasional al Musthafa

p: 3

Menguak Tabir Mukjizat Membongkar Rahasia Peristiwa Luar Biasa Secara

Ilmiah

penulis: Muhammad Baqiri Saidi Rausyan

penerjemah: Ammar Fauzi Heryadi

cetakan: pertama, 1393 sh / 2014

penerbit: pusat penerbitan dan penerjemahan internasional al Musthafa

percetakan: Norenghestan

jumlah cetak: 300

ISBN: 978-964-195-044-8

معجزه شناسی

ناشر: مرکز بین المللی ترجمه و نشر المصطفی اعله

تیراژ: 300

قیمت: 175000 ریال

مؤلف: محمدباقر سعیدی روشن

مترجم: عمار فوزی هریادی

چاپ اول: 1393 ش /2014م

چاپخانه: نارنجستان

© Al-Mustafa International Publication and Translation Center

Stores:

ORAN, Qom; Muallim avenue western , (Hujjatia). Tel-Fax: +98 25-37839305 - 9

OIRAN, Qom; Boulevard Muhammad Ameen, Y-track Salariyah. Tel: +98 25-32133106,

Fax: +98 25-32133146

IRAN, Tehran; Inqilab Avenue, midway Wisal Shirazi and Quds, off Osko Street, Block 1003.

Tel: +98 21-66978920

OIRAN, Mashad; Im am Reza (a.s) Avenue, Danish Avenue Eastern, midway Danish 15 and 17.

Tel: +98 51-38543059

www.pub.miu.ac.

ir m iup@pub.miu.ac.ir

kepada semua pihak yang turut andil dalam penerbitan buku ini kami haturkan banyak terima kasih

p: 4

Daftar Isi

MENGUAK TABIR MUKJIZAT......i

Pendahuluan ...............vii

1. Hakikat Mukjizat.......1

Mukjizat, Kembaran Wahyu.......1

Etimologi Mukjizat........5

Terminologi Mukjizat.......7

Hakikat Mukjizat dan Hal-hal Luar Biasa.......10

Apa Perbedaan antara Mukjizat dan Karamah?.......15

Pandangan Kristiani tentang Mukjizat.......18

2. Realitas Mukjizat.......27

Bagaimana Bisa Dipercaya?.......28

Sekilas tentang Tidur Artifisial.......30

Mendatangkan Arwah .......35

Dari Sudut Lain.......40

Anasir Pembentuk Mukjizat........44

Mukjizat dan Ilmu Empiris.......53

Kritik dan Analisis.......56

Mukjizat dan Hukum Akal.......60

Hubungan antara Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Buruk.......71

Mazhab Takwil dalam Mukjizat........74

Analisis Rasional dan Al-Qur'an .......84

Al-Qur'an dan Hukum Universal Kausalitas. ............85

Akal dan Kemungkinan Mengakui Mukjizat .......88

Perbedaan Prinsip Kausalitas dan Realitasnya ............90

Skala Kausalitas: Melampaui Alam Materi..............99

p: 5

Mukjizat antara Merusak atau Membatasi Hukum.......94

Mukjizat: Perbuatan Tuhan atau Nabi?.......98

3. Keniscayaan Mukjizat........115

Mukjizat dan Pembuktian Kenabian.......115

Ragam Cara Membuktikan Kenabian.......117

Faktor Perbedaan Pandangan tentang Pembuktian Kenabian.......122

Peran Mukjizat Membuktikan Kenabian.......126

Tujuan di Balik Tindakan Tuhan.......127

Mukjizat, Tanda Kekuasaan .........129

Mukjizat dan Hukum Alam yang Misterius.......130

Mukjizat dan Meyakinkan Orang Awam ....... 131

Pola Pembuktian dari Mukjizat.......133

4. Karakteristik Mukjizat.......151

Perbedaan Mukjizat Para Nabi dan Faktornya.......151

Al-Qur'an, Mukjizat Abadi Nabi Terakhir.......157

Al-Qur'an dan Tantangan.......160

Seruan Rasional........163

Kadar Tantangan Al-Qur'an.......164

Mukjizat yang Berbicara dan Tantangan Abadi.......166

Apa di Balik Ketakmampuan Manusia?.......172

Sharfah, Teori Non-Orisinal .......174

5. Fenomena dan Dimensi Mukjizat.......189

1. Struktur Dasar Lahiriah Ayat Al-Qur'an.......190

2. Pengetahuan Nabi yang Ummi...... ................. 255

3. Utuh dari Inkonsistensi dan Kontradiksi ..............287

Catatan Akhir.......325

Index. .......355

p: 6

Transliterasi Persia

p: 7

PEDOMAN

TRANSLITERASI ARAB

p: 8

Pendahuluan

Duhai Jelma Keindahan-Mu tertinggi di atas setiap puji luluh memuji-Mu lebih baik dari setiap puji.

Tak ada mata penyaksian, pasti kau lihat kalaulah ada menderita laksana mentari di inti setiap atom.

Fitrah nurani dan nalar logis senantiasa menuntun manusia untuk menyingkap realitas, hakikat eksistensi, serta menyelidiki sebab dan tujuannya. Maka, seseorang tidak pernah membatasi dirinya hanya pada ruang sesempit indra eksternal, namun selalu mencari-cari peluang menembus ke luar alam natural. Dari pola pandang ini, kepercayaan terhadap Tuhan, tanda-tanda umum dan bukti-bukti khusus Allah berada dalam daftar dok- trin yang benar-benar bermakna dan masuk akal. Atas dasar pola pandang ini pula, mukjizat adalah sebuah bukti gaib dan jawaban Tuhan terhadap naluri kuriositas dan hasrat serba ingin tahu manusia. Bukti dan jawaban itu diturunkan dalam rangka memperkenalkan sekaligus menegaskan rasul-rasul yang diutus Tuhan sepanjang sejarah kenabian.

p: 9

Akan tetapi, kemajuan pesat ilmu teknis dan sains modern telah membuka sederetan jendela cakrawala dunia materi.

Kenyataan ini pada gilirannya membentangkan tirai panjang di hadapan para pengakses hingga membuat mereka tidak dapat lagi menjangkau hakikat tertinggi. Kelemahan dan cacat metode epis- temologis pola pikir ini sangat serius hingga para penganutnya terpedaya lalu menganggap bahwa ‘atap’ realitas objektif hanya setinggi jangkauan indra. Sebagian penganut Empirisme secara prinsipal memandang agama dan metafisika tidak ubahnya sel mati. Ada juga sebagian dari mereka hanya mengakui nilai dan kebermaknaan setiap kebenaran sejauh dapat diverifikasi secara empiris, sekaligus bereaksi negatif atau skeptis terhadap apa saja yang nonempiris. Karena itu, mukjizat dikategorikan juga sebagai sebuah gejala di luar data-data empiris, dan mendapatkan tantangan serius. Jelas sekali, realitas objektif tidak akan berubah dengan kelakar selera yang kelihatan ilmiah, tidak pula akan berganti substansi eksistensialnya menjadi ketiadaan.

Tentu saja, kesalahpahaman seputar makna, objek konkret dan hakikat mukjizat, metode ontologis mukjizat, filsafat teleologis mukjizat, dan aspek-aspek lainnya telah melipatgandakan absurditas dan kerancuan duduk persoalan.

Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah sebuah upaya merekonstruksi, menafsir dan menganalisis satu dari sekian dasar dan infrasuktur pemikiran agama. Dalam buku ini telah diusahakan agar konsep utuh mukjizat dieksplanasi dalam konteks pemikiran Islam.

p: 10

Dimensi ontologis mukjizat akan membentuk sebuah bab tersendiri. Di dalamnya, akan dibawakan bukti-bukti khas dalam rangka membuktikan kemungkinan dan kenyataan mukjizat.

Bab III disusun secara khusus dalam rangka meneliti kejadian mukjizat, posisi dan mekanisme signifikasinya terhadap kebenaran kenabian. Bab IV adalah penelitian sekilas tentang aneka macam mukjizat para nabi dan rahasia perbedaan serta mukjizat abadi Nabi Islam, yaitu Al-Qur'an yang mulia.

Sementara Bab V adalah selayang pandang sekaligus, pada batas proposional, menjelaskan cakrawala kemukjizatan Al-Qur'an sebagai bukti atas kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW.

Buku ini ditutup dengan satu bab sebagai tinjauan global terhadap kemunculan dan dinamika ilmiah subjek mukjizat dari sudut pandang tokoh-tokoh pemikiran Islam. Dengan ini, pembaca dapat mengenal banyak sumber penting dan ikhtisar dari pandangan sejumlah pemikir Muslim.

Masukan poin-poin konstruktif dari para penggiat ilmu merupakan awal rasa syukur penulis buku dan sebuah langkah kooperatif dalam rangka memperkokoh bangunan megah pemikiran agama.

p: 11

Al-Qur'an secara eksplisit ataupun implisit mengulang- ulang bukti Ilahi itu di sepanjang uraiannya tentang kehidupan para nabi dan umat terdahulu.

p: 12

1.Hakikat Mukjizat

Mukjizat, Kembaran Wahyu

Di antara sekian fenomena di alam ini, manusia adalah makhluk yang bebas, penyelidik dan serbaingin tahu. Ciri khas aktivitas aklani dan penyelidikan swakarsa dalam tabiat manusia itu menjadi faktor penyebab hingga di hamparan alam semesta senantiasa aktif mengamati, meneliti, merenung, menimbang, memutuskan dan memilih yang terbaik.

Dari sisi lain, sejarah kehidupan manusia di muka bumi menunjukkan fakta bahwa agama dan kepercayaan, tidak ubahnya bahan konsumsi jiwa, merupakan kebutuhan yang tidak terelakkan bagi ruh insani. Umat manusia sama sekali tidak akan pernah merasa cukup darinya.

Atas dasar ciri khas ini (naluri serba ingin tahu dan selidik hakikat), generasi umat manusia tidak henti-hentinya menuntut bukti dan argumentsai atas kebenaran klaim dari siapa saja yang mengaku sebagai pemilik hubungan kewahyuan. Para pengemban

p: 1

risalah Ilahi juga sampai pada batas terdesak” (dharûrah), dalam rangka menyempurnakan bukti dan sesuai kehendak serta izin Tuhan Pengatur alam-membawakan bukti-bukti konkret dan mukjizat yang jelas untuk meyakinkan hubungan gaib mereka dengan Tuhan.

Al-Qur’an secara eksplisit ataupun implisit mengulang-ulang bukti Ilahi itu di sepanjang uraiannya tentang kehidupan para nabi dan umat terdahulu.

Belumkah sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, Ad, Tsamud dan orang-orang sesudah mereka. tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Telah datang rasul-rasul kepada mereka (membawa) bukti-bukti yang nyata (QS.

Ibrahim (14):9).

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu bebe- rapa orang Rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa bukti-bukti yang nyata (QS. Ruum [30]: 47).

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata (QS. Al-Hadid [57]: 25).

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa bukti dan mukjizat yang nyata itu adalah bayi kembaran wahyu kenabian sedemikian rupa sehingga keduanya tidak terpisahkan.

Sekarang pun, di dunia yang penuh hiruk pikuk dan tuntutan serta penantian, ada sekian aliran kepercayaan dan

p: 2

agama yang sangat berpengaruh pada kehidupan dan pemikiran manusia. Dalam rangka menegaskan ajaran dan membuktikan kebenaran aliran, masing-masing penganut membawakan bukti dan sejumlah mukjizat yang dinisbatkan kepada nabi mereka, seperti dinginnya api Raja Namrud dan keselamatan Nabi Ibrahim as darinya, pengaruh luar biasa tongkat Nabi Musa as—menonaktifkan pengaruh ahli sihir, membelah laut dan membuat lintasan untuk Bani Israil, membelah batu hingga darinya air mengalir sebanyak dua belas mata air, begitu juga mukjizat Nabi Isa as dalam menghidupkan kembali orang yang telah mati dan menyembuhkan penderita penyakit yang tidak terobati.

Namun, pada saat yang sama, mereka semua mengakui bahwa perkara-perkara yang luar biasa ini merupakan bukti yang teraba dan mukjizat yang terjangkau indra, yaitu mukjizat- mukjizat yang tidak ada keseutuhan dengan hakikat wahyu, namun hanya terjadi sesaat di masa hidup para pembawanya, dan sekarang sudah tidak ada yang tersisa dari bukti-bukti tersebut.

Dari semua mukjizat yang ada, hanya satu mukjizat dari satu agama Allah yang seutuh dengan hakikat wahyu, yang akan tetap abadi sepanjang sejarah dan berlaku sebagai bukti Ilahi dan fakta kebenaran.

Dengan suara yang jelas, mukjizat ini senantiasa menyerukan manusia agar merenung dan berpikir. Ia menyatakan, jika kalian ragu terhadap kaitan sakral dokumen Tuhan ini, maka bergabunglah kalian dan kerahkan segenap kekuatan kalian untuk mendatangkan perkara serupa. Akan tetapi, jika tidak

p: 3

sanggup, dan pasti kalian tidak akan sanggup, maka ketahuilah sesungguhnya karya ini bukan produk manusia, melainkan buatan Tuhan Pencipta alam semesta.

Karena Al-Qur’an tlah turun dari langit begitulah orang kafir mengumbar tuding.

Itu hanyalah legenda jua mitos itu bukanlah pembuktian dan penajaman cermat.

Katidakanlah kalau memang itu enteng bagimu sebegitu mudah bawakanlah satu surah.

Hanya lihat muka namun lalai makna tataplah batinnya jikalau kamu berakal.

Jalaluddin Rumi Mukjizat abadi itu adalah Al-Qur'an yang mulia, sebuah kitab samawi kaum Muslimin sekaligus bukti [kebenaran] Islam dan kenabian utusan terakhir Allah, Baginda Muhammad SAW.

Inilah kitab suci yang mengajarkan aktivitas aklani serta pola hidup yang serbarasional kepada kaum berakal dunia:

Dan orang-orang kafir Mekah berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah, "Sesungguhnya mukjizat- mukjizat itu terserah kepada Allah. Dan sesung-guhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata." Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan

p: 4

kepadamu Alkitab (Al-Qur'an) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al-Qur'an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-Ankabut [29]: 50-51).

Ada beberapa ayat bernuansa tantangan (tahaddî) yang beberapa kali diulang dalam Al-Qur'an. Mereka menjelaskan bahwa kitab suci ini adalah bukti terbaik bagi kebenaran Nabi SAW. Ia adalah mukjizat intelektual dan kultural yang tidak bergantung pada keterbatasan hidup nabi di dunia. Wujud kitab ini akan senantiasa berada di tengah umat manusia sebagai penjelas kebenaran dirinya. Ciri khas ini berbeda dengan mukjizat yang lain yang skala medan cahayanya sebatas kehidupan nabi pembawanya.

Kini tlah kujelaskan kalam sungguh fasih yang dari sihir jauh sempurna nun abadi.

Aththar Naisyaburi

Etimologi Mukjizat

Kata “mukjizat” adalah serapan dari bahasa Arab, mu jizah; berakar dari bentuk asal i jâz yang, pada gilirannya, merupakan bentuk derivatif dari ‘aja-za, artinya adalah ketidaksanggupan, kelemahan, juga berarti akhir segala sesuatu.(1) Merujuk sumber- sumber sastra Arab dan penggunaan kata ini, dapat dipahami bahwa pengertian dasar dari akar kata ini adalah sesuatu yang berposisi antonim dengan kekuatan dan kesanggupan.

p: 5


1- 1. Ibnu Faris: Maqâyîs Al-Lughoh, jld. 4, hlm. 232.

Tentu saja, kelemahan dan ketidaksanggupan ini punya banyak tingkatan dan aneka ragam fenomenanya, sebagaimana juga kesanggupan adalah makna yang ambigu dan punya banyak tingkatan. Mu jiz dan mu'jizah adalah nomina berbentuk aktif tunggal yang berarti orang yang melemahkan’. Bentuk pluralnya adalah mu'jizât (mukjizat).

Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah (QS. Al-Taubah [9]:2).

Dengan pengertian ini pula ada sebuah ayat yang menyatakan bahwa segenap peristiwa alam semesta masih terlalu lemah untuk sekedar mengungguli atau menaklukkan Tuhan alam.

Dan tiada sesuatupun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi (QS. Fathir [35]: 44).

Demikian pula, bentuk kata kerja “a-ja-za yang bentuk masdarnya adalah mu‘ajazah, juga digunakan dalam pengertian kontinuitas dalam kelemahan dan ketidaksanggupan.

Dan orang-orang yang berusaha (menentang) ayat- ayat Kami dengan anggapan untuk dapat melemahkan (menggagalkan azab Kami), mereka itu dimasukkan ke dalam azab (QS. Saba' [34]: 38).

p: 6

Ayat suci ini menjelaskan bahwa ada sekelompok manusia yang senantiasa berusaha memerangi kebenaran, padahal jerih payah mereka tidak menghasilkan apa-apa, kalau tidak justru tidak berkutik.

Istrinya berkata, “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah se- orang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang sangat aneh." (QS. Huud [11]: 72).

Ajuz yang bentuk pluralnya adalah ajaz digunakan dalam pengertian akhir, ujung dan akar pohon, yang basis dan dasar hidup pohon sangat bergantung padanya, dan kelemahannya akan berdampak pada punahnya pohon itu.

Maka kamu lihat kaum Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk) (QS. Al-Haa- qab [69]: 7).

Terminologi Mukjizat

Dalam istilah Kalam dan Tafsir, mukjizat adalah tindakan dahsyat dan gejala di luar kelaziman/kebiasaan (selanjutnya, baca: luar biasa) yang, sekalipun tertentangan dengan hukum kebiasaan natural, dilakukan para utusan Allah untuk membuktikan kebenaran klaim kenabian dan risalah Ilahi mereka. Mukjizat

p: 7

adalah perkara yang di hadapannya, orang-orang biasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk melakukan perkara serupa.

Mukjizat adalah perkara luar biasa, disertai dengan tantangan, unggul di atas perlawanan, ditampakkan oleh Allah melalui tangan para nabi-Nya agar menjadi bukti atas kebenaran risalah mereka.(1) Sepintas melihat beberapa karya klasik yang secara khusus membahas mukjizat cukup membantu untuk memetik beberapa poin.

Abul Hasan Ali bin Isa Zamani (w. 386 H) percaya bahwa mukjizat adalah sebuah peristiwa yang merusak tata sistem kebiasaan, dilapisi dengan tantangan dan tidak terbantahkan.(2) Pandangan sama ini juga dapat diamati dari karya pakar semasa- nya, yakni Abu Sulaiman Khathani.(3) Abu Bakar Muhammad bin Abu Thayyieb Baqillani (w. 403 H) lebih menekankan unsur penantangan pada mukjizat dan tampaknya kelemahan pihak lain.(4) Abu Bakar Abdul Qahir bin Abdurrahman Jurjani (471 H) juga menintikberatkan segi keunggulan mukjizat di atas kekuatan manusia dan menonjolnya sisi penantangannya; yakni dari segi manakah seharusnya Al-Qur'an itu ditantang dan ditandingi.(5) Jalaluddin Abdurahman bin Abu Bakar Suyuthi (w. 911 H) bahkan, di samping penegasan atas ketangguhannya terhadap perlawanan pihak lain, menyatakan bahwa keluarbiasaan mukjizat senantiasa seiring ketat dengan penantangannya. Dia

p: 8


1- 2. Rujuk sumber-sumber Teologi, tema kenabian; sumber- sumber Ulumul Al-Qur'an, tema mukjizat. Beberapa di antaranya adalah Al-Ta'rîfât, hlm. 96; Syarh Al-Ushûl Al- Khamsah, hlm. 568; Al-Milâl wa Al-Nihal, jld. 1, hlm. 102; Talkhîsh Al-Muhashshal, hlm. 350; Al-Irsyâd karya Juwaini, hlm. 308; Nihâyat Al-Aqdâm, hlm. 423; Al-Iqtishâd karya Ghazali, hlm. 174.
2- 3. Al-Nukat fi I'jâz Al-Qur'ân, “Tsalats Rasâ’il”, hlm. 111, diteliti oleh Muhammad Halafullah dan Muhammad Zaghlul Salam.
3- 4. Bayan Ijaz Al-Qur'an, “Tsalats Rasa'il, hlm. 20.
4- 5. Ijaz Al-Qur'an, hlm. 230.
5- 6. Al-Risalah Al-Syâfiyah; “Tsalats Rasā'il”, hlm. 123.

membaginya menjadi dua macam: mukjizat indrawi dan mukjizat aklani.(1) ("Mukjizat ialah terjadinya suatu perkara di luar kebiasaan atau menafikan sesuatu yang umum berlaku, selain juga kesesuaian perkara yang terjadi dengan klaim pelaku.") Mengenai hakikat mukjizat, Khajeh Nashiruddin Thusi menuliskan, “Mukjizat ialah terjadinya suatu perkara di luar kebiasaan atau menafikan sesuatu yang umum berlaku, selain juga kesesuaian perkara yang terjadi dengan klaim pelaku.”(2) Ayatullah Khuie mengidentifikasi beberapa ciri khas pada mukjizat: terjadi dalam konteks pembuktian kebenaran klaim kenabian; perkara yang diajukan sebagai mukjizat tidaklah mustahil menurut akal dan syariat; dan harus berkorespondensi dengan perkara yang dijanjikan. Misalnya, pelaku mukjizat mengaku dirinya akan mengeluarkan air dari sumbernya, namun sumber itu nyatanya tidak menunjukkan tanda-tanda lembab. Mukjizat tidak berlaku dalam proses ajar-mengajar; dan aspek penantangannya serta ketidaksanggupan semua pihak di hadapannya tampak jelas.(3) Dari pelbagai definisi dan keterangan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa mukjizat memiliki beberapa kriteria dasar berikut:

- Mukjizat bukanlah tindakan biasa, melainkan sebuah perkara yang terjadi melampaui gejala natural alam semesta, di luar kebiasaan dan jauh dari jangkauan kekuatan biasa manusia. Kriteria ini tidak merupakan unsur penentu hakikat sekaligus pembeda realitas mukjizat para nabi, tetapi bersifat umum hingga juga terdapat pada tindakan dan ilmu

p: 9


1- 7. Al-Itqân fi Ulûm Al-Qur'ân, jld. 2, hlm. 4.
2- 8. Kasyf Al-Murââd fi Syarh Tajrîd Al-I'tiqâd, hlm. 227.
3- 9. Al-Bayân fi Tafsîr Al-Qur'ân, hlm. 33.

kaum petapa dan penyihir, termasuk di dalamnya karamah para wali Allah dan orang-orang saleh.

Sebagai bukti kenabian, mukjizat bukan sekadar di luar kebiasaan, melainkan juga bukan materi ajar-mengajar, dan tidak takluk di bawah pengaruh lain.

Mukjizat kenabian senantiasa seiring dengan klaim kenabian guna membuktikan kebenaran klaim tersebut, dan disertai unsur penantangan dan seruan umum untuk menciptakan tandingannya. Ini berbeda dengan perkara-perkara luar biasa lainnya yang tidak mengandung unsur ini.

Hakikat Mukjizat dan Hal-hal Luar Biasa

Apakah hakikat mukjizat itu sendiri? Substansinya terdiri di atas apa? Bagaimana dapat diidentifikasi letak perbedaannya dari kekuatan-kekuatan luar biasa lainnya seperti: sihir, magic, perdukunan, hipnotisme maynatisme,(1) peramalan, tindakan para petapa (murtâdh), ilmu-ilmu aneh (gharib), penemuan dan inovasi spektakuler manusia-manusia jenius? Sekalipun tiap-tiap perkara di atas ini mengambil bagian dalam kategori gejala luar biasa dan melampaui kekuatan umum- nya manusia, tetapi mukjizat para nabi memiliki serangkaian kriteria dasar yang membedakan substansinya dengan fenomena serupa lainnya. Kriteria-kriteria pembeda ini dapat diuraikan berikut ini:

p: 10


1- 10. Dalam Lughatnômeh Dehkhudo, jld. 8, cet. Danesygah, sihir didefinisikan sebagai usaha mengecoh dan merancukan akal seseorang, apakah dengan ucapan atau tindakan; dan apa saja yang sumbernya benar-benar halus dan rumit. Namun secara ringkas sihir dapat dideskripsikan sebagai tindakan yang luar biasa yang menyebabkan munculnya kesan-kesan tertentu pada pihak yang bersangkutan. Ini adakalanya dilakukan dengan hanya mengecoh penglihatan mata, bermain sulap, dan adakalanya hingga menyentuh lapisan mental dan psikis. Sihir punya pengalaman sejarah yang sangat panjang dalam sejrah manusia. Oleh karena itu, Al-Qur'an menyatakan, “Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, 'Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.” (QS. Al-Dzariyat [51]: 52). Dalam Al-Qur'an, terdapat sekurang-kurangnya lima puluh kata sihr dan bentuk-bentuk derivatifnya. Dan sejumlah riwayat juga tampak jelas betapa pengaruh sihir itu sekadar pengecohan pandangan mata, imajiner dan penipuan. “Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka ... maka tatkala mereka melemparkan (tali-tali itu), mereka telah menyihir mata orang-orang dan membuat mereka ketakutan.”(QS. Thaha [20]: 66). Dari sisi lain, dari sekian ayat juga dapat disimpulkan bahwa pengaruh sihir itu benar-benar nyata, “Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya” (QS. Al-Baqarah [2]: 102). Maksud dari kahanah ialah hubungan arwah manusia dengan arwah abstrak seperti: jin dan setan, dan hasilnya ialah mendapatkan berita dari arwah tersebut tentang peristiwa dan kasus tertentu yang terjadi di kemudian hari di alam materi ini. Kahầnah atau perdukunan ini lebih popular di lingkungan bangsa Arab. Di antara mereka, terdapat nama-nama besar dari kalangan dukun seperti: Syaq dan Suthaih. Kisah-kisah mereka bahkan dicatat dalam buku sejarah, khususnya dalam A'lâm Al-Nubuwwah karya Mawardi. Akan tetapi, pascakemunculan Islam dan Nabi SAW., dukun-dukun itu tidak lagi memperoleh berita tentang hal-hal gaib lantaran kekuatan cahaya kenabian yang sangat dominan. Berdasar sebagian riwayat, setelah kemunculan Nabi SAW, kalangan dukun itu bahkan punah. Menurut laporan Sirr Al-Maknûn karya Fakhru Razi, ada dua jenis perdukunan. Jenis pertama adalah dari jiwa-jiwa yang khusus. Jenis ini nonswakarsa dan karuniawi. Jenis kedua dihasilkan dengan pengorbanan dan bantuan dari makhluk-makhluk orbital ... Menempuh jalur kedua dua ini haram dalam syariat Islam, dan karena itu pula menjadi kewajiban menghindari usaha memper-olehnya. Adapun jenis pertama masuk dalam kategori ilmu Al-Arafah (Kasyf Al-Zdunûn, jld. 2, hlm. 1524). Jit adalah sebuah nama lain dari jenis perdukunan.Sedangkan thaghut adalah nama apa saja yang disembah selain Tuhan (Lughatnomeh Dehkhudo, jld. 11, cet. Danesygah). Hipnotisme adalah sebuah ilmu yang mempelajari hipnotis, yakni tidur magnetis, dan pola-polanya. Hipnotis- me semacam tidur buatan atau nonnatural atau magnetis yang terjadi lantaran pengaruh kekuatan seseorang atas yang lain. Jelas, orang yang lantas tidur tersirap berada di bawah kendali dan kehendak hipnotisor.Maynatisme, magnetisme, kekuatan pemikat tubuh manusia, atau magnet insan adalah sebuah kekuatan yang berada pada badan manusia atau pada sebagian binatang. Zat dan substansinya tidak tampak, tetapi dapat dikenali melalui kesan-kesan dan efek-efeknya. Ia semacam gelombang atau aliran yang keluar dari tubuh manusia lalu berkesan pada yang lain, dan pada kondisi tertentu menjadi daya tarik dan daya tolak. Poros kekuatannya lebih terfokus pada mata. Seseorang yang memiliki kekuatan ini mampu mempengaruhi orang lain dan mengendalikan dirinya atau menyirapnya tertidur. Banyak analisis seputar profesi ini.

1. Tujuan Salah satu unsur distingsial mukjizat para nabi dan kekuatan dah- syat selain mereka terletak pada tujuan masing-masing. Para nabi memperlihatkan mukjizat dalam rangka memberi petunjuk dan membimbing masyarakat ke arah Tuhan, yakni atas dasar sebuah tujuan mulia dan seruan untuk berbuat kebajikan dan mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya. Sementara dalam tindakan luar biasa para dukun, penyihir, petapa, agen hipnotisme, dan sejenis mereka, tidak ditemukan tujuan semacam itu, kalau bukan malah ditujukan untuk memenuhi kepentingan pribadi: meraih keuntungan duniawi, memperoleh pendapatan materi, atau bahkan menyulut pertikaian serta mematuhi motif-motif buruk.

Letak perbedaan ini tentu saja berawal dari karakteristik jiwa dua kelompok itu, sebagaimana diungkapkan Ibnu Sina dalam Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât.(1) 2. Skala Jangkauan Kriteria pembeda lain yang perlu diamati antara mukjizat para nabi dan perkara luar biasa manusia lainnya ialah terbatasnya skala jangakauan jelas yang terakhir ini. Sihir, peramalan, menggunakan ciri-ciri khas huruf dan angka, mengendalikan arwah yang telah mati, gerak tindakan para petapa, produk manusia jenius .... masing-masing semacam teknik yang perlu spesialisasi dan rangkaian pelatihan yang ditempuh dalam skala terbatas dan dengan tingkat pengaruh tertentu. Sudah barang itu, semua tidak berarti efektif apa-apa di luar skalanya.

p: 11


1- 11. Syarh Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, jld. 3, hlm. 417.

Berbeda dengan skala jangkauan dan cakupan mukjizat para nabi jauh lebih besar dan luas; tidak sempit dengan keterbatasan tersebut; tidak berporos hanya pada objek tertentu; tidak membutuhkan syarat atau alat tertentu; tidak juga menjadi bahan pengajaran, pelatihan dan riyâdhah. Dalam konteks ini, seorang pakar Muslim menuliskan:

Tidak ada satu pun orang berakal yang memberi kemungkinan sihir, magis dan ilmu-ilmu sejenis akan menjangkau dasar samudera, menghidupkan mayit, menyembuhkan orang yang buta dan orang yang berpenyakit sopak.(1) 3. Bersandar pada Supranatural (Adikodrati) Pengaruh para petapa, penyihir, dukun ... semua bersandar pada usaha-usaha teknis atau praktik pelatihan diri yang begitu keras dan sukar. Apa pun itu, semua pengaruh mereka itu merupakan hasil usaha yang bisa dipelajari dan diajarkan. Akan tetapi mukjizat para nabi hanya bersandar pada dukungan gaib dan kekuatan Ilahi tidak-terbatas, sehingga mereka akan memperlihatkannya kapan saja Tuhan menghendaki.

Atas dasar kriteria inilah tidak ada seorang pun dari ahli ilmu mistis (gaib) dan pelaku tindakan luar biasa mengklaim kehebatan dirinya tidak bisa ditandingi oleh kekuatan pihak lain. Sementara mukjizat para nabi senantiasa disertai penantangan, penuntutan tandingan dari pihak lain serta klaim tidak terkalahkan. Fakta ini demikian karena memang para nabi Ilahi, dengan kepercayaan

p: 12


1- 12. Ghâyat Al-Marâm, hlm. 332. Saifuddin Amadi menukilnyadari Dr. Hasan Syafi'i: Al-Âmadi wa Ârâ’uh Al-Kalâmiyyah, hlm. 487.

(Pelbagai perangai mulia Nabi dan keutamaan moral beliau te- lah memisahkan dirinya secara sangat istimewa dari kaum penipu muslihat) kuat pada kekuatan tidak-terbatas Tuhan Pengutus, menantang mereka untuk bertarung dan melawan mukjizat yang mereka bawakan. Fakta ini pula yang mempertajam perbedaan mukjizat dengan amalan-amalan luar biasa manusia.

Karena semua itu bisa ditandingi atau, istilahnya, tunduk di bawah dominasi pepatah “betapa dari kaum peni- banyak tangan di atas tangan.” Bukan hanya itu, mukjizat para nabi tidak menyisakan setapak pun ruang dan posisi untuk lawan-lawan penentang dan penantang di kancah kompetisi.

Sebab, mukjizat nabawi bersambung dengan kekuatan tidak- terbatas dan tidak-terkalahkan Tuhan, sedangkan perkara luar biasa manusia bergantung pada kekuatan dan daya secara terbatas substansialnya.

4. Pola Hidup Pelaku Termasuk bagian dari perbedaan krusial antara mukjizat para nabi Tuhan dan para pencipta pengaruh luar biasa ialah kualitas pribadi dan pola hidup masing-masing mereka. Para nabi adalah manusia-manusia yang bernaluri bersih, berlatar belakang cemerlang, kaya akan nilai-nilai keutamaan insani, keunggulan moral dan kesucian jiwa. Segi-segi inilah yang tidak terdapat pada kehidupan praktis pelaku gejala luar biasa, kalau tidak justru sebaliknya: punya sederet cacatan hitam masa lalu, tingkah laku yang tidak terpuji, kecenderungan tabiat

p: 13

kebinatangan dan kebusukan jiwa. Dalam hal ini, Qadhi Abdul Jabbar Muktazili menulis:

Pelbagai perangai mulia Nabi dan keutamaan moral beliau telah memisahkan dirinya secara sangat is- timewa dari kaum penipu muslihat.(1) Kandungan serupa statemen ini juga tampak pada penilaian pemikir Islam yang lain: para nabi senantiasa punya kesepakatan dan keseutuhan dalam klaim; prinsip utama hidup mereka adalah ketakwaan dan kebajikan. Ini benar-benar tidak seimbang dengan kalangan ahli sihir yang selalu hidup dalam kompetisi kepentingan dan berperilaku buruk.(2) 5. Instrumen dan Sarana Adalah prinsip bahwa para nabi aktif menyerukan jalan menuju Tuhan dengan hati penuh kelembutan dan kasih sayang pada umat. Mereka mengemban tugas risalah Ilahi dalam rangka mengarahkan umat manusia kepada hukum kehidupan Ilahiah dan jalan ketinggian dan kemuliaan insaniah. Mereka sama sekali tidak akan bisa memilih jalan batil untuk upaya mencapai tujuan benar (haq). Atas dasar ini, tidak ada dokumen sejarah manusia yang melaporkan ada praktik menipu, mengelabui dan menghasut daya mental manusia untuk kepentingan klaim dan pembuktiannya, yaitu mukjizat. Justru sebaliknya, data- data cukup melimpah sebagai keterangan jelas betapa mereka, dengan memperlihatkan agumentasi rasional, telah berusaha

p: 14


1- 13. Al-Mughnî, jld. 15, hlm. 274.
2- 14. Syarh Al-Thahâwiyyah, hlm. 67, dikutip dari Al-Âmadi wa Ârâ’uh Al-Kalâmiyyah, hlm. 487.

keras membangkitkan pemikiran manusia dari kevakuman agar dia tahu sendiri hakikat yang sesungguhnya dan tergerak untuk menghampirinya.

Selayar realitas sejarah ini sangat tidak setimpal dengan sekelompok orang yang menekuni perkara luar biasa, namun keadaan ghalib mereka sarat dengan penipuan, penyalahgunaan dan eksploitasi pengaruh terhadap dimensi kejiwaan orang-orang hingga menjatuhkan mereka begitu terperdaya sebelum akhirnya meraup keuntungan pribadi.

Apa Perbedaan antara Mukjizat dan Karamah?

Sekian indikasi dan kriteria tersebut di atas sudah cukup tebal menggarisbawahi identifikasi mukjizat para nabi dan secara tajam membedakannya dengan gejala-gejala aneh, ganjil dan luar biasa yang diciptakan oleh kalangan lain. Hanya satu poin penutup telaah di bagian ini ialah pertanyaan: apa perbedaan mukjizat dengan karamah dan karunia-karunia Ilahi yang dikhususkan untuk para kekasih Allah? Apakah karamah itu sendiri? Apakah itu mungkin terjadi atau justru mustahil? Walaupun ada banyak perselisihan pendapat di antara mazhab Islam, sebagian kaum Asy'ariyah percaya bahwa tidak ada yang namanya karamah. Mereka dengan tegas menolak- nya. Hanya saja, yang tersurat dari teks Al-Qur'an dan hadis menerangkan secara tegas bahwa ada orang-orang tertentu di luar kalangan nabi yang mampu menjadi kanal aliran emanasi kekuatan khusus Allah SWT, tentunya sebesar kapasitas dan kesiapan eksistensial masing-masing mereka.

p: 15

Menguak Tabir Mukjizat Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu.” (QS. Al-Taubah [9]: 105).

Dia yang tlah tahu rahasia-Nya apalah nilai rahasia makhluk baginya.

Jiwa-jiwa suci auliya laksana mentari tahu rahasia Tuhan di tengah halayak.

Jalaluddin Rumi, daftar 2.

Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim (QS. Al-Takatsur [102]: 5-6).

Dalam sebuah Hadis Qudsi mengenai kedudukan Qurb Nafilah, dinyatakan:

Dan sesungguhnya dia mendekat kepada-Ku dengan amalan nafilah hingga Aku mencintainya. Maka jika Aku telah mencintai, Aku menjadi pendengar- annya yang dengannya dia mendengar dan ....(1) Demikian pula Al-Qur'an memperkenalkan beberapa manusia sebagai figur keteladanan yang memiliki anugerah khusus Allah SWT.

p: 16


1- 15. Al-Kâfi, jld. 2, hlm. 352, riwayat 7.

Berkatalah seorang(1) yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip," (QS. Al-Naml [27]: 40).

Abdurrahman bin Katsir meriwayatkan bahwa setelah membaca ayat di atas, Imam Ja'far Shadiq merenggangkan jari- jarinya lalu meletakkannya di dada dan berkata:

Dan, pada kamilah, demi Allah, ilmu Al-Kitab seluruhnya.(2) Kembali ke pertanyaan dasar: apa perbedaan antara mukjizat dan karamah? Kadangkala, istilah mukjizat digeneralisasi maknanya hingga mencakup suatu tindakan yang membuktikan keberhasilan seseorang mencapai kedudukan khusus di sisi Allah.

Apakah itu berupa kenabian ataukah imamah. Jika mukjizat disertai klaim imamah, maka itu berlaku sebagai bukti atas imamah, dan jika disertai klaim kenabian, maka itu menjadi bukti atas kenabian. Akan tetapi, jika tidak disertai klaim apa pun, maka mukjizat tidak ubahnya dengan karamah yang tampak dari para wali Allah; tidak berfungsi sebagai bukti atas kenabian ataupun imamah. Dalam asumsi inilah mukjizat itu tidak disebut sebagai mukjizat.

Jadi, karamah-karamah yang diperlihatkan para wali Allah hanyalah anugerah yang diberikan Allah kepada hamba-hamba yang saleh. Tentu saja, pemberian anugerah ini sejauh mereka

p: 17


1- 16. Yaitu Ashif bin Barkhiya.
2- 17. Ibid., jld. 1, hlm. 229, riwayat 5.

tidak menyalahgunakan karamahnya. Berbeda dengan para petapa, meditator, penyihir dan pemilik kekuatan ajaib: mereka ini tidak peduli dengan syarat tadi. (1)

Pandangan Kristiani tentang Mukjizat

Mengingat banyaknya gugatan dan analisis kritis terhadap tema mukjizat terkait dengan definisi dan deskripsi yang tidak cermat inilah yang lebih akrab dialami Dunia Barat tepat kiranya menyinggung beberapa di antara definisi yang diajukan seputar subjek ini.

Dalam tradisi Barat, mukjizat dikenal dengan istilah miracle.

Warga di sana menggunakannya pada hal-hal yang luar biasa dan ajaib. Sementara dalam tradisi Kristen khususnya, hal-hal tersebut punya hubungan dengan kekuatan supranatural.

Arti mukjizat dalam pandangan Thomas Aquinas -1274-, sebagai filosof era skolastisme Kristen, dipercayai semacam intervensi terhadap mekanisme sistemik lazim alam semesta, sekalipun itu bertentangan dengan hukum umum penciptaan Ilahi:

Secara umum, mukjizat bermakna sebagai peristiwa- peristiwa yang terjadi melalui faktor Ilahi di balik sistem alam yang tampak.

Seperti juga teolog lain di Abad Pertengahan (medivial), Aquinas tidak mengingkari posisi alam. Dia menegaskan bahwa di samping sistem alam yang ada dan berasal dari kehendak bebas

p: 18


1- 18. Rahnamosyenosi, hlm. 211.

Hakikat Mukjizat Tuhan, ada suatu sistem superior yang merupakan sistem Tuhan atau hukum tertinggi. Sistem inilah yang bisa dijadikan sebagai acuan dalam menafsirkan mukjizat.(1) Dalam perspektif klasik Katolik yang tercermin dalam kitab suci, realitas nyata mukjizat sangatlah beragam, termasuk di antaranya menyembuhkan fisik dan ruh, menghidupkan orang mati, mengusir arwah jahat dengan doa, hubungan Tuhan melalui ilham dan munajat, berjalannya Isa al-Masih di atas air, meredam badai, memberi makan masyarakat luas sampai kenyang hanya dengan bahan makanan yang sedikit, kemampuan meramal dan mengungkap masa depan. Atas dasar pengertian ini seolah-olah, adakalanya, kejadian luar biasa apa saja dan semacam kebetulan disebut-sebut sebagai mukjizat hanya karena ditafsirkan atas dasar pemahaman keagamaan; yakni bersumber dari kehendak suci Allah. Padahal, kejadian itu sendiri, bagi orang yang tidak punya pemahaman religius seperti itu, malah identik dengan yang namanya nasib, seperti dari bawah rel kereta api yang bergerak kencang, ada anak kecil selamat secara benar-benar ajaib dan misterius.(2) Ada juga sejumlah interpretasi yang terbilang baru seputar mukjizat. Apakah dari penentang atau penerimanya, semua cenderung memperlakukan mukjizat sejenis proses lompatan (leaping) dan lepas dari sistem dan hukum alam, kalau bukan malah bertentangan. Barangkali yang paling populer di antaranya ialah interpretasi David Hume. Dia secara tegas berpendirian kuat:

p: 19


1- 19. Rujuk: Thomas Aquinas, Falsafeh-e Nadzari, jld. 1, hlm. 79.
2- 20. Rujuk: R.F. Holland, American Philosophical Quarterly, 1965.

Mukjizat adalah pembangkangan terhadap hukum alam. Dan, mengingat hukum-hukum ini telah dibuktikan valid oleh empiris yang kokoh dan tidak tergoyahkan, maka ini bukan hanya bukti kuat atas invaliditas mukjizat di alam realitas, tetapi juga sekuat itu pula setiap evidensi empiris bisa dibuat ... Mukjizat bisa secara teliti didefinisikan demikian:

penyimpangan dari sebuah hukum alam melalui kehendak khusus Tuhan atau melalui faktor yang tidak terlihat.(1) Di kalangan pemikir kontemporer, Richard Swinburne(2)* termasuk penganut doktrin mukjizat. Dengan cara yang khas, dia juga mendeskripsikannya sebagai penyelewengan terhadap dominasi hukum riil alam. Minimalnya, inilah yang terlihat menjadi satu lapisan dasar dari definisi mukjizat yang diajukan- nya. Menurut Swinburne, mukjizat adalah suatu peristiwa yang, pertama, luar biasa, kedua, terjadi dengan tangan Tuhan dan, ketiga, mengandung pesan agama, yakni menunjang tujuan suci Tuhan.(3) Paul Tillich adalah satu dari sekian nama terkemuka yang merepresentasi jajaran teolog Protestan dalam diskursus mukjizat.

Ia menguraikannya sebagai suatu peristiwa bermakna yang terbentuk dari tiga anasir: pertama, peristiwa itu benar-benar luar biasa yang mengguncang jiwa dan mengalutkan pikiran; kedua, menunjukkan suatu rahasia wujud dan menerangkan

p: 20


1- 21. Makalah Dar bâreh Mu'jizat, terj. Muhammad Amin Ahmadi.
2- 22. Richard G. Swinburne (26 Desember 1934) adalah seorang Profesor Emeritus Filsafat di University of Oxford. Selama 50tahun terakhir, ia pendukung Teologi Alam yang sangat berpengaruh, yaitu argumen filosofis bagi eksistensi Tuhan. Kontribusi filosofisnya terutama dalam Filsafat Agama dan Filsafat Ilmu. Ia memunculkan banyak diskusi dengan karya awalnya dalam bidang Filsafat Agama, sebuah buku trilogi yang terdiri dari The Coherence Teism, The Existence of God, dan Faith and Reason. Karyanya yang berjudul Miracle terbit pada tahun peny.
3- 23. Richard Swinburne, Miracle, hlm. 8.

hubungannya dengan kita, manusia; dan ketiga, peristiwa bermakna itu muncul dari sebuah pengalaman penuh ekstasi.(1) MUKJIZAT DALAM LINTASAN SEJARAH Abad I hingga III H Selain Abu Ubaid Mutsanna (210 H), pengarang Majāzât Al-Qur ân, dan Farra' (217 H), pengarang Maani Al- Qur’ân, nama sebesar Abu Umar bin Ma'ruf yang terkenal dengan nama Jahizd (255 H) barangkali pengarang yang paling disegani dari kalangan teolog dan sastrawan Mus- lim ternama dengan karyanya yang masyhur: Al-Bayân wa Al-Tibyân dan Al-Hayawân. Dialah seorang ulama yang mencipta karya monumental, Nazhm Al-Qur'ân.

Seiring dengan tinjauan kritis terhadap pandangan sang guru, Nizdam Muktazili, Jahizd menggugat teori Sharfah, menelaah prosa lirik dan estetika bahasa Al-Qur'an, serta menyinggung beberapa keajaiban dan keagungannya yang lalu menjadi basis sejumlah gagasan yang dirumus- kan setelahnya.(2) Tokoh lain yang juga berperan pada masa itu adalah Ibnu Qutaibah Abu Muhammad Abdullah Muslim—se- orang sejarawan, sastrawan, dan juga mufasir Islam serta penulis buku Al-Imamâh wa Al-Siyâsah- melalui karyanya Taʼwil Musykil Al-Qur'ân. Dalam buku ini, dia berusaha menjawab skeptisisme sebagian orang mengenai keutuhan Al-Qur'an, dan mengatakan:

p: 21


1- 24. Paul Tillich, Revelation and Miracle, hlm. 74.
2- 25. Fikrah Ijaz Al-Qur'ân, hlm. 55.

Syukur kepada Allah SWT yang telah menggagalkan upaya para penentang dengan prosa lirik Al-Qur'an yang luar biasa.

Ibnu Qutaibah menambahkan:

Tidak mungkin seseorang dapat mengecap nilai balaghah Al-Qur’an tanpa merujuk ahli sastra Arab, mengkaji kitab suci itu ber- ulang-ulang, wawasan keilmuwan yang luas, dan mengenal berbagai mazhab sastra Arab.

Keutamaan Al-Qur'an hanya bisa dicecap oleh orang-orang yang selalu berpikir tentangnya, berpengetahuan tinggi, menguasai sudut-sudut ilmu pengetahuan, mengenal persis karakter dan ciri-ciri khas gaya bahasa Arab.(1) Abad IV Pada abad ini, seiring langkah demi langkah penentang- an musuh-musuh Al-Qur'an, kaum Muslimin juga mengerahkan segenap usaha untuk membela keagungan dan kemukjizatan Al-Qur'an. Beberapa nama di antara mereka adalah:

Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Wasithi (306 H), murid Abu Ali Jubbai. Lewat karyanya, Ijaz Al-Qur’ân Al-Bayânî, dia mengutarakan prosa lirik Al- Qur’an. Walaupun sudah tidak bisa ditemukan saat ini,

p: 22


1- 26. Tauoil Musykil Al-Qurân, hlm. 61.

karya Wasithi ini tampaknya titik tolak komentar atas karya Abdul Qahir Jurjani, dan karena itulah terhitung sebagai karya Jurjani.(1) Ali bin Isa Rumani (384 H), seorang teolog dan sas- trawan, berdasarkan kesaksian para pakar bidang, adalah orang ketiga setelah Jahizd dan Wasithi yang berusaha membela gaya bahasa dan prosa lirik Al-Qur’an(2) melalui risalahnya, Al-Nukat fi Ijaz Al-Qur'ân.(3) Menurutnya, mukjizat terletak pada kepaduan dan keserasian antarkata. Pengarang Sirr Al-Fashâhah, Ibn Sinan Khafaji, mengatakan bahwa Rumani membagi jumlah kalimat dalam tiga ragam: kalimat kasar (mutanâfir), lembut (mulâ’im mutawassith), dan sangat lembut (mutalâ’im fi al-ghîyah). Dalam pandangannya, semua kalimat yang terdapat dalam Al-Qur'an berada pada derajat yang sangat lembut. Distingsi ini hanya dapat dicecap oleh kalangan yang sering menelaah Al-Qur’an.(4) Abu Sulaiman Muhammad bin Ibrahim Khaththaie (388 H) adalah tokoh besar lain yang hidup sezaman dengan Rumani. Dia seorang ahli bahasa terkemuka yang juga membela kemukjizatan Al-Qur'an. Dalam risalah- nya, Bayân I'jâz Al-Qur’ân, Khaththaie mengatakan, “Mukjizat yang terkandung di dalam Al-Qur'an terletak pada lirik puitis dan gaya bahasa yang unik, dimana setiap kata menempati posisi yang secermatnya. Ini tentu saja memerlukan penguasan ilmu yang menyeluruh: syarat yang tidak dimiliki oleh siapa pun. Atas dasar inilah

p: 23


1- 27. Bintu Syathi: I'jâz Bayâni.
2- 28. Rafºie: Ijaz Al-Qur ân, hlm. 153.
3- 29. Salah satu dari tiga risalah dalam Tsalâts Rasâ'il fi I'jâzân.
4- 30. Fikrah I'jâz Al-Qur'ân, hlm. 60.

orang-orang yang hidup sezaman Al-Qur'an beralih haluan perlawanan; dari adu kekuatan sastra dan logika ke jalur penumpahan darah.” Setelah mengemukakan beberapa pendapat lain seperti: Sharfah, berita gaib, kefasihan, pengaruh atas jiwa manusia, Khaththaie mengemukakan pendapatnya dan mengatakan:

Sesuatu yang membuat perkataan terasa manis, meresap jiwa dan begitu indah ialah bila perkataan terkonstruksi dari tiga unsur:

kata, makna, dan keterikatan antara keduanya.

Perbedaan dalam anasir inilah yang lalu menimbulkan gradasi derajat dan kualitas dari sisi keindahan dan kejelasan. Manusia, karena keterbatasan substansial wujudnya dan kenyataannya sebagai makhluk pelupa dan lalai, selamanya tidak sanggup meng- ungkapkan ucapan berkualitas unggul dan tidak tertandingi. Akan halnya ketika mencermati teks Al-Qur’an, kita menyaksikan betapa ketiga unsur itu menampilkan esensinya masing- masing dalam model yang paling sempurna.

p: 24

Khaththaie menambahkan:

Pada tingkatan kata saja, tidak ada yang lebih indah, lebih kokoh, dan lebih memesona dari kata-kata Al-Qur'an. Begitu juga koherensi, keutuhan konstruksi, kepaduan kata-kata dalam kalimat Al-Qur’an sungguh tidak tertandingi. Kitab samawi ini juga memuat ba- nyak pengetahuan dan hakikat agung seperti:

prinsip Tauhid, prinsip kesucian sifat Tuhan, ajakan kepada ketaatan, pola hidup, tata cara beribadah, dan latihan spiritual lainnya, ajakan pada kemuliaan akhlak, perumpamaan, ibrah dari kisah orang-orang terdahulu, argumentasi, dan aspek-aspek yang lain. Atas dasar ini, kemukjizatan Al-Qur'an ialah menuangkan kata yang paling indah dan makna yang paling kokoh ke dalam konstruksi kalimat dan gaya bahasa yang laing menawan. Itulah sebabnya mengapa Al-Qur’an tidak mungkin berasal dari selain Allah, Zat Yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa. Pada titik ini pulalah para penentang sekeras siapa pun terdesak untuk mengakui kelemahan mereka.(1) ***

p: 25


1- 31. Tsalâts Rasâ’il fi I jâz Al-Qur'ân, Risalah I, hlm. 10.

Mukjizat Ibrahim, Isa, Musa dan Nabi Muhammad SAW tidak akan pernah ada tandingannya dan kemukjizatannya senantiasa terjaga utuh, walaupun sains dan ilmu pengetahuan manusia hari demi hari sebegitu cepat mengalami kemajuan pesat.

^26.jpg

p: 26

2.Realitas Mukjizat

Point

Pada bab yang lalu, kita telah berusaha menjelaskan sejumlah poin seputar substansi mukjizat. Sekarang saatnya menelaah:

apakah pada dasarnya mukjizat itu dapat terealisasi ataukah tidak? Dengan kata lain, dalam bab ini kita akan mencermati bagaimana realitas mukjizat itu dapat diterima. Apakah mukjizat sesuatu yang mungkin terealisasi? Apakah akal dapat menjelaskan hal itu hingga tidak bertentangan dengan hukum alam yang berlaku seperti sebab akibat? Apakah mukjizat berarti ketidaksesuaiannya dengan ilmu pengetahuan dan eksperimentasi manusia? Begitu pula, apakah mukjizat berarti menafikan hukum Tuhan yang tidak bisa berubah? Lalu bagaimana mukjizat bisa dipercayai padahal Al-Qur’an sendiri menolak permintaan-permintaan orang-orang musyrik terhadap mukjizat Nabi SAW? Pada dasarnya, tidakkah mukjizat itu menunjukkan kekurangan pada Zat Allah? Adakah argumentasi yang kokoh untuk membuktikan realitas mukjizat sebagaimana klaim penganut agama?

p: 27

Inilah beberapa contoh dari sekian pertanyaan dan kerancuan yang membuat keraguan mengenai peluang terjadinya mukjizat.

Untuk menjelaskan poin-poin tersebut satu demi satu, rangkaian pertanyaan di atas akan menjadi fokus analisis kali ini.(1)

Bagaimana Bisa Dipercaya?

Persoalan mengenai bagaimana kita bisa memahami realitas mukjizat' sama halnya dengan pertanyaan: bagaimana lautan yang luas bisa terbelah dan kering dalam sekejap hanya dengan pukulan sebatang tongkat? Bagaimana bisa dipercaya seorang yang telah mati dapat hidup kembali? Atau, bagaimana bisa dipercaya api yang membara bisa menjadi dingin? Dan sekian pertanyaan serupa lainnya.

Jelas sekali, isu-isu tadi tidak dinilai sebagai persoalan ilmiah, bahkan hanya merupakan sesuatu di luar kelaziman dan menganggap persoalan sebagai perihal mustahil. Pertanyaan- pertanyaan itu sekarang ini justru tidak lagi menyisakan ruang bagi penilaian dan kemungkinan tersebut tatkala diajukan eksperimen ilmiah dan data-data konkret di ruang observasi sekaitan dengan kekuatan luar biasa jiwa manusia yang juga diakui oleh para ilmuwan.

Jika kita menerima asumsi bahwa manusia, secara umum, memiliki suatu kekuatan yang, pada batas-batas tertentu, mirip dengan kekuatan luar biasa walaupun bukanlah mukjizat manakala bersumber dari orang biasa dan bukan-nabi, tetapi memiliki kesamaan substansial dengan mukjizat para nabi hal ini sudah cukup untuk dijadikan sebagai basis utama dalam

p: 28


1- 1. Uraian dalam bab ini mengacu pada pembahasan Murtadha Muthahhari seputar tema kenabian dalam Majmûeh-e Otsor, jld. 4, hlm. 427.

membuktikan kemungkinan mukjizat sebagai realitas dan menepis kemustahilannya.

Sebagaimana telah disinggung sebelum ini, ada tindakan- tindakan luar biasa manusia yang terbukti nyata di sepanjang sejarah manusia dan kian hari semakin berkembang.

Bersandar pada kekuatan jiwa merupakan gejala yang telah menjadi fokus perhatian. Sebagai filosof dan ilmuwan, Ibnu Sina menukilkan kekuatan luar biasa itu dan adakalanya bahkan mengandalkannya, padahal dia sendiri seorang tabib yang amat pandai. Demikian pula, misalnya, kisah masyhur tentang kesembuhan Raja Samanik: di saat para tabib tidak mampu menangani kelumpuhannya, Muhammad bin Zakaria dapat menyembuhkannya di kamar mandi. Namun setelah sembuh, sang raja membuat rencana lalu menyerang Muhammad dengan pedang terhunus. Sebegitu rupa ia menunjukkan tekadnya menghabisi nyawa Muhammad bin Zakaria. Namun, tiba-tiba saja sang raja tidak berkutik dan terpaku di tempat. Keadaan itu dimanfaatkan Muhammad untuk menyelamatkan diri. Sang tabib mahir ini melarikan diri dengan meninggalkan sepucuk surat. Di dalamnya dia mengungkapkan permohonan maaf karena satu-satunya penyembuhan yang bisa dilakukannya hanya dengan cara demikian itu.

Keberhasilan dalam menyembuhkan penyakit lewat hipnoterapi atau melalui stimulasi mental pasien telah menjadi dasar pemikiran bahwa di dalam diri manusia, selain kekuatan fisikal, juga terdapat kekuatan tersendiri, yaitu keinginan manusia tersebut.

p: 29

Dahulu orang menyangka bahwa tidur buatan adalah pengaruh dari hubungan magnetis. Namun, lambat laun hal ini diketahui sebagai akibat dari kekuatan psikologis manusia yang muncul karena pengaruh dari hipnoterapi. Penemuan ini tentunya dapat membuktikan kekuatan yang terjadi di luar kebiasaan manusia. Tidur buatan yang dimaksud di sini adalah seseorang dengan kekuatan batinnya dapat membuat orang lain tertidur, dan orang yang tertidur tadi ada di bawah pengaruhnya.

Oleh karenanya, kalau saja si pelaku memisahkan kepala orang itu dari badannya, ia tidak merasakan apa-apa dan tidak akan terbangun dari tidurnya. Lebih dari itu akan muncul perasaan ajaib lainnya pada orang tersebut berupa kekuatan telepati yang tidak didapatinya pada kondisi-kondisi biasa.

Sekilas tentang Tidur Artifisial

Ada baiknya kita menyimak sebuah kisah yang dinukil dari kisah Dr. Muin, salah seorang ilmuwan Iran kontemporer.

Dia menuturkan:

Di hadapanku, mereka membuat tidur salah seorang anak kecil berkebangsaan Perancis. Lalu kepada saya mereka bertanya, “Apa yang Anda inginkan dalam mimpinya? Saya menjawab, “Kirim dia ke Tehran”, Anak itu menyahut, “Sekarang saya ada di Tehran.” Lalu saya berkata kepadanya, ”Jelaskan kepadaku keadaan Tehran!” Anak itu pun mulai menjelaskan ibukota Iran itu secara terperinci, padahal dia sama

p: 30

sekali belum pernah berkunjung ke sana. Lalu saya berkata lagi kepadanya, “Pergilah ke bundaran Zoleh!” Dia mengatakan, ”Saya sekarang berada di bundaran itu.” Anak itu pun lagi-lagi menjelaskan suasana budaran itu layaknya pelancong yang sering berkunjung ke sana. Lalu saya memintanya untuk berkunjung ke rumah kami. Maka, lagi-lagi ia pun menjelaskan suasana rumah seperti adanya. Di tengah obrolan, dia mengatakan, “Saya melihat seorang wanita yang sedang tidur di rumah itu." Kemudian saya memintanya untuk masuk ke ruang perpustakaan pribadi saya di depan sebuah kamar. Segera dia pergi ke sana dan menceritakan kepada saya hal-hal yang tidak saya pikirkan sebelumnya. Dia mengatakan, “Kamar itu kosong dan tidak ada benda apa pun di dalamnya kecuali dua buah bingkai foto yang terpasang di dinding ruang. Bingkai itu pun dipasang pada posisi terbalik.” Saya terkejut mendengar semua itu, sebab perpustakaan itu tidak seperti yang diceritakannya. Saya segera meninggalkan tempat pertemuan dan kembali ke penginapan. Tanpa membuang-buang waktu, saya langsung menulis sepucuk surat kepada istri saya di Tehran; memintanya agar menceritakan kondisi rumah pada tanggal sekian dan jam sekian. Kurang dari satu minggu, surat balasan pun tiba ke tanganku. Di dalamnya istriku mengatakan bahwa pada hari tersebut, istri saya ingin membersihkan ruangan rumah sekaligus

p: 31

mengecatnya. Karena itu, semua barang yang ada dalam ruangan dipindahkan ke ruangan lain untuk sementara waktu, hanya dua buah bingkai foto yang tetap terpajang di dinding perpustakaan. Hal ini memang sulit dipahami.

Akan tetapi demikianlah memang kenyataannya.

Maka, tidak benar jika dikatakan kalau seseorang telah memengaruhi pikiran saya sehingga dengan informasi yang saya berikan, melalui alam bawah sadar, dia menceritakannya kepada anak kecil itu, sebagaimana yang diklaim oleh kaum Materialis untuk menjelaskan peristiwa semacam ini.

| Ir. Tanawush, seorang pemikir yang merambah pengetahuannya selama tujuh belas tahun di dua negara Amerika dan India, sekembalinya ke Iran mengatakan:

Saya kembali ke Iran setelah tujuh belas tahun lamanya tinggal di negeri asing. Kemudian saya aktif sebagai dosen di salah satu kampus politeknik di Tehran. Rumah saya terletak di Taman Saba, Tehran. Di ibukota ini, saya tetap tidak menjalankan shalat seperti kebiasaan lama saya di Amerika. Sampai suatu hari, saya berkunjung ke rumah paman Hujjatul Islam Haji Mirza Abul Qasim Lawasani. Ketika matahari hampir terbit, ia membangunkan saya

p: 32

untuk menunaikan shalat Subuh. Ia bertanya “Apakah kamu memang tidak melakukan shalat? Bangunlah segera, sebab matahari akan terbit!” Dengan rasa malu, saya bangun lalu segera berwudhu dan menunaikan shalat. Teguran paman membuat saya sadar untuk senantiasa menunaikan shalat. Ia memberikan pencerahan supaya saya selalu menjalankan ibadah shalat.

Ia pun menyarankan agar menunaikan shalat di suatu masjid: tempat Allamah Tehrani menjadi imam shalat dan berceramah di sana.

Selang beberapa waktu, paman meninggal dunia. Akan tetapi saya rutin hadir dalam majelis kuliah Allamah Tehrani. Ceramah dan kata-katanya sangat berarti dan memengaruhi hidup saya. Sampai pada suatu hari, nasehatnya membangkitkan rasa penyesalan yang mendalam dalam diri. Ketika kembali ke rumah, saya langsung duduk di pojokan sambil meng- ucurkan air mata mengingat umur yang selama ini saya habiskan sia-sia. Makan malam pun saya tinggalkan. Sampai saya berpikir kalau hidup ini tidak berguna lagi. Untuk melepaskan semua penyesalan itu, hampir saja saya mencoba menjatuhkan diri dari atap rumah. Sesampainya di atap rumah dan siap meloncat, tiba-tiba saya merasakan ada seorang bertubuh besar, berjubah

p: 33

putih mendekat dan langsung meraih tangan saya dan mendudukkanku di bawah. Ketika sadar, saya tidak menemukan lelaki itu. Dia sudah menghilang. Anehnya, setelah peristiwa itu, saya merasakan hidup baru dan kelegaan dalam diri.

Keesokan malamnya, kembali saya datang ke masjid Allamah Tehrani. Usai shalat, ia berbincang dengan Hujjatul Islam Haji Agha Mu’in. Tidak begitu lama perbincangan mereka berlangsung. Namun saya mengerti bahwa ter- nyata mereka sedang berbincang mengenai salah seorang wali Allah yang berada di Hamedan. Haj Agha Muin ingin pergi mengunjungi orang itu.

Usai perbincangan, saya mengantarkan Agha Muin sampai rumahnya. Di tengah perjalanan, saya mengatakan kepadanya agar bisa ikut bersamanya mengunjungi orang tersebut. Ia pun menyambut. Lalu, kami pun pergi menuju Hamedan. Setiba-nya di depan rumah orang itu, kami mengetuk pintu rumah. Ternyata Syaikh Anshari sendiri yang membukakan pintu. Saya terperanjat saking terkejut ketika melihat orang yang membukakan pintu: dialah orang yang telah menyelamatkan saya pada malam itu.

p: 34

Saat itu juga Ir. Tanawush merasakan kharisma Syekh Anshari, dan menjadi salah seorang wali berkat ajaran dan bimbingan guru Ilahi tersebut.(1)

Mendatangkan Arwah

Menghadirkan arwah adalah kisah pengalaman lain yang sungguh unik. Berhubungan dengan orang-orang yang telah sekian lama mati, dan memperoleh informasi dari mereka, adalah sebuah dunia pengalaman yang menakjubkan. Apakah kita yakin ruhlah yang sebenarnya datang pada saat itu, atau ada ruh penghadir dan sebagai penghubung untuk mendapatkan informasi dari orang itu. Alhasil, peristiwa ini menunjukkan bahwa ada kekuat- an jiwa yang luar biasa pada manusia hingga mampu menciptakan pengalaman demikian dan menyediakan sebentuk informasi.

Para sarjana empiris Eropa percaya bahwa hubungan manusia dengan alam ruh memiliki latar belakang yang panjang sekali. Ini diakui mereka setelah mendalami ilmu-ilmu mistis (gharib) dan puing-puing dokumen peninggalan Mesir kuno (lewat upaya gigih seorang pakar Perancis, Champollion(2), pada tahun 1820), dan bahasa Sanskerta (sejauh kerja keras Max Muller asal Jerman). Akan tetapi, di era kontemporer, Leon Danny mengatakan bahwa penemuan pertama mengenai usaha menghadirkan arwah dan berdialog dengannya terjadi di Amerika pada tahun 1848 M. Pada awalnya, banyak

p: 35


1- 2. Dar Kûy-e- bi Nesyonho, hlm. 100.
2- 3. Nama lengkapnya adalah Jean-François Champollion (23 Desember 1790-4 Maret 1832), seorang sarjana klasik, filolog, orientalis asal Prancis, dan ahli hieroglif Mesir. Champollion memecahkan hieroglif-hieroglif setelah Thomas Young. Ia menerjemahkan bagian Rosetta Stone (sebuah artefak kuno dari Mesir) tahun 1822, yang menunjukkan bahwa sistem tulisan Mesir adalah kombinasi dari tanda-tanda fonetik dan peny.

suara aneh yang terdengar di sekitar perumahan warga dan benda-benda dengan pengaruh kekuatan gaib berterbangan di angkasa atau berjatuhan ke bumi. Ada seorang pengamat yang darinya menangkap sebuah ide. Melalui komposisi huruf alfabet yang muncul dari ketukan-ketukan yang membentur sebuah meja, ia menciptakan semacam telegrapi ruh. Dengan cara inilah datang suatu ruh: memperkenalkan diri dan menjelaskan nasib kehidupan dan kematian orang-orang yang hadir pada saat itu. Selang beberapa waktu, sebagian dari mereka yang ingin tahu lebih banyak tentang itu mencoba untuk memanggil ruh lainnya dan berdialog dengannya. Semua pertanyaan pun dijawab. Tidak ada satu pun yang meleset.

Sampai pada akhirnya, ruh pun menampakkan dirinya yang halus dan aktif (sayyal), hanya tidak bisa dilihat dengan mata kepala. Danny mengatakan:

Berita ini sangat menggemparkan masyarakat Amerika. Maka, pada tahun 1852, Kongres Washington ditugaskan untuk secara resmi mengumumkan kebenaran berita tersebut.

Sementara ketua dewan pengadilan tinggi New York dengan persetujuan ketua parlemen dan seorang profesor ilmu kimia yang juga anggota akademi nasional ditugaskan untuk meneliti lebih jauh lagi tentang hal ini. Selang beberapa waktu, kebenaran peristiwa tersebut terbukti,

p: 36

bahkan mereka pun menuliskan buku-buku penting seputar isu ini.

Leon Danny membentuk sekian organisasi kebatinan di Inggris, Prancis dan negara-negara Eropa lainnya dengan melibatkan beberapa cendekiawan, tokoh masyarakat, jaksa tinggi, dan ilmuwan lainnya. Dia menuturkan, “Ada banyak ilmuwan yang dulunya mengingkari alam ruh. Setelah mengadakan beberapa penelitian dan pertemuan dengan saya, mereka mengakui bahwa ruh dapat berhubungan dengan manusia. Lebih dari itu, mereka juga yakin adanya ganjaran dan pahala.

Salah satu orang yang mengingkari hal ini adalah rektor Universitas Birmingham (Sir Oliver Lodge) yang pada 10 September, tepatnya semasih dia menjabat sebagai direktur Lembaga Ilmu Pengetahuan Inggris, dalam ceramahnya mengatakan, “Walaupun jabatan ini dapat bernilai positif dan negatif, tidak semestinya saya meng- ungkapkan hal ini di hadapan Anda. Tetapi itulah hasil penelitian saya mengenai ruh selama tiga puluh tahun lamanya.” Dia menambahkan, “Tidak ada keraguan lagi bahwa kita akan tetap eksis pascakematian ... Berkali-kali saya berdialog dengan teman-teman seangkatan yang telah meninggal; saya tidak ubahnya dengan sekarang ini berbicara di hadapan Anda. Ruh mereka yang dulunya seorang ilmuwan telah membuktikan kepada saya dengan

p: 37

argumentasi yang kuat bahwa mereka ada dan berbicara dengan orang lain.” Peristiwa-peristiwa yang dialami ilmuwan ini membuat keyakinannya semakin bertambah, terkhusus kontaknya dengan anak lelakinya sendiri yang telah meninggal. Nama anak itu adalah Daymon(1) yang pernah bergelar insinyur. Dia tewas dalam pertempuran tahun 1915 pada usia 26 tahun. Setelah kematiannya, sang ayah berhubungan dengannya lewat kontak batin.

Kisahnya di alam tersebut, sebagaimana yang dia ceritakan kepada ayahnya, menyebabkan kesedihan bercampur kebahagian pada diri sang ayah. Hasil dari percakapan ini membuahkan karya yang sangat berguna dengan tema Raymond, or Life and Death yang berkisah tentang kehidupan alam ruh.(2) Sekarang, marilah kita cermati petikan ungkapan seorang ilmuwan masyhur Maurice Maeterlinck dalam bukunya versi Persia, Mizbon-e Nosyenos (Tuan Rumah Misterius), “... Saat ini, setiap pemikir dan ilmuwan bisa saja membagi sumber yang telah disebutkan dari sisi variasi dan sifatnya, sekarang marilah kita mencoba untuk mengklasifikasikan fenomena-fenomena aneh tersebut dengan menempatkan beberapa fenomena pada urutan tertinggi seperti: mizdavvar, lintas bumi (thayy al-ardh), terawang, telepati, hipnotisme. Tindakan sebagian petapa dan penyihir India pun seperti ilham, menghadirkan arwah, meramal kejadian juga masuk dalam salah satu

p: 38


1- 3. Nama lengkapnya adalah Jean-François Champollion (23 Desember 1790-4 Maret 1832), seorang sarjana klasik, filolog, orientalis asal Prancis, dan ahli hieroglif Mesir. Champollion memecahkan hieroglif-hieroglif setelah Thomas Young. Ia menerjemahkan bagian Rosetta Stone (sebuah artefak kuno dari Mesir) tahun 1822, yang menunjukkan bahwa sistem tulisan Mesir adalah kombinasi dari tanda-tanda fonetik dan peny.
2- 5.Tentang masalah ini, ada banyak karya yang bisa dijadikan sebagai referensi, di antaranya: 28 jilid Prusidnick, yang merupakan referensi paling besar dan muktabar di antara buku-buku terkait; 17 jilid tentang berita harian; dan 25 jilid tentang catatan tahunan dari gerakan-gerakan organisasi kebatinan yang kesemuanya bernilai ilmiah.

kategori di atas. Lebih dari itu kita pun mendengar adanya rumah-rumah jin. Pernyataan di atas tadi meng- antarkan benak kita pada sebuah kepercayaan bahwa hal itu memang ada sebagai fakta.

Semua kita tahu kejadian menghadirkan ruh orang-orang yang telah meninggal di Inggris, Perancis, Belgia, Swiss, dan Amerika ada dalam naungan organisasi kebatinan yang telah dikemas dalam bentuk karya-karya.

Karena itu, dengan banyaknya bukti, pengingkaran terhadap pengalaman tersebut menjadi tampak lucu.(1) Coba kita rujuk statemen seorang psikolog dan filosof modern, William James: bagaimana dia menjelaskan potensi luar biasa yang dimiliki manusia:

Membahas masalah ini dan masalah-masalah lain yang terkait hanya akan membuat kita lelah dan memperpanjang perbincangan. Sebab, para pakar sudah cukup membuktikan bahwa pada sistem jiwa dan pikiran manusia, terdapat sebuah kekuatan yang dapat mengungkap hakikat dan realitas: kekuatan tersebut lebih dalam dari pengetahuan dan indra lainnya.(2) John Hick, seorang pemikir dan filosof-agama kontemporer, membubuhkan hal senada:

p: 39


1- 6. Vahy va Nubuvat, hlm. 101.
2- 7. Dîn va Ravon, terj. Mahdi Qaini, hlm. 43.

Penelitian dan observasi seputar perkara yang luar biasa dan bersifat metafisis di dunia serba canggih Barat telah merebut posisi yang sangat krusial.(1)

Dari Sudut Lain

Setelah kita menyimak beberapa pandangan dari ilmuwan Empirisme sepanjang pengalaman langsung dan observasi, ada baiknya di sini kita menyoroti persoalan dari sudut pandang yang lebih luas.

Dalam kapasitasnya sebagai wahyu Ilahi, Al-Qur'an mengabarkan kepada kita bahwa di antara Bani Israil, ada seorang warga yang tewas terbunuh. Insiden ini berbuntut sampai mereka saling menuduh satu dan yang lain. Dalam upaya identifikasi pelaku pembunuhan, turun sebuah perintah untuk menyembelih seekor sapi, lalu bagian dagingnya dilekatkan pada orang yang terbunuh hingga ia hidup kembali dan bersaksi tentang siapa yang membunuhnya. Cara itu pula yang akan menerangkan bagaimana sebenarnya Tuhan dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati:

Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh se- orang manusia lalu kamu saling tudub menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu

p: 40


1- 8. Falsafeh-e-Din, terj. Murad Farhad Pur, hlm. 260.

sembunyikan. Lalu Kami berfirman, "Pukullah mayit itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu!" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang- orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.

(QS. Al-Baqarah [2]: 73) Al-Qur'an juga mengingatkan betapa kisah Uzair itu merupakan tanda dan bukti bagi manusia, yaitu tatkala badan dan ruh itu bisa menyatu kembali setelah terpecah keping:

Atau apakah (kamu tidak memerhatikan) orang-orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya.

Dia berkata, "Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh." Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, "Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?". Ia menjawab, "Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari". Allah berfirman, "Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya, libatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berobah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia, dan

p: 41

lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupnya kembali dengan daging". Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata, "Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu" (QS Al-Baqarah [2]: 259).

Begitu pula kisah Ashabul Kahfi yang bisa dijadikan ibrah tentang kekuatan ruh manusia (QS. Al-Kahfi [18]:

9-26). Al-Qur'an juga menegaskan bahwa kekuatan luar biasa itu juga bisa dimiliki oleh orang-orang durhaka dan manusia-manusia jahat:

Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang- orang yang musyrik (QS. Al-An'am [6]:121).

Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun. Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa (QS. Al-Syuara' [26]: 221-222).

Penggalan cerita tentang Nabi Sulaiman as dan kerajaan Saba juga saksi atas hal tersebut: tak kala segolongan dari jin mengatakan, “Saya memiliki kekuatan

p: 42

untuk memindahkan istana itu sebelum Anda bangun dari tempat dudukmu:

Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin, "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat membawanya lagi dapat dipercaya" (QS. Al-Naml [27]: 39).

Tidak lama kemudian, seorang yang memiliki kekuatan yang lebih hebat dari Ifrit datang dan mengenalkan diri:

| Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab, "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata, "Ini termasuk kurnia Tubanku untuk mencoba aku: apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mabakaya lagi Mahamulia (QS. Al- Naml [27]: 40).

p: 43

Dari rangkaian contoh di atas ini dapat disimpulkan bahwa semua ini merupakan bukti atas adanya kekuatan luar biasa yang tidak terhingga dan potensi melimpah dan tidak lazim pada manusia. Ini semua sudah cukup memadai untuk membuktikan bahwa mukjizat dan gejala luar biasa yang dinisbatkan kepada para nabi adalah sesuatu yang bisa terjadi dan tidak perlu dihadapi dengan dahi mengerut.

Anasir Pembentuk Mukjizat Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang telah lalu, kita mengetahui paling tidak ada dua unsur utama dalam pembentuk- an mukjizat yang merupakan konsekuensi rasional. Jadi, jika dua unsur tersebut dapat diterima maka mukjizat pun secara otomatis bisa diterima.

Unsur pertama yaitu substansi jiwa dan potensi luar biasa yang dimiliki manusia, dan unsur kedua adalah alam gaib dan malakut. Kedua unsur ini tentunya dapat diterima validitasnya oleh akal dan filsafat dan telah terbukti lewat tanda-tandanya.

Atas dasar dua unsur inilah filosof Islam (Peripatetisme dan Iluminisme) menjelaskan mukjizat, karamah dan apa saja yang di luar kebiasaan lainnya.

Berdasarkan tesis Ibnu Sina, manusia memiliki dua potensi:

akal teoretis yang mempersepsi konsep-konsep rasional dari alam transenden, dan akal praktis yang dapat mengelola alam semesta. Mukjizat yang bersumber dari potensi teoretis bertugas menyampaikan kabar dari sesuatu yang gaib, dan mukjizat yang

p: 44

bersumber dari potensi praktis bertugas sebagai penyampai tindakan luar biasa tersebut.

Semua hal yang terjadi pada lembaran cipta ada pada ilmu Tuhan, malaikat dan jiwa nonmateri. Dari sisi lain, kita tahu bahwa kekuatan akal manusia berpotensi untuk mengadakan kontak dengan unsur pembentuk itu, dan merealisasikan persepsi yang diperoleh darinya. Tidak sampainya seseorang pada unsur itu bukan berarti bahwa dia tidak memiliki potensi untuk itu, tetapi karena pengaruh materi pada dirinya sebegitu kuat hingga mengalahkan dimensi nonmateri dari jiwanya.

Maka, ketika jiwa manusia dapat berpengaruh terhadap dimensi materiil yang dimilikinya, dia akan berhubungan dengan unsur tersebut, kemudian akan berperan dalam jiwanya lalu dia pun bisa merasakan hal itu melalui hubungan tersebut.

Ketika kekuatan akal sudah mencapai kesempurnaan sedemikian rupa hingga ikatan kekuatan materi yang ada pada manusia tidak menjadi kendala untuk berhubungan dengan unsur itu, maka tidaklah mustahil jika persaaan tersebut terjadi pada saat seseorang benar-benar sadar; di saat orang lain hanya meng- alaminya dalam tidur. Dengan begitu dia dapat mendengarkan bisikan-bisikan dan melihat penampakan-penampakan gaib.

Atas dasar ini, kekuatan akal yang sudah mencapai titik kesempurnaan sangat mungkin memengaruhi materi lainnya yang ada di alam ini. Sebab, dia telah memiliki suatu keistimewaan sebagai dasar untuk mendapatkan mukjizat dan karamah.(1) Syaikh Isyraq Syahrawardi dalam kajian mukjizat dan hal-hal luar biasa lainnya juga memiliki pandangan yang sama dengan

p: 45


1- 9. Dinukil dari Fakhru Razi: Al-Mathalib Al-'Aliyah, jld. 8,hlm. 127, juga dinukil dari Syarh Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, jld. 3, hlm. 371, dengan sedikit perbedaan redaksi.

filsafat Peripatetik. Dia juga memulai kajian tersebut dengan meneliti jiwa manusia. Setelah menjelaskan pengaruh-pengaruh yang disuplai jiwa kepada jasad, dia memaparkan pengaruh jiwa sempurna seorang nabi atas makhluk di alam:

Akan muncul sebuah forma dari dalam jiwa manusia.

Forma itu akan membangkitkan pengaruh pada badan manusia, seperti rasa panas maupun gerakan pada sebagian anggota tubuh. Misalnya saja, rasa panas yang timbul akibat kemarahan seseorang, pengaruh pada anggota badan manusia ketika birahi memuncak.

Ini semua merupakan pengaruh dari substansi jiwa seseorang. Walaupun efek tersebut, sekalipun bersifat nonmateri, muncul pada tubuh manusia, tetapi jiwa itu dapat mencapai kesempurnaan selayaknya seorang nabi yang jiwanya berpengaruh pada alam cipta ....(1) Sebenarnya penjelasan di atas adalah ungkapan lain dari hierarki alam dan akal transenden ('uqûl mujarradah). Forma- forma itu adalah konsep-konsep universal yang hanya ada pada zat akal transenden ('uqûl mufâriqah). Jiwa rasional manusia, termasuk di dalamnya jiwa para nabi, memiliki keserasian dengan akal transenden dari segi keseutuhan hakikat antara sebab dan akibat, karena semua forma partikular makhluk yang lampau dan yang akan datang ada pada mereka. Jadi, sebenarnya mereka mudah mendapatkan kabar gaib tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi.

p: 46


1- 10. Majmueh-e-Musannafât Syaikh Isyrâq, editor: Henry Corbin, jld. 3, hlm. 447.

Di sini, ada baiknya kita cermati sejumlah keterangan dari seorang pakar agung, filosof, dan mufasir, Allamah Thabathabai.

Dia sendiri justru acap mengalami langsung peristiwa-peristiwa luar biasa dan kekuatan ajaib jiwa.

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.

Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS. Al-Maidah [5]: 105).

Sekaitan dengan ayat ini, Allamah Thabathabai menuliskan:

Kalaulah konsentrasi temporal pada keadaan marah atau takut dapat menimbulkan kepekaan dan kondisi- kondisi temporal jiwa, konsentrasi yang kontinyu, disadari, dan terprogram juga akan menimbulkan kondisi-kondisi yang stabil pada jiwa ....” Telaah sejarah dari beberapa umat manusia menyatakan bahwa kajian mengenai jiwa adalah sebuah tema yang ada pada setiap komunitas, seakan semua agama baik monoteis maupun politeis dengan segenap perbedaan yang ada di antara doktrin masing-masing sepakat bahwa manajemen jiwa adalah sumber pengetahuan hakiki, kekuatan, kebahagiaan dan kesempurnaan.

p: 47

Bahkan misi setiap agama juga mengajak manusia untuk dapat mengontrol jiwanya guna mencapai kesempurnaan.

Atas dasar ini, dapat diamati bahwa pada setiap ajaran agama, terkandung nilai-nilai spiritual, walaupun ada beberapa perbedaan di antara agama tauhidi dengan agama lainnya. Pada intinya, perbedaan ini bisa dilihat dari dua sisi: tujuan dan sarana pencapaian. Tujuan agama monoteis agar manusia mengintro- speksi diri dan mengenal hakikat jiwanya adalah tujuan yang tidak terbatas, mutlak dan transenden, yaitu pendekatan diri kepada Realitas Absolut. Ini berbeda dengan agama lainnya yang hanya bertujuan untuk mencapai kekuatan jiwa. Dengan kata lain, mereka hanya meneliti sebatas kekuatan manusia.

Dari sisi lain, agama monoteis juga tidak mengalami penyelewengan: menolak dan melarang orang-orang yang berusaha mencapai tahapan spiritual dengan cara hidup tidak sewajarnya seperti kehidupan manusia lainnya. Seni mengelola jiwa dan menggapai kemuliaan terletak pada pengendalian seseorang terhadap jiwanya dengan hidup sewajarnya bersama masyarakat lainnya. Keyakinannya tidak tergoyahkan dengan pengaruh-pengaruh yang datang menyergap.

Dengan kata lain orang-orang yang melakukan latihan- latihan spiritual dapat diklasifikasi dalam dua kelompok:

kelompok yang termotivasi untuk mencapai pada suatu kekuatan luar biasa hingga ia dapat memanfaatkannya seperti penyihir, atau oknum-oknum yang menggunakan jin dan arwah dalam praktik mistisnya. Kelompok lainnya dengan cara mengelola

p: 48

jiwa bertujuan untuk mengenal hakikat jiwa mereka tanpa sama sekali menginginkan manfaat selainnya.

Kelompok kedua ini juga dapat dipecah kepada dua tipe:

tipe yang percaya bahwa pengenalan jiwa hanya diusahakan untuk pengenalan itu sendiri dan dalam lingkup jiwa itu sendiri.

Tidak lebih dari itu. Tipe ini hanya mendapatkan hasil usaha dan keinginan mereka, tanpa kecenderungan bergerak menuju kesempurnaan yang lebih tinggi. Oleh karenanya, mereka lalai akan sumber Pencipta jiwa. Bagaimana mungkin bisa mencapai kesempurnaan ketika mereka lalai akan Pengelola hakiki jiwa; Kekuatan yng memiliki pengaruh mutlak pada semua ciptaan, termasuk jiwa itu.

Tipe lainnya menjadikan pengetahuan jiwa sebagai sarana untuk mengenal Tuhan mereka. Metode inilah yang diajarkan oleh agama samawi yang di dalamnya jiwa merupakan salah satu dari tanda-tanda Ilahi. Sementara pengenalan diri adalah jalan untuk mengenal Tuhan. Inilah tujuan akhir dari perjalanan spiritual itu:

Dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu) (QS. Al-Najm [53]: 42). 41 (1) Perlu diketahui bahwa kajian ini bekisar pada dua dasar utama, yaitu potensi internal jiwa dan sumber eksternal yang gaib sebagai pemberi anugerah kepada jiwa yang punya potensi menerimanya.

p: 49


1- 11. Ringkasan dari Al-Mizan fî Tafsir Al-Qur'ân, jld. 6, hlm. 194.

Di dalam sumber-sumber agama, baik ayat maupun riwayat, permasalahan ini sangat jelas terlihat pada seseorang yang dapat mengatur keseimbangan antara ruh dan materinya seiring dengan ketakwaan dan penyucian diri: di hadapannya akan tersingkaplah hakikat-hakikat gaib yang tidak bisa dibayangkan orang biasa:

Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan (kejernihan jiwa yang bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan) (QS. Al-Anfal [7]: 29).

Berkenaan dengan ini, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata:

Sesungguhnya Allah menjadikan zikir sebagai penerang hati.(1) Atas dasar ini, yakni meraih kekuatan jiwa yang luar biasa karena keluar dari dunia luar dan konsentrasi pada dunia jiwa, sebagian sahabat Nabi SAW mengatakan bahwa ada seorang sahabat Nabi Isa as dapat berjalan di atas air. Terkait dengan hal itu, Nabi SAW bersabda, “Kalau saja keyakinannya lebih kuat lagi dari itu, niscaya dia akan berjalan di udara."(2) Air dan api, itulah mukjizatmu kau melintas bagai Al-Khalil dan Al-Kalim

p: 50


1- 12. Syarh Nahj Al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 11, hlm. 176.
2- 13. Bihâr Al-Anwâr, jld. 70, hlm. 179.

Dari Imam Ja'far Shadiq, kita menyimak:

Badan tidak akan kenal lelah dari perkara yang dijangkau niat yang kuat.(1) Atau, sebagaimana yang dinyatakan Imam (Ali bin Abi Thalib:

Siapa yang kenal hakikat diri akan cemerlang hidup abadi.Binasalah yang tak kenal diri pasti kekal siapa yang tahu ini. Musnahlah yang lalai eksistensinya musnah itu tak dapat berubah mulia.) Pengetahuan jiwa adalah pengetahuan yang paling bermanfaat.(2) Kemenangan agung didapatkan dengan pengenalan jiwa.(3) Siapa yang kenal hakikat diri akan cemerlang hidup abadi.

Binasalah yang tak kenal diri pasti kekal siapa yang tahu ini.

Musnahlah yang lalai eksistensinya musnah itu tak dapat berubah mulia.

Maka dengan melihat dua dasar tersebut (potensi dahsyat jiwa manusia dan Sebab Ilahi anugerah ilmu dan kekuasaan), mukjizat dan tindakan luar biasa lainnya bukanlah hal yang sulit diterima. Jika ruh manusia dengan segenap potensi yang dimiliki ternyata berhubungan dengan sumber kekuatan gaib, baik Tuhan maupun setan, lalu persoalan apa yang mengemuka tatkala

p: 51


1- 14. Amâlî Al-Shadûq, hlm. 293.
2- 15. Ghuror Al-Hikam wa Durar Al-Kalim, Amadi.
3- 16. Ibid.

suatu ruh yang kuat sanggup memperoleh kekuatan luar biasa dari sebab-sebab tinggi lalu dia terlibat dalam proses penciptaan eksistensial dengan kehendak dan kekuatannya di alam ini?! Sebab Ilahi wahyu banyak disinggung surah Al-Najm. Di dalamnya terdapat sebuah poin yang cukup menonjol mengenai unsur pengetahuan dan kekuatan:

Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang di- ajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat (QS. Al- Najm [53]: 1-5).

Inti dari firman Allah SWT ini adalah bahwa siapa saja yang dapat berhubungan dengan alam gaib dan mendapatkan kabar tentang hakikat-hakikat serta mendapatkan kekuatan darinya, tentu pemberi itu semua adalah sumber yang bisa menguasai dan memiliki kekuatan luar biasa. Sebab pengetahuan dan kekuatan pada dasarnya adalah identik, dan kekuatan itu bersumber dari pengetahuan.

Tentu saja, dengan segenap kecermatan perlu digarisbawahi bahwa tujuan utama pembahasan di atas itu dalam rangka menjelaskan sebuah poin penting: bahwa kesan dan tanda potensi luar biasa yang dimiliki manusia sudah cukup untuk menggugurkan apa pun reaksi memustahilkan atau meragukan

p: 52

realitas mukjizat para nabi as. Akan tetapi, sebagaimana yang akan kita kaji lebih khusus, mukjizat punya kesamaan (kesejenis- an) dengan kekuatan luar biasa lainnya. Maka, di antara mereka tentu ada perbedaan spesial. Dari segi kedahsyatan, kehebatan dan ihwal tidak tertandingi, mukjizat memiliki poin istimewa yang mengungguli karamah para wali Allah dan kekuatan luar biasa lainnya.

Hubungan dengan Sebab Ilahi merupakan segi lain yang melipatgandakan keunggulan mukjizat di atas kekuatan lainnya.

Kunci keistimewaan para nabi dan wali terletak pada keimanan, ketakwaan dan kerpcayaan mereka pada kekuasaan mutlak Maha Pencipta. Adapun kepercayaan oknum-oknum selain nabi dan wali Allah hanya bertumpu pada diri sendiri, belum lagi sumber inspirasi dan kekuatannya diperoleh dari kekuatan-kekuatan setan dan ruh jahat.

Mukjizat dan Ilmu Empiris

Sebagian orang menyangka bahwa mukjizat bertentangan dengan ilmu pengetahuan, apalagi kemajuan sains yang kian hari kian bertambah dengan banyaknya penemuan di alam semesta ini.

Jelaslah bagi kita bahwa setiap gejala yang berlangsung di alam semesta tidak akan terjadi dengan sendirinya kecuali lewat sebab akibat. Lalu bagaimana bisa diyakini kalau api yang punya ciri khas panas tidak dapat membakar seseorang, bahkan sama sekali tidak mencederainya? Atau seorang bayi yang baru dilahirkan ternyata dapat berbicara tanpa kesiapan dan sarana-sarana yang diperlukan? Bukankah berbicara itu harus melalui paru-paru,

p: 53

pangkal tenggorokan, pita suara, lidah, akal, pemahaman dan ....? Oleh karena itu, mukjizat sama artinya dengan kekacauan, ketidakteraturan, dan ini jelas bertentangan dengan sains manusia dan hukum empiris.

Di antara orang yang berpendapat demikian adalah David Hume. Dia menyatakan, “Mukjizat adalah sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam. Telah ada eksperimen yang kokoh dan tidak tergoyahkan yang telah membuktikan hukum-hukum ini. Dan ini merupakan bukti yang memadai untuk menggugurkan mukjizat di alam realitas sekuat setiap argumentasi empirik yang bisa dibayangkan. Satu-satunya metode kita untuk menilai peristiwa seperti (mukjizat] itu ialah pengalaman umum kita terhadap keteraturan yang berlaku di alam ini. Tidak ada satu argumentasi pun yang cukup untuk membuktikan realitas mukjizat kecuali sebuah argumen yang penolakannya jelas lebih bermukjizat lagi dari sebuah hakikat yang diupayakan oleh argumentasi itu. Pengingkaran terhadap mukjizat yang selama ini kita yakini lebih sesuai dengan eks- perimentasi yang ada .... "(1) Penilaian semacam ini juga telah dikemukakan oleh kaum empiris dan sebagian ahli fisika yang lain. Dr. Arani, salah seorang materialis ternama asal Iran, pada mulanya, juga berpendapat

p: 54


1- 17. Jaspers, Falsafeh Din, hlm. 82.

bahwa mukjizat itu identik dengan peristiwa yang terjadi begitu saja (shudfah) tanpa melalui mekanisme hukum sebab akibat, walaupun kemudian dia meralat pendapatnya ini.(1) Sebenarnya penilaian ini timbul sebagai reaksi terhadap keyakinan para teolog Kristen pada Abad Pertengahan. Adakala- nya mereka menisbatkan setiap kejadian yang mengundang rasa heran langsung kepada intervensi kehendak Tuhan, dan dengan gampangnya mereka menganggap hal itu sebagai mukjizat.(2) Penilaian semacam ini meninggalkan kesan yang sangat buruk bagi sejumlah ilmuwan dan, pada gilirannya, justru mendesak mereka untuk menunjukkan reaksi. Di antara mereka adalah Puancorea, seorang ahli matematika kontemporer berkebangsaan Perancis. Dia menuliskan:

Masyarakat menginginkan dari Tuhan mereka agar membuktikan keberadaan diri-Nya melalui mukjizat.

Justru mukjizat yang abadi adalah ketiadaan mukjizat itu sendiri. Oleh karena itu, dunia adalah ciptaan Tuh- an, karena memiliki keteraturan dan keseimbangan.

jika dunia berkisar pada sesuka hati, lalu siapa yang bisa membuktikan dunia diciptakan bukan atas dasar kebetulan dan begitu saja?!(3) Yang sangat disesalkan, kesalahan persepsi ini ternyata juga menular pada filosof dan ilmuwan ternama, Malebranche.

Dia mengatakan:

p: 55


1- 18. Murtadha Muthahari, Majmueh-e Âtsâr, jld. 4, hlm. 427.
2- 19. Attiene Gilson, Ruh-e Falsafeh dar Qurûn-e Vustho, hlm. 571.
3- 20. Majmû’eh-e-Otsor-e Bozargon, jld. 1, hlm. 89.

Tuhan mencintai undang-undang universal dan keteraturan alam ini lebih dari segalanya. Karena itu, sesuatu yang bertentangan dengan hukum tersebut, seperti mukjizat, tentu Tuhan tidak mencintainya.

Terkadang memang dalam keadaan darurat, mau tidak mau Tuhan bertindak dengan mukjizat.(1) Pemikiran ini ternyata bukan hanya berkembang di kalangan dunia Kristen saja, akan tetapi sebagian penulis Muslim pun percaya bahwa mukjizat adalah sesuatu yang bertentangan dengan sistem alam.(2)

Kritik dan Analisis

Pandangan di atas tadi dapat dianalisis sepanjang beberapa kritik berikut:

Pertama, mengidentikkan mukjizat dengan ketidakteraturan dan kekacauan sistem alam merupakan pengacauan pikiran dan interpretasi keliru terhadap suatu gejala hingga berdampak pada pengingkaran terhadap realitas mukjizat itu sendiri. Kalau memang gejala apa saja yang tampak tidak lazim dan di luar kebiasaan di alam ini lalu dikategorikan semacam kekacauan dan ketidakteraturan hingga dicap ‘mustahil, maka kita semestinya mengingkari peristiwa apa pun yang bersifat tidak lagi lazim dan luar biasa, padahal banyak peristiwa semacam itu yang tidak bisa dinafikan, sampai-sampai ilmu empiris pun mau tidak mau harus memberikan proporsi khusus untuk masalah ini.

p: 56


1- 21. Khudomehvari, hlm. 271.
2- 22. Sayid Ahmad Khan Hindi Dar Tafsîr.

Di sisi lain, pandangan dunia David Hume yang dipakai sebagai landasan pemikirannya adalah semata-mata Empirisme, yakni satu-satunya metode dalam membuktikan perkara riil, dan pemegang kata pamungkas semua isu adalah empiris. Maka itu, wajar saja ketika seseorang membangun infrastruktur epis- temologis dan pola pikirnya di atas Empirisme: jelas dia tidak akan mampu meliputi semua ruang dan sudut eksistensi.

Walaupun begitu perlu dicatat bahwa ketika seseorang memiliki semata-mata pandangan dunia dan epistemologi semacam tadi, dia tidak layak mengemukakan pendapatnya tentang keteraturan alam semesta ini, sebab empirisme dan materialisme bisa menyingkap tidak lebih dari sesuatu yang terjangkau indra saja dan hubungan satu materi dengan materi lainnya. Atas dasar pandangan ini pula Hume mengingkari hukum kausalitas. Penafian hukum ini juga minus dalil.

Akan tetapi poin penting yang harus kita garisbawahi ialah bahwa jangkauan epistemologi empirik tidak lebih dari rangkaian persepsi indrawi yang dihasilkan melalui eksperimentasi, seperti kita melihat gejala A yang selalu punya kaitan dengan gejala B.

Atas dasar inilah seseorang bisa berbicara tentang sistematika alam, keniscayaan, dan keharusan. Kualitas-kualitas ini di luar jangkauan indra dan eksperimen. Bahkan, kualitas keniscayaan dan sistematika alam dan keharusan telah diungkapkan secara tidak disadari oleh Hume, padahal semua kualitas itu adalah konsep-konsep yang murni rasional dan produk akal spekulatif.

Kelayakan berbicara tentang masalah semacam ini tidak ada pada seseorang yang membatasi skala epistomologi hanya pada

p: 57

indra dan empiris, kecuali bila dia siap menerima akal, wahyu, atau kedua-duanya sebagai sumber pengetahuan. Wajar saja kalau timbul pertanyaan mengenai fungsi mukjizat yang diakui sebagai sesuatu yang ada di luar alam natural pada alam semesta yang didominasi hukum permanen. Pertanyaan ini memang membutuhkan analisis kritis untuk dituntaskan, namun sesuai dengan metode yang digunakan oleh aliran Materialisme dan Positivisme, tentu mereka tidak bisa mengemukakan sebuah gagasan tentang keteraturan dan sistematika alam ini sehingga mereka gegabah untuk menafikan realitas mukjizat.

Metode ilmiah yang digunakan oleh orang-orang empiris telah menyebabkan kerancuan dan kontradiksi dalam pemikiran mereka sendiri. Oleh karenanya, terkadang dalam usaha menafikan kenyataan gejala di luar alam natural seperti mukjizat ini, mau tidak mau mereka juga harus menggunakan kaidah rasional yang sebelumnya sudah ditolak oleh mereka sendiri, yaitu prinsip kausalitas dan sistematika alam.

Poin lain yang tidak bisa diabaikan, peran indra dan empiris hanya bisa menilai dan menyimpulkan secara afirmatif sesuatu yang bisa dieksperimentasi. Empiris tidak bisa menegasikan sesuatu yang di luar jangkauannya. Dengan ungkapan lain, sesuatu yang terbukti melalui eksperimen disimpulkan sebagai keberadaan, namun ia tidak bisa membuktikan ketiadaan sesuatu yang berada di luar eksperimennya. Atas dasar ini, jelaslah bahwa metode empiris sama sekali tidak bisa membuktikan ketiadaan mukjizat itu. Tepat kiranya di sini kita menyimak statemen salah satu pemikir Barat yang mengkritisi paradigma empirisme:

p: 58

Sesuatu yang secara ilmiah (empiris) mustahil kejadiannya, boleh jadi terbukti kemungkinannya menurut filsafat. Posisi logis proposisi ilmiah masih terlalu rendah untuk dijadikan sebagai alat ukur paten dalam menolak apa pun argumentasi dan pengalaman yang membuktikan terjadinya peristiwa mukjizat.(1) Atas dasar ini, kita mau tidak mau harus menggunakan metode ilmiah yang dilengkapi kewaspadaan untuk tetap menyertakan sebuah kesadaran sebagaimana yang diungkapkan Ian Barbour:

Ketika menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan realitas beragam seperti: eksperimentasi agama dan mukjizat atau hal-hal lain yang meng- ikutsertakan kaidah-kaidah empiris, maka mau tidak mau seorang filosof harus mencari paradigma lain yang sifatnya lebih umum dan sebuah sistem filsafat serta epistemologi sehingga dapat menemukan tafsiran lengkap mengenai fenomena-fenomena tersebut.

Dan pada dasarnya, seperti inilah proses umum dan tradisi ilmiah perkembangan ilmu pengetahuan di sepanjang sejarah, yaitu dengan adanya problem baru, pendapat-pendapat baru yang sifatnya juga lebih umum harus diajukan hingga dapat menyelesaikan problem tersebut.(2)

p: 59


1- 23. R.F. Hollond, “The Miraculous”, in Miracles, edited: Richard Swinburne, 53.
2- 24. Diringkas dari Ilm va Din, Khuramsyahi, hlm. 165.

Mukjizat dan Hukum Akal

Dari sudut pandang rasional, hukum kausalitas (ketergantungan dan keterikatan sesuatu kepada sesuatu yang lain) adalah sebuah prinsip rasional yang paten. Maka, segala sesuatu bergantung kejadiannya kepada sebab; dia mustahil terjadi tanpa sebab.

Begitu pula kesehakikatan (sinkhiyyah) antara sebab dan akibat yang merupakan prinsip akal. Maksudnya, setiap satu sebab hanya menghasilkan satu akibat yang seutuh hakikatnya dengan eksistensinya. Begitu juga sebaliknya, satu akibat hanya muncul dari satu sebab yang seutuh hakikatnya dengan eksistensinya.

Dari sinilah muncul pertanyaan mengenai keteraturan alam semesta pada lingkup sebab akibat: bagaimana mungkin mukjizat sebagai gejala yang terjadi di luar jalur kausalitas itu bisa terjadi? Bukankah hal itu bertentangan dengan keteraturan dan sebuah loncatan pada kausalitas, dan pada gilirannya bertentangan dengan hukum akal? Seperti yang kita simak di atas, masalah ini merupakan tugas akal untuk menyelesaikannya. Masalah ini pula yang lalu menjadi poros perselisihan di antara kaum teolog Muslim.

Bahkan sebagian dari mereka justru mengubah pertanyaan menjadi rangkaian kritik tajam.

Pandangan Asy'ariyah Masalah di atas, dalam pandangan Asy'ariyah, barkaitan erat dengan pembahasan mengenai kehendak dan tindakan Tuhan. Seperti yang kita ketahui, Asy'ariyah meyakini bahwa kekuatan dan kehendak Tuhan tidak terkait dengan syarat logis

p: 60

dan kondisi apa pun. Pada masalah mukjizat dan kaitannya dengan keteraturan alam, mereka menerima mukjizat sembari menafikan keteraturan.

Mengenai keteraturan alam, mereka berpendapat bahwa keteraturan itu tidak mesti berlaku dominan. Keteraturan alam yang dimaksud tidak lebih dari sekadar kebiasaan Tuhan ("adatullah). Alam ini memiliki keteraturan yang peristiwa demi peristiwanya terjadi secara bertahap, tetapi semua ini merupakan undang-undang yang telah diletakkan oleh Tuhan. Maka, kita sebagai orang yang berada di bawah dominasi undang-undang tersebut tidak bisa menghindar darinya, adapun Tuhan sebagai pencipta undang-undang sudah tentu di luar dari dominasi yang ada. Atas dasar ini, mukjizat merupakan perubahan kehendak Ilahi pada sebagian undang-undang yang telah diletakkan oleh Diri-Nya Sendiri. Intinya, hukum alam yang kita anggap ditentang oleh mukjizat adalah sebuah hukum yang akal tidak mampu menyingkapnya. Dengan kata lain, keharusan ada dan tiadanya mukjizat bukanlah urusan akal manusia.

Dalam rangka itu, kaum teolog Asy'ariyah juga bersandar pada ayat Al-Qur'an. Mereka mengatakan bahwa Allah berkehendak mutlak dan bertindak sesuai Nya:

Sesungguhnya Dia Mahakuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Hajj [22]: 6).

Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki (QS. Al-Hajj [22]: 18)

p: 61

Jadi, kepercayaan akan adanya hukum permanen dalam keteraturan alam semesta ini tidak ubahnya dengan membatasi kekuasaan Allah SWT. Maksudnya, Allah juga terpaksa harus mengikuti hukum yang telah berlaku.

Dari pencermatan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita dapatkan dua bentuk pemahaman mengenai hal ini: sebagian ayat-ayat itu menjelaskan bahwa pengaruh mutlak dari Allah SWT dan semua tindakan disandarkan kepada-Nya, seperti ayat-ayat berikut:

Dia menciptakan segala sesuatu (QS. Al- An’am [6]: 101) Sebenarnya segala urusan itu adalah kepunyaan Allah (QS. Al-Ra'd [13]: 31) Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikan-nya" (QS. Al-Waqi'ah [56]: 72).

Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki (QS. Al Imran [3]: 26).

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu (QS. Al-Shafat [37]: 96).

Yang mempunyai singgasana lagi Mahamulia, Mahakuasa berbuat segala yang dikehendaki-Nya (QS. Al-Bu- ruj [85]: 16-17).

Setiap waktu Dia dalam kesibukan (QS. Al-Rahman [55]: 29).

Sebagian ayat juga menjelaskan kepada kita tentang sebab dan pengaruh sekunder yang berasal dari selain Tuhan, ayat-ayat seperti ini:

p: 62

Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dengan bujan menghasilkan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu (QS. Al-Baqarah [2]: 22).

Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui (QS.

Al-An'am [6]: 97).

Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan karena ulah perbuatan manusia (QS. Al-Rum [30]: 41), Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan ke dalam dada manusia (QS. Al- Nas [114]: 4-5).

Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan, dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamat- an (QS. Al-Maidah [5]: 15-16).

Untuk menemukan relevansi di antara dua bentuk pemahaman ayat tadi, para teolog Asy'ariyah mengatakan bahwa ayat-ayat dalam kategori pertama diartikan sebagaimana makna harfiahnya, dan ayat-ayat dalam kategori kedua diartikan dengan makna metaforis. Perbedan makna ini terjadi lantaran pemahaman mereka tentang sebab yang hanya berlaku pada Allah SWT; tidak pada selain-Nya. Jadi, sebab sekunder yang ada itu diartikan sebagai hubungan di antara akibat-akibat berdasarkan kebiasaaan Allah ('adatullah).(1)

p: 63


1- 25. Rujuk: Iji, Syarh Al-Mawaqif, jld. 8, hlm. 158.

Menguak Tabir Mukjizat Pada dasarnya, konsep ini dipaparkan dengan motivasi untuk membuktikan kekuatan mutlak Allah. Di samping itu pula, realisasi dari mukjizat pun bisa ditafsirkan sebagai gejala yang mungkin terjadi. Dengan demikian, inti konsep kaum teolog Asy'ariyah ialah menafikan sistem keteraturan dan kausalitas di alam semesta ini. Ghazali dalam salah satu statemennya menyatakan:

Para filosof hanya membatasi sebab pada faktor-faktor natural, sehingga menganggap mustahil berubahnya tongkat menjadi ular dan hidupnya seseorang yang telah mati. Akan tetapi kami bertentangan dengan mereka dalam masalah ini. Seharusnya kita membuktikan mukjizat dan membela keyakinan yang telah disepakati oleh Muslimin dengan mengatakan bahwa Allah Mahakuasa atas segalanya, lalu kita membahas sebab akibat.(1) Kritik terhadap Asy'ariyah Pertama:

Kita ketahui bahwa argumentasi utama Asy'ariyah dalam menafikan kausalitas adalah teks ayat. Mereka mengartikan sebagian ayat yang menunjukkan sebab sekunder dan peng- aruh makhluk dengan makna metaforis dan takwil. Pertanyaan yang muncul di sini adalah: apakah ayat-ayat yang kita artikan sebagai makna metaforis mesti ditakwil? Apakah Tauhid Tindakan (tauhîd afàl) dapat menafikan hukum kausalitas dan bertentangan dengan hukum alam ini?

p: 64


1- 26. Muhammad Ghazali, Tahâfut Al-Falâsifah, Topik ke-17, hlm. 236.

Terdapat keterangan tegas dari sebagian ayat Al-Qur'an. Di dalamnya disinggung sebab-sebab selain Tuhan, pengaruhnya sebagai konsekuensi dari sebab itu, termasuk efek sebab akibat yang terjadi dan lebih luas lingkupnya dari apa yang dipahami oleh ilmu pengetahuan manusia. Lalu, atas dasar apa diklaim bahwa ayat-ayat tersebut bermakna metaforis dan mesti ditakwil? Untuk lebih jelas, marilah kita cermati sebagian ayat tersebut:

> Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup (QS. Al-Anbiya' [21]: 30).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat (QS. Al-Shaffat [37]: 11).

Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) (QS. Faathir: 1).

Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu (QS. Mu-bammad [47]: 7).

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertak- wa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS. Al-A'raf [7]: 96).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya (QS. Yunus [10]: 9).

Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang (QS. Al-Mu'minuun [23]: 111).

F1:1).

p: 65

Alamah Thabathabai dalam tafsir surah Al-Thalaq mengatakan bahwa dalam Al-Qur'an, ada ayat-ayat yang mengupas tentang ketentuan Allah (qadr), dan menjelaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kuantitas dan kualitas tertentu, serta eksistensinya bergantung pada mata-rantai hubungan, kondisi dan sebab-sebabnya. Kemudian dalam ayat berikut ini, pertama-tama Allah SWT menjelaskan makna tawakal: “Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki)Nya. Lalu Dia menegaskan, Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” Ketika hendak menciptakan sesuatu, Allah SWT akan melakukannya sesuai dengan kadar wujud itu sendiri. Sementara Dia Mahakuasa melakukan segala sesuatu:

Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya dan Kami tidak menurunkan- nya melainkan dengan ukuran yang tertentu (QS.

Al-Hijr [15]: 21).

Pandangan Asy'ariyah menjelaskan bahwa ia berpegang pada makna literal ayat-ayat Al-Qur'an. Persoalannya, bagaimana ia bisa menakwil tanpa menyebutkan arahan rasional dan tekstual (aqli wa naqli) antara ayat-ayat yang menjelaskan pengaruh segala sesuatu yang ada di alam semesta dan memaknainya tidak sesuai dengan makna literal ayat-ayat tersebut? Sementara dalam

p: 66

penjelasan dua kumpulan ayat-ayat di atas yang telah kami maksudkan, sama sekali kita tidak terpaksa untuk bertindak memilih sesuka hati: menerima penuh yang satu dan menerima yang lain secara metaforis.

Kedua:

'Âdatullâh ataukah Sunnatullah? Sebagaimana yang telah diuraikan, Asy'ariyah dan pengikutnya meyakini adanya hukum- hukum yang berkuasa atas keteraturan alam semesta, yang hanya menunjukkan adanya mata-rantai fenomena dan bukan satu keteraturan yang tidak dapat berubah. Berdasarkan pandangan mereka, hukum-hukum yang berlaku di alam semesta bersifat konvensional yang mengikuti kehendak dan ‘âdatullâh. Siang datang setelah malam, atau panas ada karena adanya api. Ini bukan bermakna bahwa api benar-benar meninggalkan pengaruh panas. Ini sebenarnya hanya pikiran kita saja: menjadikan yang satu sebagai pengaruh dan yang lain sebagai efek dari pengaruh tersebut. Padahal, realitasnya tidaklah demikian.

Andai saja sebuah pertanyaan diajukan kepada kalangan teolog Asy'ariyah: kenapa Allah SWT menciptakan keadaan seperti ini? Mereka akan menjawab bahwa maslahat memang meniscayakan demikian itu. Kalau saja Allah SWT tidak menetapkan keteraturan dan keadaan ini, maka akan terjadi ledakan kekacauan, anarkisme, ketidakteraturan dan chaos di alam semesta.

Di sini juga muncul dua pertanyaan: pertama, apa yang akan terjadi jika tidak ada keteraturan? Aan apa salahnya Tuhan?

p: 67

Mereka harus menerima sebuah asumsi bahwa ketidakteraturan merupakan perkara yang tidak dapat dibenarkan dan tidak sesuai dengan martabat Tuhan. Pengakuan terhadap prinsip ini telah memaksa kalangan teolog Asy'ariyah, secara tidak disadari, menerima salah satu dari postulat (ushûl musallamah) kalangan filosof Muslim tentang af’al ilahiyyah (perbuatan Tuhan), yakni sistematika tindakan Tuhan atas dasar hikmah (kebijaksanaan) dan maslahat, bukan secara sia-sia dan tanpa pertimbangan.

Pertanyaan kedua, kapan semestinya membicarakan hikmah dan maslahat? Bukankah hikmah akan menemukan konsepnya yang jelas manakala di antara realitas terdapat hubungan hakiki secara esensial atau, dengan kata lain, harus terlebih dahulu menerima prinsip husn wa qubh dzâtî (substansialitas nilai baik dan buruk) perbuatan? Jika tidak, maka apa makna dari hikmah dan kebijaksanaan Tuhan? Berdasarkan makna lahiriah ayat Al-Qur'an, Allah Mahabijaksana dan tidak melakukan perbuatan yang sia-sia dan batil. Maksud dari kebijaksanaan Tuhan adalah perbuatan yang berdasarkan maslahat, tujuan dan pertimbangan melalui perantara dan sebab-sebab khusus. Dengan demikian, kita harus menerima kebijaksanaan dan maslahat yang sedang kita bicarakan sebagai bagian dari hukum kausalitas. Kebijaksanaan memiliki makna ketika di antara dua sesuatu terjalin hubungan yang benar-benar hakiki. Sementara kalangan teolog Asy'- ariyah mengatakan bahwa Tuhan menciptakan aturan ini berdasarkan adat ‘kebiasaan untuk mencegah dari kekacauan dan ketidakteraturan. Di sini muncul pertanyaan, apa yang

p: 68

dimaksud dengan kekacauan? Dan bagaimana bisa terjadi? Maka mau tidak mau kita harus menerima bahwa kekacauan itu akan terjadi jika, dengan perantara-perantara yang ada, kita tidak mencapai tujuan.

Ketiga:

Apakah kekuasaan Tuhan terbatas? Asy'ariyah memberikan fokus begitu eksesif mengenai kekuasaan Tuhan, sampai-sampai menafikan peran sebab-sebab sekunder dan hukum-hukum permanen. Langkah ini mereka ambil dalam rangka menjaga utuh kekuasaan mutlak-Nya. Sudah seperlunya kita di sini lebih merenungkan lagi: apakah keteraturan alam semesta yang kita klaim itu berarti membatasi kekuasaan Tuhan? Untuk membongkar jawaban akhir, pertanyaan tadi dapat ditelusuri melalui beberapa pertanyaan berikut: atas dasar ketidakterbatasan Zat dan sifat-sifat substansial Tuhan, bagaimana dengan kekuasaan dan tindakan Tuhan: apakah terbatas atau tidak? Jika terbatas, apakah keterbatasan ini bersifat eksternal ataukah internal? Dalam asumsi apa pun, apakah keterbatasan itu meniscayakan kekurangan (naqsh) pada Zat Tuhan atau tidak? Sebagaimana Al-Qur'an katakan, Allah SWT akan melakukan sesuatu yang Dia kehendaki. Pertanyaannya, apakah Dia mampu melakukan tindakan yang mustahil terjadi dan perbuatan jelek, ataukah tidak mampu? Jika Dia mampu melakukannya, maka konsekuensinya adalah terjadinya tindakan mustahil atau perbuatan jelek dari Tuhan Yang Mahabijaksana;

p: 69

namun jika Dia tidak mampu, maka konsekuensinya adalah keterbatasan Nya? Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kita harus meneliti makna mustahil itu sendiri:

Mustahil secara esensial (muhâl dzâtî), yaitu hipotesis yang mengandung kontradiksi seperti memasukkan samudera ke dalam sebuah kendi, tanpa mengurangi volume samudera dan membesarkan ukuran kendi. Hipotesis ini mencakup berkumpulnya dua kutub yang saling mengontradiksi (ada dan tiada). Artinya, samudera itu besar tetapi tidak besar; kendi itu kecil tetapi tidak kecil.

Mustahil secara aktual (muhâl wuqû?), yaitu hipotesis yang tidak mengandung kontradiksi, tetapi aktualisasi hipotesis ini menurunkan kontradiksi seperti: adanya akibat tanpa sebab tertentu meniscayakan kemustahilan.

Mustahil secara lazim (muhâl “âdî), yaitu fenomena yang biasanya hanya tercipta dikarenakan sebab tertentu dan juga ada sebab lain. Mustahil semacam ini dikategorikan sebagai mustahil hanya karena kekeliruan istilah yang dapat ditolerir.

Termasuk contoh di antaranya mukjizat dan perbuatan di luar jangkuan (nalar manusia) yang kejadiannya bukan dari sebab-sebab lazim.

Mustahil secara esensial dan mustahil secara aktual tidak berada dalam kekuasaan dan kehendak Tuhan karena kenyataan

p: 70

status dan esensi mustahil tersebut; [bukan karena Zat Tuhan atau kekuasaan dan kehendak-Nya). Jadi, tindakan dan segala sesuatu yang bersifat mumkin al-wujûd (wujud mungkin) secara esensial berada dalam kekuasaan Tuhan. Dengan demikian, tindakan dan segala sesuatu yang mustahil wujudnya (mumtani’ al-wujúd), sama sekali tidak berhubungan dengan efisiensi pelaku (fà’iliyyat al-fà’il), tetapi kembali pada nihilnya kapasitas dirinya sebagai objek penerima (qâbilayyat al-qabil).

Hubungan antara kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Buruk

Keyakinan Muktazilah dan Imamiyah dalam masalah ini adalah kekuasaan Tuhan tidak terbatas, hanya saja kehendak-Nya tidak terkait sama sekali dengan perbuatan buruk. Karena, berdasarkan definisi kekuasaan (pelaku akan melakukan apa yang dia kehendaki dan meninggalkan apa yang tidak dia kehendaki), kekuasaan terkait dengan dua kondisi: melakukan perbuatan atau meninggalkannya. Jika kehendak Tuhan terkait dengan perbuatan, maka perbuatan itu menjadi niscaya karena selain (wajib bi al-ghair), yakni mustahil tidak terjadi. Akan tetapi, jika kehendak-Nya tidak terkait dengan perbuatan, maka perbuatan ini perkara mustahil karena selain (mumtani’ bi al-ghair) lantaran ketiadaan sebab (kehendak), dan tentunya ia tidak akan pernah terealisasi.

Dengan demikian, pengertian status perbuatan sebagai maqdûr (objek kekuasaan) bukan berarti perbuatan itu pasti

p: 71

terealisasi, tetapi mencakup dua kondisi: melakukannya dan meninggalkannya, yakni ada dan tidak adanya perbuatan itu.

Namun, karena kehendak itu hanya terkait dengan satu dari dua kondisi kontradiktif tadi, maka skala kehendak dan perbuatan yang terealisasi dengan kehendak menjadi lebih terbatas dari skala kekuasaan.

Dengan kata lain, adakalanya kita mengatakan, “Mustahil terjadi keburukan dari Allah”. Mustahil di sini bukan mustahil secara esensial (muhâl dzâtî), yakni tidak ada sesuatu yang mengandung kontradiksi. Mustahil di sini adalah mustahil karena selain (imtinâ bi al-ghair) dengan pengertian: mustahil keburukan itu terjadi dari sebab efisien (pelaku) tertentu. Sebab kemustahilan ini adalah sebuah sifat pada Zat Allah SWT, bukan lalu berarti Dia Sendiri tidak kuasa melakukannya. Sebagaimana ketika perbuatan menjadi niscaya karena selain (wujûb bi al- ghair), ini tidak berarti pelaku perbuatan itu menjadi kehilangan daya pilih dan terpaksa, karena peniscayaan (îjáb) dari pelaku telah berlaku pada perbuatan. Demikian pula halnya dengan mustahil karena selain, yakni ketiadaan kehendak pelaku untuk merealisasikan suatu perbuatan telah memustahilkan perbuatan tersebut. Jadi, kemustahilan ini tidak berimplikasi hingga membatasi kekuasaan. Hanya pertanyaannya, kenapa Tuhan tidak berkehendak melakukan perbuatan buruk? Dalam arti sebagai keputusan, kehendak pada diri manusia memiliki landasan tertentu. Terkadang manusia tidak ingin suatu perbuatan sehingga tidak melakukannya karena syarat-syarat untuk melakukannya tidak memadai. Akan tetapi, terkadang

p: 72

ada perbuatan yang bisa dikehendaki dan dilakukannya, namun karena pertimbangan naluri dan nilai-keutamaan spiritual dirinya lalu ia memandang perbuatan itu tidak relevan dangan martabat, status dan kepribadiannya sehingga ia tidak menghendaki dan, tentunya, tidak melakukan perbuatan itu. Keterbatasan ini pada hakikatnya bukan bermakna terbatasnya skala kekuasaan atau kehendak, bukan pula berarti tidak ada kendala eksternal yang menghalangi seseorang. Keterbatasan itu justru merupakan keniscayaan dari kesempurnaan substansial dan dari relevansi perbuatan buruk dengan martabat dirinya yang menjelma.

Dengan begitu, apakah bisa dikatakan kehendak Tuhan itu sia-sia, tanpa pertimbangan dan kebijaksanaan? Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (QS. Al Imran [3]: 191).

Jika, berdasarkan hukum akal dan agama, jika terima bahwa perbuatan dan kehendak Tuhan juga memiliki landasan tertentu dan tujuan yang bijaksana, semestinya juga kita pastikan bahwa ada perbuatan yang muncul dari Tuhan yang relevan dan seutuh dengan Nya.

Diri Tuhan adalah Eksistensi Murni dan Kesempurnaan Mutlak yang tidak memiliki kekurangan dan keterbatasan apa pun. Maka, sesuatu yang pada hakikat dan prinsipnya terkait dengan kehendak-Nya adalah baik. Konklusi ini adalah konsekuensi dari kaidah rasional “Sinkhiyyat al-'illah wa al- maʻlûľ”, yakni akibat memiliki keseutuhan eksistensial dengan

p: 73

sebabnya. Jadi, berdasarkan kaidah ini, inti kehendak pada setiap diri pelaku tidak lain dari keterkaitannya dengan sesuatu yang memiliki keseutuhan eksistensial dengan pelaku (sebab efisien).

Konsekuensi dari keagungan Diri Tuhan dan kesempurnaan murni eksistensi-Nya adalah keterkaitan kehendak-Nya dengan kesempurnaan dan secermat dan sekokoh mungkin Nya.

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya (QS. Al-Sajadah [32]: 7).

(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu (QS. Al-Naml [27]: 88).

Dengan demikian, maksud dari “kehendak Tuhan mustahil terkait dengan perbuatan buruk” yaitu dari segi sebagai fa'il kâmil (Pelaku Sempurna), Tuhan tidak memiliki keseutuhan dan hubungan apa pun dengan kekurangan dan keburukan.

Artinya, sama sekali tidak ada kekurangan dan keterbatasan dalam kehendak dan kekuasaan-Nya; hanya objeklah yang nâqis (kurang) sehingga berpotensi menjadi sasaran kehendak Pencipta Yang Mahasempurna.

Mazhab Takwil dalam Mukjizat

Berseberangan dengan Asy'ariyah yaitu mazhab teologi yang berpegang pada mukjizat dan kekuasaan mutlak Tuhan untuk mendamaikan mukjizat dan hukum kausalitas serta mengingkari hukum-hukum permanen (dharûrî) ada mazhab lain yang meng- anut hukum kausalitas dan sistematika alam lalu menafsirkan

p: 74

mukjizat para nabi sedemikian rupa. Sebenarnya mazhab ini di bawah bayang-bayang pengaruh dinamika ilmu-ilmu empiris pasca era Renaisans.

Sadar atau tidak, dengan itikad buruk atau sikap reaktif, penganut mazhab ini berusaha menafsirkan semua konsep metafisis dan alam gaib yang berhubungan dengan kenabian para nabi dengan cara empiris dan biasa-biasa saja agar diterima dunia modern. Sayyid Ahmad Khan Hindi adalah salah satu tokoh menonjol yang mengadopsi pola pandang ini. Menurutnya, penafsiran yang dikemukakan terhadap mukjizat dan diangkat sebagai perkara yang luar biasa adalah semata-mata khurafat dan busana yang dikenakan pada tubuh Islam! Model pemikiran ini mengajukan pelbagai deskripsi mengenai mukjizat. Kadang-kadang para penganutnya mengatakan bahwa tidak ada fenomena apa pun yang luar biasa; apa saja yang disebut luar biasa (khâriq al-'âdah) hanya karena sebab natural fenomena itu masih misterius. Misalnya, dalam Al-Qur'an dikisahkan, “Sewaktu Musa as bersama Bani Israil meninggalkan Mesir sampai tiba di tepi laut, segera laut itu surut dan kering sehingga mereka menyeberanginya. Bahkan bala tentara Firaun yang sampai di tepi laut dalam pengejaran mereka, laut itu kembali pasang hingga menenggelamkan mereka”. Kisah ini adalah sebuah peristiwa alam yang, bagi orang awam, tidak diketahui sebab kejadiannya; hanya Nabi Musa as yang mengetahuinya. Ia menguasai ilmu astronomi dan pasang-surutnya laut sehingga dapat menyeberang tepat di tengah-tengahnya, sementara orang lain tidak mengetahuinya.

p: 75

Demikian pula dengan mukjizat Nabi Isa as seperti me- nyembuhkan orang sakit. Dalam interpretasi mereka, Nabi Isa as telah mempelajari ilmu kedokteran dan metode penyembuhan penyakit. Itulah sebabnya orang-orang berpikir bahwa ia telah melakukan perbuatan yang luar biasa.

Interpretasi seperti ini mendorong mereka sampai menakwil ayat Al-Qur’an secara benar-benar tidak logis. Contohnya, ayat “ketika mayat-mayat bangkit dengan izinku” oleh mereka ditakwil menjadi “mengeluarkan mayit dari liang kuburnya”, bukan menghidupkan orang mati! Terkadang mazhab takwil terhadap mukjizat ini meng- ajukan eksplanasi lain. Untuk ini mereka mengatakan: pada hakikatnya, mukjizat berhubungan dengan ilmu Tuhan yang dilhamkan kepada para nabi. Yakni, di alam semesta, tidak ada peristiwa yang bertentangan dengan hukum kausalitas, tetapi Tuhan membukakan kepada para Nabi sebagian rahasia alam.

Berangkat dari sinilah mereka mengatakan, mungkin saja suatu kejadian terhitung sebagai mukjizat di masa tertentu, tetapi di masa lain itu bukan lagi mukjizat. Artinya, tatkala manusia belum mengetahui sebab-sebab kejadian itu dan hanya para nabi as yang mengetahuinya dengan pengajaran Tuhan, maka itu tergolong sebagai mukjizat. Akan halnya, setelah tahu sebab-sebabnya, maka kejadian itu kehilangan dimensi kemukjiza-tannya. Jadi, mukjizat itu pada dasarnya relatif.

Mazhab ini juga menggunakan sekian dari ayat Al-Qur'an untuk menguatkan interpretasi dan takwilnya. Ada dua kelompok ayat yang diklaim mereka sebagai dalil pendukung:

p: 76

Para Nabi Menolak Mukjizat Tuntutan Umat Para nabi senantiasa menyatakan penolakan terhadap mukjizat yang dituntut orang-orang. Dalam pada itu, mereka menegaskan diri tidak lain dari layaknya manusia biasa.(1) > Katakanlah, "Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu" (QS. Al-Kahfi (2): 110).

Demikian juga dengan Nabi SAW. tatkala menghadapi berbagai tuntutan orang-orang Quraisy, beliau menolaknya dan menegaskan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang mendapatkan risalah Ilahi.

Dan mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca." Katakanlah, "Mabasuci Tubanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?" (QS. Al-Isra' [17]: 90-93).

p: 77


1- 27. Shứfigari, hlm. 81.
2- 18. Murtadha Muthahari, Majmueh-e Âtsâr, jld. 4, hlm. 427.

Sunnatullah, Tak Berubah Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu (QS. Al-Fathir: 43).

Sekelompok ayat lain yang dijadikan dalil penganut mazhab ini adalah ayat-ayat yang berhubungan dengan Sunnatullah (hukum cipta Allah). Kira-kira, ada sepuluh ayat yang membicarakan bahwa Sunnatullah tidak berubah. Menurut mereka, mukjizat dalam pengertian adat (baca: kebiasaan) merupakan bentuk kon- kret dari Sunnatullah yang tidak dapat berubah dan, berdasarkan redaksi ayat di atas, perkara yang mustahil terjadi.

Analisis Pertama Klaim tidak adanya perkara luar biasa, sebagaimana sebelumnya telah ditelaah, merupakan pemikiran materialistik yang hanya percaya bahwa semua keberadaan terbatas pada materi serta dapat diketahui secara empirik dengan institusi indrawi. Persoalan utama mereka, sebelum terkait dengan bidang ontologi, terlebih dahulu berhubungan dengan epistemologi. Jawabannya telah dibahas dalam topik “Kemungkinan Mukjizat” dan pengakuan para pakar ilmu empiris.

Dari sisi lain, seseorang tidak dapat menyatakan dirinya telah beriman pada agama para nabi, kitab-kitab samawi dan

p: 78

Al-Qur'an, namun pada saat yang sama meragukan mukjizat mereka sebagai peristiwa yang pasti benar dalam konteks kenabian, sebagaimana Al-Qur'an berulang kali menyatakan demikian. Kejadian mukjizat bagi para nabi as merupakan dok- trin dasar yang niscaya kebenarannya dalam Islam dan Al-Qur'an.

Mukjizat Nabi Ibrahim as, (1) Nabi Musa as,(2) Nabi Isa as, (3) Nabi Nuh as, (4) Nabi Shaleh as, (5) demikian pula mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW, yakni Al-Qur'an, yang telah dibahas sepanjang uraian ayat-ayat tahaddî (tantangan), semua itu tidak membuka peluang sedikit pun untuk ditakwil, bahkan anggapan bahwa peristiwa-peristiwa luar biasa itu hanyalah ajaran simbolik dan metaforis yang justru meniscayakan penolakan terhadap Al-Qur'an dan kenabian.

Kedua Apakah kejadian mukjizat para nabi memiliki sebab-sebab natural atau tidak, atau bahkan merupakan dampak dari sebab- sebab supranatural? Perlu kiranya dicatat di sini bahwa maksud dari sebab natural adalah sebab biasa ('illah muta‘ârafah) yang bisa dijangkau umumnya manusia, walaupun dengan usaha, eksperimentasi, pencermatan nalar, atau pelatihan jiwa.

Berangkat dari maksud tadi, maka jelas bahwa mukjizat tidak memiliki sebab natural atau alami. Ini sebagaimana asal- usul wahyu dan ilmu nabi itu sendiri adalah perkara adikodrati; prinsip kekuatan istimewa yang menyangkut mukjizat para nabi juga alam gaib dan realitas adikodrati. Terbelahnya lautan dengan isyarat tongkat Nabi Musa as dan terbentangnya jalan tidak

p: 79


1- 28. QS. Al-Anbiya' [221]: 69.
2- 29. QS. Al-'Araf [7]: 106.
3- 30. QS. Al-Maidah [5]: 110.
4- 31. QS. Huud [11]: 19.
5- 32. QS. Al-'Araf [7]: 73.

berlumpur dengan dinding dari air sampai Bani Israil berhasil menyeberangi laut. Kemudian hancurnya dinding air dalam seketika hingga menenggelamkan musuh perkasa dan arogan Bani Israil. Bagaimana semua ini dapat dianggap semacam karsa, kekuatan natural dan usaha manusia? Demikian pula dengan ucapan seorang bayi yang baru saja lahir tidak bisa dianggap sejenis kekuatan alami manusia.

Karena, menyatakan ucapan yang bermakna memerlukan waktu dan kesiapan fisik, pikiran, emosi dan kehendak. Akan tetapi, klaim bahwa ucapan bayi itu adalah mukjizat yang berhubungan dengan ilmu para nabi sekalipun bisa jadi interpretasi yang benar sebagaimana akan segera dibahas berikut namun jika maksud penggagas klaim ini ialah bahwa para nabi dengan ilham dari Tuhan, jauh sebelum orang lain, mengetahui sebagian hukum, formula dan temuan manusia, lalu lambat laun manusia juga dapat mengetahuinya melalui keahlian dan pengalaman yang mereka peroleh, sudah barang tentu maksud ini termasuk interpretasi yang keliru terhadap kekuatan mukjizat nabi dan penafian santun’ terhadap mukjizat para nabi.

Jadi, teori relativitas mukjizat yakni, mungkin saja di suatu masa, sebuah peristiwa disebut mukjizat dan di masa lain, tidak lagi demikian tidak dapat diterima, karena mukjizat para nabi dengan segenap kekhasan inherennya sama sekali tidak dapat berubah. Perbuatan Nabi Musa as dalam melenyapkan kekuatan tukang sihir [Firaun), sama sekali tidak dapat disamakan hakikat- nya dengan pembinaan dan usaha manusiawi. Mukjizat Ibrahim, Isa, Musa dan Nabi Muhammad SAW tidak akan pernah ada

p: 80

tandingannya dan kemukjizatannya senantiasa terjaga utuh, walaupun sains dan ilmu pengetahuan manusia hari demi hari sebegitu cepat mengalami kemajuan pesat.

Ketiga Bersandar, untuk menafikan atau menakwil mukjizat, pada penekanan para nabi akan sisi kemanusiaan dirinya dan penolak- an mereka terhadap mukjizat tuntutan orang-orang terhitung semacam kerancuan berpikir dan penyembunyian kebenaran.

Tentunya, selain mengakui sifat-sifat insaniah, para nabi juga meyakini diri mereka berpredikat kenabian dan berhubungan dengan alam gaib.

Demikian pula mengajukan sikap para nabi menolak mukjizat tuntutan orang-orang tidaklah benar untuk meng- ingkari mukjizat mereka, karena asas filosofi mukjizat adalah menyingkap hakikat dan membuktikan kebenaran kenabian mereka. Para nabi tidak mesti merespon segenap tuntutan manusia. Terlepas dari analisis jenis tiap-tiap tuntutan manusia itu sanggup membongkar motif subjektif mereka, galibnya tuntutan mukjizat itu datang dari kalangan tokoh masyarakat, jajaran elite, dan didasari maksud pelecehan serta antikebenaran, bukan karena fanatisme kebenaran. Lebih dari itu, tuntutan mereka itu sendiri cukup menunjukkan kekerdilan dirinya sendiri: mereka menutup jendela intelektualitas dan kesadaran diri, menuntut suatu perkara yang, bila saja direalisasaikan, hanyalah sia-sia, konyol, atau semacam permainan dan tawar menawar seperti: permintaan agar Tuhan, malaikat dan langit

p: 81

turun kepada mereka, memancarkan mata air dan mengairi kebun anggur.

Dan mereka berkata, “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai- sungai di celah kebun yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami, Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali- kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuab kitab yang kami baca." Katakanlah, "Mahasuci Tubanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?" (QS. Al-Is- ra? [17]: 90-93).

Keempat Berdalil dengan ayat-ayat yang menyatakan ketidakberubahan sunnatullah untuk menafikan atau menakwil mukjizat juga tidak berdasar, sebab dari satu sisi, kandungan awal dan akhir juga konteks ayat-ayat yang berkaitan dengan sunnatullah menunjukkan bahwa semua ayat itu berkaitan dengan nasib pasti seluruh manusia. Muatan ayat-ayat itu mengungkapkan hubungan sebab-akibat antara perbuatan orang saleh, orang jahat dan nasib mereka. Kesimpulannya, orang-orang yang mengikuti

p: 82

jalan nabi akan mendapatkan keberuntungan dan kenikmatan, sementara kelompok yang membangkang hidayah Ilahi dan kenabian akan mendapatkan kerugian dan siksaan.

2.

Maka tatkala datang kepada mereka rasul-rasul (yang diutus kepada) mereka dengan membawa ketarangan-keterangan, mereka merasa senang dengan pengetahuan yang ada pada mereka] dan mereka dikepung oleh azab Allah yang selalu mereka perolok-olokkan itu. Maka tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata, “Kami beriman hanya kepada Allah saja, dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah. Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir" (QS. Al-Ghafir [40]: 43-45).

Dan sekiranya orang-orang kafir itu memerangi kamu pastilah mereka berbalik melarikan diri ke belakang (kalah) kemudian mereka tiada memperoleh pelindung dan tidak (pula) penolong.

Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan bagi sun- natullah itu (QS. Al-Fath [48]: 22-23).

Dari sisi lain, sekalipun diasumsikan sunatullah (hukum cipta Tuhan) itu berlaku umum pada seluruh hukum yang mendominasi alam semesta, mukjizat itu sendiri juga termasuk bagian dari sunnatullah: terjadi bersamaan dengan pengutusan

p: 83

para nabi dalam rangka memberi hidayah tasyri’iyah (hukum tinta) kepada manusia.

Analisis Rasional dan Al-Qur'an

Bertolak dari hukum-hukum akal seperti: kausalitas, keseutuhan hakikat antara sebab dan akibat, pertanyaan yang kemudian mempersoalkan mukjizat adalah, apakah menerima mukjizat akan menciptakan kekacauan pada sistem kausalitas yang valid itu? Pada intinya, apakah mukjizat itu perkara yang mungkin terjadi atau malah mustahil? Telah kita saksikan, dalam menjawab persoalan ini, ada sekelompok orang yang memilih mukjizat, mengakui kekuasaan mutlak Tuhan, dan menyangkal hukum kausalitas. Sementara sekelompok lainnya memihak sistematika gejala alam dan kekokohannya, namun mengingkari mukjizat dengan cara-cara takwil dan justifikasi. Akan tetapi dengan menyimak tiap-tiap pandangan ini berikut dampak-dampak logisnya, tampak jelas bahwa tidak ada satu pun yang dapat menciptakan harmoni antara dua kenyataan riil itu.

Sekarang kami akan menyoroti topik ini dari sudut pandang yang lain. Pertama-tama, berusaha menjelaskan seperlunya unsur dan bagian yang terlibat dalam topik hingga menjadi jelas bahwa tidak ada kontradiksi antara mukjizat kenabian dengan hukum akal, dan tidak ada sama sekali pengecualian serta lompatan (leaping) dalam sistem kausalitas.

p: 84

Al-Qur'an dan Hukum Universal Kausalitas

Dalam rangka menjawab pertanyaan di atas tadi, yakni apakah menerima mukjizat berarti menafikan hukum kausalitas?, mari kita merujuk ajaran para nabi dan para pengklaim mukjizat untuk kita selidiki: bagaimana ajaran yang mengklaim terjadinya mukjizat itu mengakui status dan kekuatan hukum kausalitas? Tentunya jelas bahwa kata-kata sebab, akibat dan kausalitas adalah istilah filsafat. Kami tidak berharap kiranya istilah-istilah ini juga dapat dijumpai dalam teks-teks agama. Tapi yang mesti kita teliti ialah muatan istilah-istilah ini: apakah terkandung dalam teks agama ataukah tidak? Dalam konvensi umum, sebab dipergunakan dalam arti “motif” dan “tujuan”. Adapun dalam filsafat, istilah ini memiliki dua pengertian: pertama, sejenis konsep umum (mafhûm âmm), yakni segala sesuatu yang kepadanya sesuatu yang lain memiliki suatu ketergantungan seperti: air, tanah, cahaya, dan benih dalam pertumbuhan sebuah pohon. Pengertian kedua ialah konsep khusus (mafhảm khâshsh), yakni agen efisien (baca: pewujud) suatu fenomena.

Dengan apa pun dari dua pengertian di atas tadi, sebab dapat dibuktikan melalui akal dan teks Al-Qur'an. Bukti-bukti rasional eksistensi Tuhan seluruhnya berdasarkan hukum kausalitas. Tauhid Tindakan-Tuhan dan efisiensi independen Tuhan, pada intinya, menyatakan bahwa semua fenomena alam, dalam awal kejadian dan keberlangsungannya, bergantung pada Tuhan.

p: 85

Adapun ‘sebab' dalam pengertian umum, yakni segala efisiensi dan pengaruh terhadap sesuatu yang lain, juga secara jelas dan panjang lebar disinggung Al-Qur'an. Tidak hanya memandang penting berbagai realitas ‘sebab' yang dikenal manusia melalui eksperimen, Al-Qur’an bahkan menyingkapkan varian lain dari sebab' yang berada di luar skala eksperimen dan fokus manusia. Ini sebagaimana dalam sejumlah ayat dijelaskan hubungan di antara gejala-gejala alam materi. Misalnya, prinsip materiil penciptaan langit adalah asap, bahan materiil penciptaan manusia adalah tanah, dan permulaan materiil setiap makhluk hidup materil adalah air.

Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap (QS. Al-Fus- hshilat [41]: 11).

Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat (QS. Al-Anbiya [21]: 30).

Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup (QS. Al-Shaffat [37]: 11).

Lebih jauh lagi, ada ayat-ayat yang membicarakan peng- aruh wujud nonmateri seperti peran dan pengaruh tindakan para malaikat.

> Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) (QS.

Al-Fathir [35]: 1).

p: 86

Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan keras, dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa) dengan lemah-lembut, dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat, dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang, dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia) (QS. Al-Nazi'at [79]: 1-5).

Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia (QS. Al-Naas [114]: 4-6).

Dari ufuk lain, Al-Qur'an juga menjelaskan keajaiban dari pengaruh besar perbuatan manusia dalam determinasi nasib dirinya, keluarga dan kerabat, masyarakat sekitarnya, dan bahkan lingkungan hidup dan letak geografis yang ditempatinya.

) Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS. Al- Najm [53]: 39).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya (QS. Yunus [10]: 9).

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandai- nya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan ben- daklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (QS.

Al-Nisa' [4]: 9).

p: 87

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertak- wa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (QS. Al-A'raf [7]: 96).

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia (QS. Al-Ruum [30]: 41).

Tepat kiranya menutup topik ini dengan mengutip catatan Allamah Thabathabai dalam menafsirkan ayat ketiga Surah Thalaq. Ia membubuhkan bahwa Allah SWT akan melakukan apa yang Dia dikehendaki dan tidak akan ada yang mampu menghalangi tindakan-Nya (Innallâha bâlighu amrih). Walau demikian, wujud segala sesuatu dan fenomena itu terbatas, memiliki kapasitas tertentu yang tidak dapat lepas bebas darinya seperti pelbagai keterikatan, syarat, kondisi eksistensial, ruang, waktu ... Maka, masing-masing akan menjadi ada melalui kanal- kanal khas wujudnya dan sebab-sebab tertentu.

Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS. Al-Thalaq [65]: 3).

Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami- lab khazanahnya dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu (QS. Al-Hijr [15]: 21).

Akal dan Kemungkinan Mengakui Mukjizat

Berangkat dari validitas hukum kausalitas dan kekokohan sistem alam semesta, apakah mukjizat termasuk sebuah eksepsi dari hukum-hukum pasti tersebut? Dalam kapasitasnya sebagai

p: 88

perkara yang luar biasa, apakah mukjizat akan meniscayakan suatu kemustahilan? Jika merujuk ulang beragam arti dan pemakaian kata “mustahil”, jawaban atas pertanyaan ini akan lebih mudah dicapai.

Sesekali, maksud dari kata mustahil adalah mustahil secara esensial (muhâl dzâtî), yakni sebuah hipotesis dalam dirinya sendiri tergandung kontradiksi. Tercatat dalam logika bahwa dua kontradiktif adalah tidak lain dari ada dan tiada. Misalnya, mengasumsikan sebuah gunung sebagai atom di saat dia benar- benar gunung. Artinya di saat berupa gunung, dia juga bukan gunung. Seperti ini tidak mungkin terjadi.

Contoh lainnya, mengasumsikan Tuhan sebagai makhluk.

Asumsi ini menyatakan bahwa dalam kedudukan sebagai Tuhan, Tuhan bukanlah Tuhan. Berkumpulnya dua hal kontradiktif (ada dan tidak ada) dengan syarat-syarat khasnya adalah mus- tahil, sama mustahilnya dengan menafikan dua hal kontradiktif secara sekaligus.

Ada arti lain dari “mustahil”, yaitu mustahil secara aktual (muhâl wuqûî), yakni sesuatu yang, bila diasumsikan kejadian- nya, dalam dirinya sendiri tidak mengandung kontradiksi, tetapi meniscayakan kontradiksi. Mustahil ini kadangkala disebut juga dengan mustahil karena selain (muhâl bi al-ghair). Misalnya, mengasumsikan sebuah akibat, di saat dia sebagai akibat, tanpa sebab tertentu. Kejadian mustahil semacam ini akan menurunkan kontradiksi. Yakni, konsekuensi logis dari asumsi kejadiannya ialah bahwa dalam statusnya sebagai akibat, akibat itu bukanlah akibat. Konsekuensi ini jelas keliru dan mustahil terjadi.

p: 89

Arti terakhir dari “mustahil” ialah sesuatu itu secara esensial dan secara aktual tidak mustahil terjadi, namun hanya lantaran opini umum dan tradisi lalu dinilai sebagai perkara mustahil.

Misalnya, sebuah gejala yang biasanya” terjadi dari sebab tertentu, tetapi secara rasional dia bisa saja terjadi melalui sebab yang lain. Mustahil jenis ini pada dasarnya bukan mustahil, karena sesuai pengertiannya, dia itu nyatanya mungkin terjadi, dan konvensinya sebagai mustahil lebih merupakan kekeliruan diksial semata.

Sekarang pertanyaannya, mukjizat itu termasuk ke dalam kategori mana dari sekian arti mustahil di atas? Jelas, asumsi terjadinya mukjizat bukanlah mustahil secara esensial, bukan mustahil secara aktual yang meniscayakan kontadiksi, tetapi hanyalah mustahil secara konvensional, yakni sejauh dijangkau pengetahuan biasa manusia, sebagaimana ia menyaksikan serangkaian fenomena (akibat) mengikuti fenomena yang lain (sebab), tetapi apakah fenomena kedua ini satu-satunya sebab kejadian fenomena pertama ataukah ada sebab alternatif lain? Tidak ada kepastian dan determinasi di sini, karena ada kemungkinan bahwa fenomena pertama itu produk sebab yang lain yang, bagi kita manusia biasa, masih misterius.

Perbedaan Prinsip Kausalitas dan Realitasnya

Dari uraian sebelumnya jelas bahwa ada perbedaan antara prinsip kausalitas dan realitas konkret sebab dan akibat. Kausalitas adalah sebuah prinsip rasional dan termasuk dalam konsep abstrak (mafâhîm intizâ'iyyah) mental manusia, yakni sekalipun

p: 90

berupa perkara subjektif di mental, ia menjadi kualitas riil untuk entitas objektif di luar. Prinsip rasional kausalitas ini sama sekali tidak mengidentifikasi realitas sebab dan akibatnya.

Realitas sebab dan akibat adalah entitas-entitas objektif di alam luar yang hanya dapat diketahui dalam sebuah proses kognitif tersendiri dengan perantara pengalaman empiris atau dengan mediasi wahyu dan atau akal. Kalau lantas dalam suatu kasus, pengalaman empiris tidak berhasil menemukan sebab dari sebuah fenomena, apakah lantas bisa diklaim bahwa fenomena itu tidak bersebab dan hukum kausalitas tidak valid atau meng- alami eksepsi? Tentu saja, klaim semacam ini sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dari sisi lain, pada dasarnya, apakah eksperimen bisa melaporkan kepada kita sebab hakiki dan eksklusif suatu kejadian? Jika sains dapat membuktikan bahwa cahaya tercipta dari unsur-unsur tertentu, lalu apakah bisa disimpulkan bahwa hanya kumpulan unsur ini saja yang dapat menjadi penyebab terciptanya cahaya? Yang hanya dapat dipastikan ialah bahwa segala sesuatu di alam memiliki hukum yang kokoh dan tidak dapat berubah. Namun, mungkin saja ada jarak signifikan antara sebab kejadian yang lazim kita ketahui dan sebab hakikinya, karena boleh jadi sesuatu yang dinilai sebab oleh pengetahuan manusia bukanlah sebab hakiki, tetapi lapisan yang menutupi sebab hakikinya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu-ilmu empiris, dari aspek ini, senantiasa berada dalam proses penyempurnaan dan akan lebih akurat lagi dengan pelbagai upaya penelitian dan

p: 91

induksi dalam mengenali sebab segala sesuatu. Dalam konteks ini, apa yang berubah pada dasarnya adalah kesimpulan dan persepsi kita saja terhadap alam materi, bukan sistem alam itu sendiri. Sistem yang berlaku dominan atas alam senantiasa satu dan konstan; tidak akan pernah terjadi perubahan di dalamnya.

Dalam Miracles, Richard Swinburne sepanjang bantahan terhadap kritik atas hukum alam mengatakan:

Sistem alam semesta adalah universal. Oleh sebab itu, jika di dalamnya terjadi eksepsi, ini bukti bahwa apa yang kita pikirkan sebagai hukum alam sebenarnya bukan sama sekali hukum alam. (1) Jadi, dengan rumusan proposisi hipotesis dapat dikatakan secara umum, “Jika eksperimen menemukan faktor asli dan hakiki terjadinya sesuatu, maka produk hukumnya pasti, niscaya dan tidak dapat berubah. Akan tetapi, mengingat pengetahuan empiris manusia tentang alam itu relatif dan dalam proses menyempurna, maka sangat sulit mengenali sebab hakiki sebuah kejadian. Maka, dalam hubungan sebab-akibat yang berlangsung di antara A dan B, tidak bisa keberadaan faktor ketiga (selain A dan B] dinyatakan sebagai mustahil”.

Skala Kausalitas: Melampaui Alam Materi

Noktah lain yang tidak seperlunya dilewatkan begitu saja, apakah hubungan efektif sebab-akibat hanya berlaku di antara dua fenomena materi saja? Pada kenyataannya, proses hukum

p: 92


1- 33. Tanoqudhnamo yo Ghaybnamo, hlm. 101, dinukil dari Ri- chard Swinburne, Miracles, “Violation of Law Nature”, 18.

kausalitas dan ketergantungan akibat sebab tidak dapat dibatasi hanya pada fenomena materi. Contoh paling dekat untuk hubungan sebab-akibat antara hal materi dan hal nonmateri ialah hubungan antara jiwa dan badan manusia, sebagaimana didukung oleh pengakuan para pakar ilmu-ilmu empiris. Lebih dari itu adalah pengaruh luar biasa para ahli sihir yang berada jauh dari formula-formula lazim dalam sistem alam.

Di awal topik ini, berangkat dari tinjauan wahyu, telah digaris-bawahi bahwa realitas konkret dari masing-masing sebab dan akibat serta hubungan kausalitas adalah lebih luas dari sekedar dua fenomena materiil, pengaruh perbuatan dan bahkan motif positif atau negatif seseorang terhadap wilayah alam, demikian juga pengaruh malaikat dan setan terhadap alam materi adalah rangkaian informasi faktual yang diketengahkan Al-Qur'an kepada manusia.

Lain dari itu, bahkan secara benar-benar fundamental, atas dasar inferensi rasional, sudut pandang ketuhanan mengenai eksistensi, dan doktrin ketauhidan tentang alam wujud dan status Tuhan sebagai Pencipta segenap makhluk alam: semua ini merupakan contoh-contoh konkret dari pengaruh nonmateri atas materi. Bila poin ini dirujuk, jelas tidak dapat diklaim bahwa peristiwa mukjizat adalah eksepsi terhadap hukum alam yang pasti, permanen dan tidak berubah, sebab terlepas dari kebergantungannya pada Sebab Pewujud alam, yakni Tuhan Yang Mahakuasa, mukjizat bisa memiliki rangkaian sebab yang khas sepanjang pengaruh dan efisiensi Tuhan, walaupun bagi kita masih misterius. Michael Peterson mengatakan:

p: 93

Jika diasumsikan bahwa setiap kejadian hanya memiliki sebab alamiah, maka peristiwa mukjizat tidak relevan dengan hukum alam. Akan tetapi, jika diakui ada unsur selain sebab alamiah yang juga dapat berpengaruh terhadap alam, maka ini tidak termasuk pengguguran [terhadap mukjizat).

Peterson menambahkan, “Oleh argumentasi rasional belum terbuktikan bahwa intervensi Tuhan dalam peristiwa alam ini adalah mustahil, dan mukjizat itu semacam intervensi ini. ”(1) Selain sebab, ada hakikat lain jangan kau tatap sebab di dalamnya, cermatilah.

Tuk menggugur sebab, para nabi datang tancapkan mukjizatnya di atas alam.

Tanpa sebab pecahkan samudera tanpa ladang suburkan gandum.

Jalaluddin Rumi

Mukjizat antara Merusak atau Membatasi Hukum

Telah kita ketahui, hukum sebab-akibat adalah hukum akal yang sama sekali tidak dapat berubah-ubah. Dan setiap entitas di sistem wujud ini, yakni sistem kekuasaan dan pengaturan Tuhan, menemukan posisi dan status eksistensialnya dalam lingkup efektivitas hukum-hukum yang universal, permanen, pasti, dan pembentuk tata cipta sebaik mungkin. Pertanyaannya,

p: 94


1- 34. Peterson and others: Reason and Religious Belief, hlm.158-159.

ada hakikat lain jangan kau tatap sebab di dalam-nya, cermatilah.Tuk menggugur sebab, para nabi datang tancapkan mukji-zatnya di atas alam. Tanpa sebab pecahkan samudera tanpa ladang subur-kan gandum di manakah posisi dan status mukjizat sebagai bagian dari peristiwa alam dalam sistem itu? Perlu dicatat dalam jawaban bahwa sekalipun dalam tinjauan awal, mukjizat dipahami sebagai perkara yang luar biasa, namun kualitas keluarbiasaan ini tidak meniscayakan kontradiksi dengan hukum-hukum yang nyata dan pasti, karena terealisasinya setiap hukum cipta (takwînî) dalam sistem hierarki eksistensi bergantung pada keberadaan subjek (mawdhû), terciptanya kondisi tertentu serta tidak adanya kendala; yang semua ini juga merupakan produk dari hukum-hukum yang lain. Dengan kata lain, sebagaimana dalam efektivitas hukum-hukum positif dan syariat sesuai dengan kesiapan kondisi, subjek dan ketiadaan kendala mungkin sebuah hukum menafikan subjek hukum lain dan menutup peluang kejadiannya; demikian pula efektivitas salah satu hukum cipta juga boleh jadi melenyapkan atau membatasi subjek efektivitas hukum lain.

Dari segi ciri-ciri khas, mungkin saja subjek sebuah hukum memiliki syarat dan kendala yang lebih sedikit sehingga lebih berpeluang terwujud, sebaliknya (subjek] hukum lain memiliki syarat dan kendala yang lebih kompleks sehingga berpeluang lebih kecil untuk terwujud. Walaupun demikian, dari satu sisi ini tidak ada perbedaan, yaitu kapan saja sebuah subjek dari salah satu hukum itu terwujud, maka terwujudnya hukum itu niscaya sesuai dengan sunnatullah yang pasti dan permanen.

p: 95

Adapun klasifikasi peristiwa, menurut terjadi atau tidaknya, kepada yang selalu terjadi (dâ’im al-wuqû), yang-sering-terjadi (aktsariy al-wuqû), yang-jarang-terjadi (aqalliy al-wuqû), dan yang biasa terjadi (musâwî al-wuqû) adalah klasifikasi yang relatif dan komparatif: sejauh perbandingan satu dengan yang lain.

Akan halnya jika setiap hukum an sich diamati dalam konteks syarat-syarat khasnya, hukum ini niscaya selalu (dâ’imî) dan pasti efektif.(1) Jika dalam suatu kasus, kita selalu menjumpai suatu peristiwa lalu menyebutnya sebagai kebiasaan (adah), maka mukjizat pas- tilah di luar kebiasaan (luar biasa). Namun, jika kita memandang keseluruhan sistem alam wujud lalu menamakannya sebagai sunnah, maka mukjizat bukan sekadar di luar sunnah, tetapi dia sendiri justru salah satu dari sunnatullah yang tidak berubah.

Sebagaimana Allah menjadikan karakter membakar pada api sebagai sunnatullah dalam kondisi tertentu, begitu pula Dia menjadikan kenabian sebagai bagian dari sunnatullah, yakni tidak membiarkan manusia begitu saja tanpa juru petunjuk.

Setiap kali manusia membutuhkan seorang nabi, sementara insan kamil juga ada, maka kenabian pun menjadi keniscayaan.

Dan jika pembuktian kenabian membutuhkan mukjizat, maka penampakan mukjizat menjadi keniscayaan oleh seorang nabi yang jiwanya telah memenuhi persyaratan dan menjadi kanal efektivitas hukum.

Hukum itu pasti “selalu” dan “niscaya” jika kita mengamati- nya secara prinsipal dan an sich. Hanya saja, subjek dan syarat

p: 96


1- 35. Muthahari, Majmueh-e Âtsâr, jld. 4, Bab I'jâz; Qasim Kakaie: Khudamehvari, hlm. 270.

efektivitas hukum ini, terjadinya tindakan yang luar dari biasa, pengaruh jiwa seorang nabi, pengelolaannya terhadap alam, pele- nyapannya akan subjek hukum-hukum alam yang lain tidaklah banyak tersedia. Karena itulah mukjizat jarang terjadi. Dalam kasus-kasus kejadian mukjizat, tidak ada satu hukum pun yang terlanggar. Justru dengan terpenuhinya syarat-syarat kejadian mukjizat sebagai hukum yang unggul, lenyaplah kondisi dan subjek hukum yang biasa. Ini sebagaimana jika rangkaian hukum psikis yang berhubungan pada jiwa manusia memengaruhi fisik dan menjadi sebab kesembuhan sejumlah penyakit; fakta ini tidak berarti menafikan dan menggugurkan validitas hukum kedokteran serta efek obat terhadap badan manusia. Akan tetapi, dengan terpenuhinya syarat-syarat kejadian faktor psikis sebagai hukum yang unggul, tidak ada lagi subjek dan kondisi untuk berlakunya efek obat-obatan biasa.(1) Adalah takdir Ilahi bahwa hukum ilmiah alam ini tidak ubahnya dengan hukum kedokteran bagi kerangka alam, hanya saja berdasarkan sunnatullah ada juga hukum lain yang berlaku dominan di alam ini; hukum yang berkedudukan layaknya hukum psikis bagi alam ini. Tentu saja, bersandar pada hukum itu, yakni upaya menyingkapnya dan seni memanfaatkannya, akan disertai kekuatan gaib dan metafisis yang berhubungan dengan Sumber Wujud (mabda âlam) dan Kekuatan Terbatas.

Dari aspek pribadi seorang nabi, mukjizat bersandar pada jiwa nabi; jiwa yang berderajat tinggi dan mencapai kedudukan risalah Ilahi. Dan dari aspek keilahian dan kegaiban, mukjizat juga bergantung pada emanasi (faydh) khusus Tuhan. Di

p: 97


1- 36. Rujuk: Kazhim Zadeh Iransahr: Tadovi-e Rühi.

dalamnya, Dia menempatkan diri nabi pada kelayakan, kriteria dan kapasitas yang diperlukan sebagai kanal emanasi tersebut.

Mukjizat: Perbuatan Tuhan atau Nabi?

Seperti juga wahyu, mukjizat adalah fenomena dwidimensi: dari satu sisi, berdimensi manusiwi, yakni dari segi substansialnya berbanding lurus dengan hidayah, ilham, dan petunjuk internal yang diinstalasikan Tuhan dalam diri segenap makhluk sesuai derajat eksistensial masing-masing. Dari sisi lain, mukjizat berdimensi metamanusiawi dan adikodrati, yakni sebentuk ilham dan wahyu yang dimiliki para nabi dan dikhususkan bagi manusia pilihan Tuhan. Maka jelas, dimensi ini tidak ditemukan pada diri manusia biasa.

Jadi, mukjizat itu adalah perkara insani dari segi jenis perbuatan, yakni sejenis kekuatan manusia yang tingkat paling rendahnya, kurang lebih, terdapat pada semua orang. Akan tetapi dari sisi lain, mukjizat melampaui kekuatan manusia dan bersandar pada kekuatan Tuhan yang tidak terbatas, yakni sejenis kekuatan yang terdapat pada para nabi. Kekuatan ini tidak bisa dibatasi, tidak bisa dilawan, tidak juga bisa dibandingkan dengan kejeniusan dan kekuatan jiwa-jiwa tinggi yang serba terbatas dan determinatif.

Pertanyaan yang mengemuka di sini, apakah kekuatan yang tidak tertandingi dan terjadi melalui para nabi ini adalah tindak- an langsung Tuhan, sementara para nabi tidak lebih dari sekedar alat pelaksana sebagaimana menurut pandangan Asy'ariyah dan para pengikutnya? Ataukah justru mukjizat itu tindakan langsung

p: 98

nabi yang berasal dan produk kekuatan jiwa dan kehendaknya, hanya saja ia terjadi dengan izin dan kehendak Tuhan? Dalam pandangan sebagian mazhab Islam, jika kita meyakini mukjizat itu bergantung pada iradah dan kekuatan jiwa para nabi, berarti kita telah mengeluarkannya dari skala kekuasaan Tuhan, dan ini meniscayakan sebentuk syirik! Sesuai tingkat pemahamannya, mereka membagi tindakan kepada dua bagian:

besar dan kecil. Menurut mereka, “Tindakan kecil dan remeh seperti melempar tongkat, meniup, berdoa, dan lain-lain ...

adalah tindakan seorang hamba. Adapun tindakan besar seperti membelah laut, menghidupkan orang mati, mengirim angin topan, dan lain-lain ... adalah tindakan Tuhan.” Namun, mereka lalai bila dari segi efektivitas independen, Tauhid Tindakan-Tuhan, dan kejadian eksistensial, seluruh peris- tiwa besar dan kecil alam berada dalam skala kehendak Tuhan.

Tentunya, konklusi ini sama sekali tidak bermakna menafikan peran sebab sekunder ('illat tsanawiyyah) yang efektivitas segala sesuatu bergantung pada izin takwini (cipta) Tuhan dan berada sepanjang efektivitas dan efisiensi-Nya. Jadi, menyandarkan mukjizat pada kekuatan jiwa tinggi para nabi sama sekali tidak bertolak belakang dengan prinsip tauhid. Ini sebagaimana sejumlah tindakan dinisbatkan kepada malaikat, “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya” (QS. Al-An'am [6]:

61). Penisbatan ini sedikit pun tidak berdampak pengabaian pengaruh Tuhan, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya”

p: 99

(QS. Al-Zumar [39]: 42). Penyandaran dan penisbatan ini ter- akomodasi dalam satu ayat:

Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar (QS.

Al-Anfal [8]: 17).

Dengan demikian, baik berdasarkan akal, prinsip kausalitas dan keseutuhan hakikat sebab dan akibat ataupun teks agama, tidak ada jalan selain menyandarkan mukjizat pada daya jiwa kudus dan kekuatan ruh para nabi. Penyandaran ini tidak menyisakan persoalan logis apa pun. Tentu saja, meyakini independensi kekuatan, apakah besar atau kecil apa pun, manusia di hadapan kekuatan Tuhan berdampak pada kesyirikan.

Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah (QS. Al- Ghafir [40]: 78).

Kandungan ayat ini, dari satu sisi, menegaskan bahwa para nabi dan bahkan tidak ada seorang pun yang bertindak secara benar-benar independen. Apa saja yang mereka miliki tidak lepas dari kehendak cipta dan penciptaan Tuhan. Dari sisi lain, ayat ini juga menerangkan bahwa pelaku realisasi mukjizat adalah para nabi sendiri, dan mukjizat adalah tindakan mereka; tentunya

p: 100

dengan syarat “seizin Allah”. Karena, jika mukjizat adalah tindakan langsung Tuhan, maka tidak perlu lagi izin-Nya. Dua sisi ini juga ditekankan dalam kisah Nabi Isa as.

Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka), Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku me- nyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah (QS. Al Imran [3]: 49).

Al-Qur’an bahkan menisbatkan tindakan para penyihir sihir pada diri mereka sendiri sekaligus, tentu saja, berlangsung atas izin dan kehendak cipta Tuhan.

> Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sibirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah (QS. Al- Baqarah [2]: 102).

p: 101

(Mereka tidak lihat hikmah lepas dari kalimatmu kalaupun seratus ribu hakim tepekur di menara. Kaulah hakikat Quran,lebih unggul dari Quran. Quran diam nan mulia kala kaulah pe-cakap nun mulia.Surga tertinggi itulah alam wila- yahmu jalanmu di sana telaga Kautsar dan angin tasnim).

Seperti juga mukjizat, peristiwa ini menunjukkan keagungan, kekuasaan dan kekuatan luar biasa pada jenis manusia yang mengejawantah dalam diri para nabi. Inilah realitas yang ditegaskan para filosof Islam dalam menafsirkan sebab mukjizat, yaitu jiwa nabi itu sendiri. Tentang jiwa manusia, mereka menyatakan:

Manusia memiliki dua kekuatan: pertama, kekuatan teoretis (na-zharî) yang ketika telah mencapai kesempurnaan, pada kekuatan ini akan tercecap forma-forma konsep intelektual (shuwar ma‘qû-lât) yang berasal dari alam mufâriq dan mujarrod (transenden) dan menjadi sumber gaib pengetahuannya. Kedua, kekuatan praktis (amalî), yaitu kekuatan bertindak dan berpengaruh terhadap alam materi hingga darinya muncul tindakan ajaib dan luar biasa.(1) Pada hemat Farabi, seorang nabi tidak ubahnya ruh alam:

sebagaimana jiwa partikular (manusia biasa] bertindakkuasa atas badan miliknya, jiwa [universal] nabi juga memiliki sebuah kekuatan suci yang dapat bertindak-kuasa atas alam raya sekualitas badannya.(2)

p: 102


1- 37. Al-Mathâlib Al-'Aliyah, jld. 8 dan 9, hlm. 127.
2- 38. Syarh Fushûsh Al-Hikmah, Muhammad Taqi Ustur Abadi, hlm. 281.

Mereka tidak lihat hikmah lepas dari kalimatmu kalaupun seratus ribu hakim tepekur di menara.

Kaulah hakikat Quran, lebih unggul dari Quran Quran diam nan mulia kala kaulah pecakap nun mulia.

Surga tertinggi itulah alam wilayahmu jalanmu di sana telaga Kautsar dan angin tasnim.

Malik Syuara, Bahar MUKJIZAT DALAM LINTASAN SEJARAH Abad V Abad ini adalah salah satu periode terpenting terdahulu, sedemikian rupa hingga para ulama pada masa ini banyak menuangkan ide dan mengarang buku berkenaan dengan masalah kemukjizatan Al-Qur'an. Pada kurun ini, segera setelah periode Kebangkitan Terjemahan dan penggagasan berbagai pemikiran filsafat serta teori-teori asing, tampil sejajaran tokoh seperti Abul “Ala”. Mereka berusaha mengkritik dan menantang Al-Qur'an. Sikap ini lalu memicu reaksi para teolog Muslim untuk juga dalam kapasitas mereka bangkit dan berusaha membela keutuhan Al-Qur'an dengan menuangkan pikiran mereka dalam bentuk karya ilmiah. Beberapa nama tersohor yang juga menggali dimensi kemukjizatan Al-Qur'an adalah Ibnu Suraqah (410 H), Syarif Murtadha (436 H), Daie Du’at yang berjuluk Muayyiduddin, Ibnu Hazm Andalusi (456 H) seorang teolog dan pengarang Al-Fashl fi Al-Milal wa Al-Nihal yang memiliki metode khusus

p: 103

dalam mengkritik kemukjizatan Al-Qur’an serta punya kecenderungan ke arah teori Sharfah, dan Ibnu Sinan Khaffaji (466 H) seorang penyair ternama dan penulis Sirr Al-Fashahah: sebuah karya sastra spesial di bidang ilmu Balaghah dan Bayan.(1) Selain mereka, masih ada beberapa tokoh abad ini yang juga meninggalkan sejumlah karya ilmiah, seperti:

Abu Bakar Muhammad Thayyib Baqilani (338-403 H), salah seorang teolog Asy'ariyah, ahli fikih masanya, pengarang banyak buku, yang sangat popular berkaitan dengan tema ini adalah I'jâz Al-Qur'ân. Dia meyakini bahwa Al-Qur'an dengan sendirinya adalah keotentikan dan dalil pembukti kenabian, maka keraguan akan hal tersebut sama artinya dengan meragukan sesuatu yang aksiomatis.

Di masa hidupnya, sebagian orang meyakini bahwa mukjizat Al-Qur'an terbatas hanya pada masa hidup Rasulullah saw. Atas dasar ini lalu dia menekankan bahwa Al-Qur'an merupakan mukjizat sepanjang masa.(2) Seraya memperlihatkan berita-berita gaib Al-Qur'an, ke-ummi-an (kebutaaksaraan) Rasulullah SAW dan pemaparan kisah-kisah, Baqilani juga menguraikan secara memadai lirik, gaya bahasa dan keindahan sastra Al-Qur'an. Menurutnya, “Kita tidak menemukan satu karya pun dari sastra masyarakat Arab yang sebanding dengan keindahan sastra Al-Qur’an. Walaupun memuat berbagai topik seperti: perintah, larangan, harapan dan

p: 104


1- 39. Târîkh Fikrah 'jaz ân.
2- 40. I'jâz Al-Qur'an, editor: Ahmad Shafar, Dar Al-Ma'arif, Mesir, hlm. 3.

ancaman, cerita, dan topik lainnya, akan tetapi ia tetap membuktikan dirinya yang terbaik dalam setiap topik ini.” Baqilani menuliskan:

Ragam-ragam ucapan itu sangat variatif, khususnya ketika seorang penulis berpindah dari satu topik ke topik yang lain: tuturannya mengalami perubahan dan pergeseran. Namun, Al-Qur’an menampakkan suatu koherensi dan keutuhan yang sungguh mengagumkan.

Al-Qur’an mengetengahkan sebuah pemikiran baru dengan gaya penuturan yang juga benar-benar baru: ia supramanusia atau justru nonmanusiawi. Atas dasar inilah keunggulan dan kecemerlangannya tampak jelas seketika sepenggal kalimat dari ayat-ayatnya dibawakan dalam teks orang lain.(1) Dengan memperlihatkan letak-letak keindahan sastra Arab dalam beberapa contohnya yang paling unggul dari ucapan orang Arab, termasuk bahkan sabda Nabi SAW dan perkataan para sahabat, Baqilani juga memperbandingkan gaya bahasa Al-Qur'an hingga membuktikan lirik khas dan gaya bahasa unggul Al-Qur'an. Pada akhirnya, ia menorehkan, “Telah kita buktikan dengan jelas bahwa lirik Al-Qur’an dibangun di atas keindahan bahasa

p: 105


1- 41. Ibid., hlm. 204.

yang tidak ada taranya, dan gaya bahasa yang bernilai dan berwibawa.”(1) Dengan kata lain, walaupun permasalahan tentang lirik (nazhm) Al-Qur'an sudah dibahas sejak masa Abu ‘Ubaidah, Ibnu Quthaibah, Jahizd, Wasithi, dan Khath- thaie, akan halnya Baqilani berbicara tentang lirik sastra yang kokoh:

Lirik Al-Qur'an sungguh mukjizat, karena liriknya di luar dari semua ragam lirik yang lazim dalam ucapan orang-orang. (2) Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad, seorang teolog Muktazilah (415 H) juga melakukan banyak studi tentang kemukjizatan Al-Qur'an. Dia mengatakan, “Aspek kemukjizatan Al-Qur'an ialah seruan adu kekuatan (tahaddi) kepada bangsa Arab. Walaupun mereka berada di puncak keindahan seni bahasa, Al-Qur'an menegaskan bahwa mereka sama sekali tidak akan bisa menciptakan karya seperti Al-Qur'an. Seruan dan penegasan tidak lain adalah ketidakmampuan mereka di hadapan Al-Qur'an, dan oleh karena ini pula mereka lalu menempuh jalur kekerasan dan peperangan.(3) Dalam jilid XVI dari karyanya Al-Mughnî fi Abwâb Al-Tauhîd wal Adl, Abdul Jabbar membahas khusus hanya tentang Al-Qur'an. Pertama-tama dia menganalisis kesahihan penukilan Al-Qur'an dan kemutawatirannya

p: 106


1- 42. Ibid., hlm. 300.
2- 43. Ijaz Al-Qur’an, editor: Ahmad Shafar, Dar Al-Ma'arif, Mesir, hlm. 75.
3- 44. Syarh Al-Ushûl Al-Khamsah, komentar Ahmad bin Husain bin Abi Hasyim, diteliti dan diintroduksi oleh Abdulkarim Utsman, Mesir, hlm. 586 - 594.

dengan argumentasi teologis, kemudian mengemukakan secara terperinci aspek-aspek dari permasalahan kemuk- jizatan Al-Qur'an dalam satu bab dari buku Bayân Al-Dilâlah bi Anna Al-Quran Mu'jiz .....

Dalam perpsektif Abdul Jabbar, titik berat kemukjizatan Al-Qur'an yang merupakan faktor pe- nyebab ketidakmampuan para penentang ialah keindahan seni bahasanya yang luar biasa, yang merangkum anasir kata yang mulia dan elemen makna yang tinggi.(1) Syekh Abu Ja'far Muhammad bin Hasan Thusi (460 H) juga mengemukakan pandangan yang mirip dengan perspektif Qadhi Abdul Jabbar dalam bukunya, Al-Iqtishâd, karya yang membahas kemukjizatan Al- Qur’an. Mula-mula, dia menguraikan beberapa pendapat seputar kemukjizatan Al-Qur'an seperti: teori Sharfah versi Sayyid Murtadha (teori yang menekankan tidak adanya pengetahuan yang memadai untuk menandingi Al-Qur'an), teori keindahan yang luar biasa dan lirik sastra yang istimewa, teori lirik dan komposisi khas Al-Qur’an, teori ilmu gaib, dan teori keutuhan dari inkonsistensi dan kontradiksi. Setelah itu, dia mengajukan teori khas pribadinya tentang kemukjizatan Al-Qur'an, yaitu teori keindahan yang luar biasa sekaligus lirik dan gaya bahasa khas Al-Qur'an.

Thusi menerangkan argumentasinya mengapa menjatuhkan pilihan pada teori ini: bahwa tolok ukur tantangan (tahaddî) ialah sesamaan sebuah ucapan dengan

p: 107


1- 45. Ibid., hlm. 327.

ucapan lain dalam ciri-ciri khas dan ragam liriknya. Atas dasar ini, para ahli tidak membandingkan ragam bahasa retorika dan ragam puisi. Bahkan antarpuisi pun, mereka hanya membandingkan puisi-puisi yang seragam dari segi matra (wazn) dan rima (qafiyah). Akan tetapi, pembuktian bahwa Al-Qur'an itu memiliki tingkat keindahan seni sastra yang luar biasa dapat dilakukan melalui kesaksian para pakar sastra bahasa.

Namun di sisi lain, sejarah justru mencatat bagaimana kalangan tokoh seni bahasa seperti Walid bin Mughirah, A’sya, Ka'ab bin Zuhair, Lubaid bin Rabiah, Nabighah Jaedi, tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi keindahan dan kefasihan Al-Qur'an. Maka dari itu, orang yang tidak mencecap keindahan Al-Qur'an tidak dianggap sebagai ahli seni bahasa. Akan tetapi, gaya dan lirik Al-Qur'an yang tiada tara juga merupakan sebuah topik: siapa saja yang mengenal baik bahasa Arab akan mampu menilainya bahwa gaya bahasa Al-Qur’an benar-benar sebuah gaya bahasa yang “berbeda”.(1) Abdul Qahir Jurjani (471 H), salah satu pendiri ilmu Bayan dan pengarang karya-karya berharga seperti: Asrâr Al-Balaghah, Dalâ'il Al-Ijaz, dan Al-Syafiyah. Dalam rangka menghitung aspek kemukjizatan Al-Qur'an dalam kefasihan yang luar biasa, keindahan bahasa yang mengagumkan, dan gaya bahasa yang berbeda”, dia meyakini lirik dan gaya khas Al-Qur’an sebagai faktor keunggulan absolut dan bukti kebesaran Tuhan yang

p: 108


1- 46. Al- Iqtishâd fi Ushûl Al-Itiqâd, hlm. 166.

mencengangkan. Pertama-tama, dia menyusun komentar atas pandangan-pandanga Khithabi yang kemudian dianggap sebagai prolog untuk penulisan karyanya.

Pada hemat Jurjani, kemukjizatan Al-Qur’an bukan terletak pada pengungkapan makna dalam pola yang umum berlaku, tetapi terletak pada bagaimana ia meng- ungkapkan makna dengan susunan mengagumkan, cita rasa dan keindahan yang khas yang merasuki kedalam- an jiwa.(1) Dengan kata lain, Jurjani dalam menjelaskan aspek kemukjizatan tersebut tidak hanya terpaku pada dimensi kata-kata, namun lebih berusaha menyingkap hubungan organik antara dua unsur: kata dan makna. Ini sebenarnya sudah dijabarkan oleh Khitabi secara umum, tetapi Abdul Qahir menguraikannya secara terperinci.

Abad VI Abad ini juga merupakan saksi atas usaha-usaha yang dilakukan para pencinta Al-Qur'an. Masing-masing berusaha mengupas aspek-aspek [kemukjizatan] kitab samawi ini.

Husain bin Muhammad yang dikenal dengan Raghib Isfahani (502 H), pengarang Al-Mufradât fi Gharib Al- Qur'an dan Muqaddimah-ye Tafsir, seperti Abdul Qadir dalam masalah mukjizat Al-Qur'an, percaya bahwa kemukjizatan Al-Qur'an dalam lirik dan gaya bahasa yang khas bukanlah ragam prosa yang biasa, bukan pula ragam

p: 109


1- 47. Dalâ'il Al-I'jâz fî Al-Qur’ân, 196. Karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh Dr. Sayyid Muhammad Radmanesy dan diterbitkan Astan Quds Radhawi.

puisi, tetapi Al-Qur'an memiliki karakter magnetik puisi; karakter yang tidak pernah ditemukan sebelumnya.

Raghib Isfahani mengurai pandangannya bahwa Al- Qur’an memiliki tiga dimensi: kata, makna, dan lirik khas kalimat. Di antara tiga dimensi ini, dua dimensi pertama (kata dan makna) sudah lebih banyak ada sebelumnya.

Maka, faktor yang mengutuhkan substansi dan inti kemukjizatan Al-Qur'an ialah justru lirik dan susunan khas kalimatnya yang benar-benar tidak dikenal sebelum- nya.(1) Masih menurutnya, kemukjizatan Al-Qur'an ialah, dengan ukuran kecilnya, kaya akan makna hakikat yang membuat pikiran tidak kuasa menghitungnya.(2) Abu Hamid Ghazali (505 H), seorang tokoh kritis Muslim, dalam Thyâ’ Al-Ulûm, berpendapat bahwa Al- Qur’an diturunkan dengan tujuan: agar mengarahkan manusia dari kecenderungan duniawi menuju ketaatan pada agama dan kepercayaan pada Tuhan. Sudut pandang yang diacunya mengenai Al-Qur'an ialah bahwa seluruh ilmu pengetahuan terkandung dalam Al-Qur'an yang, tentu saja, harus digali.(3) Mahmud bin Umar Zamakhsyari (538 H), seorang sastrawan, pakar bahasa, teolog Muktazilah, pengarang karya-karya berharga seperti tafsir Al-Kasysyâf'an Haqâ'iq Al-Tanzîl wa Uyûn Al-Aqâwîl fi Wujûh Al-Ta’wîl , Asâs Al-Balaghah, Rabî'Al-Abrâr, dan Ijaz Al-Qur'ân fî Sûrat Al-Kautsar. Dalam banyak kesempatan tafsirnya, dia ber- usaha memperlihatkan keagungan Al-Qur'an, keindahan

p: 110


1- 48. Muqaddimeh-e Tafsîr, hlm. 104.
2- 49. Al-Mufradât li Alfâzh Al-Qur’ân, bagian pendahuluan.
3- 50. Ihyâ’Al-'Ulûm, bab 40 Tentang Memahami Al-Qur'an.

dan lirik luhurnya. Walaupun mengakui berbagai dimensi kemukjizatan Al-Qur'an seperti berita gaib, akan tetapi dia percaya bila lirik Al-Qur'an merupakan basis tantang- annya (tahaddî) dan pilar utama kemukjizatannya.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pandangan Zamakhsyari bisa dirujuk karya-karya di bawah ini:

Al-Nazhm Al-Qur’ânî fi Kasysyâf Al-Zamakhsyârî, karya Jundi, Al-Balâghah Al-Qur’aniyyah fi Tafsir Al-Zamakh- syârî, karya Muhammad Muhammad Abu Musa, Manhaj Al-Zamakhsyârî fi Tafsir Al-Qur’an wa Bayân I'jâzih, karya Musthafa Shawi Juwaini.

Ibnu Athiyah Andalusia, pengarang Tafsir Al- Muharrir Al-Wajíz, mencatat bahwa mayoritas sarjana dan peneliti meyakini bilamana unsur tantangan Al-Qur'an merupakan refleksi dari keutuhan lirik, kepaduan yang luar biasa, kekokohan makna dan keindahan literalnya; aspek-aspek yang lahir dari ilmu absolut Tuhan Pencipta.(1) Qadhi ‘Iyadh (544H) juga dalam Al-Syifậbi Ta'rif Huqûq Al-Mushthafâ membahas tentang kemukjizatan Al- Qur’an: keindahan susunan kalimat, kefasihan, kepadatan (îjâz) dan keberiramaannya (tawâzun).

Abu Ali Fadhl bin Hasan Thabarsi (472-552 H), penulis Majma' Al-Bayân, tepatnya di bagian pendahuluan dan batang tubuh kitab tafsir berharga ini juga membahas hal-ihwal kemukjizatan Al-Qur’an. Pendapatnya dapat dirangkum pada perihal bahwa kemukjizatan Al-Qur'an terletak pada keindahan sastra bahasa, berita gaib,

p: 111


1- 51. Al-Muharrir Al-Wajíz, jld. 1, hlm. 71

kekayaan pengetahuan, kekokohan dan keutuhannya dari kontradiksi.(1) Dalam menafsirkan surah Al-Baqarah, Thabarsi berbicara tentang kekuatan lirik Al-Qur'an, kemengaliran, kekuatan, kekokohan dan kepadatan (jazâlah) dan kekokohan teks, kefasihan dan berita gaib Al-Qur'an.(2) Begitu pula dalam menafsirkan surah Yunus dan Hud, dia mengulas unsur keindahan bahasa Al-Qur'an. Adapun dalam menerangkan surah Al-Isra', ia menguraikan kefasihan, keindahan, keutuhan lirik dan kekokohan retorika dan makna tinggi Al-Qur'an.

Quthbuddin bin Hasan Sa'id bin Hibatullah Rawandi (573 H), menuliskan dalam kitabnya Al-Kharâ'ij wa Al- Jarâ’ih, bahwa Al-Qur'an bukanlah sebuah mukjizat, tetapi pada kenyataannya adalah rangkaian mukjizat yang tidak terhitung." Dia lalu, seperti metode yang ditempuh Syekh Thusi, merumuskan lima premis untuk membuktikan kemukjizatan Al-Qur'an, termasuk di antaranya: kejelasan dan muatan dakwah Nabi saw, penantangan (tahaddî) (agar mendatangkan yang sebanding] Al-Qur'an yang turun dari Allah, tidak tertandinginya Al-Qur'an. Premis terakhir ini, yakni ketidaktertandingan Al-Qur'an, terbangun karena ketidakmampuan bangsa Arab, dan pada gilirannya ketidakmampuan ini merupakan argumen atas keluar-biasaan dan kemukjizatan Al-Qur'an.

p: 112


1- 52. Majma'Al-Bayân, bagian pendahuluan.
2- 53. Ibid., jld. 1, hlm. 62.

Segera setelah menjelaskan premis-premis me- nyangkut aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an di atas ini, Rawandi menyatakan:

Kaum teolog merangkum tujuh dimensi untuk kemukjizatannya: pertama, teori Sharfah dari Sayyid Murtadha (tidak adanya pengetahuan yang memadai untuk menandingi Al-Qur'an); kedua, teori Syekh Mufid tentang kefasihan luar biasa Al-Qur’an; ketiga, kemukjizatan Al-Qur'an dari sisi kebenaran makna dan kesesuaiannya dengan akal; keempat, tidak adanya inkonsistensi; kelima, pemberitaan hal ihwal gaib; keenam, lirik yang khas; dan ketujuh, pandangan Muktazilah tentang sintaksis (ta’lîfdan lirik yang bersamaan.

Rawandi melanjutkan, “Yang terbaik ialah kita menerima semua dimensi ini sebagai kemukjizatan Al-Qur'an, bukan hanya sebagian.” Kemudian dia mengulas argumentasi dari masing-masing teori sampai pada akhirnya menyimpulkan sepuluh ciri khas dari lirik Al-Qur'an. (1) ***

p: 113


1- 54. Al-Kharâ’ij wa Al-Jarâ’ih, jld. 3, hlm. 971; Bibâr Al-Anwâr, jld. 89, hlm. 131.

"Jalan ini, yakni jalan ilmu, adalah jalan lebih tepat daripada jalan mukjizat yang merupakan argumen Inniy (argumen dari akibat ke sebab), dan mampu menghilangkan segala keraguan dan kritik terhadap kenabian.”

p: 114

3.Keniscayaan Mukjizat

Mukjizat dan Pembuktian Kenabian

Apa tujuan dari terjadinya mukjizat? Apa yang melatari para nabi sehingga membawakan mukjizat? Tidak diragukan lagi, konsekuensi dari keberakalan manusia ialah tidak begitu saja menerima klaim apa pun, tanpa dalil dan bukti, dari siapa pun, apalagi jika klaim itu, dari satu sisi, berhubungan dengan takdir atau nasib hidupnya dan, dari sisi lain, dengan kenabian seseorang dari Tuhan. Atas dasar ini, falsafah mendasar terjadinya mukjizat yang disertai klaim kenabian dan penantangan (tahaddî) ialah pembuktian atas kenabian para rasul dan penyempurna hujah atas umat manusia.

Berangkat dari pola pandang yang terbangun di atas logika wahyu, aneka mukjizat yang dibawakan para nabi berfungsi semata-mata untuk membuktikan kedudukan kenabian mereka dari Tuhan, hubungan khas mereka dengan alam supranatural, dan penerimaan amanat hidayah Ilahi untuk manusia.

p: 115

Para nabi tidak menginginkan, dengan mukjizat, menunjukkan kebenaran kandungan ilmu yang mereka klaim, atau dengannya berkehendak meyakinkan orang-orang pada prinsip-prinsip yang justru sudah bisa dibuktikan nilai validitas- nya dengan akal. Mereka kerap menghadapi tuntutan bukti dari masyarakat yang beranggapan bahwa penerimaan wahyu dari alam gaib dan hubungan dengan alam supranatural merupakan perkara mustahil. Di hadapan para nabi, mereka berargumentasi bahwa kalau memang klaim [kenabian] mereka (para nabi) itu benar, maka hubungkan juga mereka dengan hakikat wahyu, dan atau perlihatkan mukjizat sebagai bukti lain yang bisa diakses indra dan meyakinkan jiwa mereka. Saat itulah para nabi akan menunjukkan (mendatangkan) mukjizat kepada mereka:(1) Berkata rasul-rasul mereka, "Apakah ada keragu- raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan) mu sampai masa yang ditentukan?" Mereka berkata, "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu, datangkanlah kepada kami, bukti yang nyata. Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka, "Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak perlu bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan

p: 116


1- 1. Al-Mizân fi Tafsîr Al-Qur'an, jil 1, hlm. 82.

dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal. (QS.

Ibrahim [14]: 10-11).

Jadi, persepsi sebagian pemikir Barat tentang inti mukjizat itu adalah keliru, karena mereka menganggapnya sebagai premis pembuktian eksistensi Tuhan, lalu berusaha menyanggah atau menafikannya.(1) Ini berawal dari praasumsi mereka bahwa posisi teologis tema mukjizat jatuh jauh beberapa tahap setelah tema eksistensi Tuhan. Pembuktian eksistensi Tuhan ditegakkan di atas argumen rasional yang khas, demikian pula pembuktian kenabian: dibangun di atas argumen yang juga khas.

Tentu saja, jelas sekali bahwa para nabi itu merupakan agen langsung pelaku [terjadinya] mukjizat. Hanya saja, berdasarkan prinsip Tauhid Tindakan Tuhan dan pengaruh independen-Nya, semua peristiwa alam termasuk mukjizat para nabi dengan tetap menjaga hubungan mereka dengan sebab langsungnya merupakan akibat dari kehendak dan keinginan Tuhan dalam level yang lebih tinggi. Interpretasi ini menegaskan bahwa akibat-akibat ini, seperti juga fenomena lainnya di alam realitas ini, adalah tanda dan bukti keberadaan Tuhan.

Ragam Cara Membuktikan Kenabian

Di sini, suka atau tidak, nyatanya alur pembahasan terdesak untuk menghadapi sebuah pertanyaan: apakah pengajuan mukjizat dan terjadinya perkara yang luar biasa itu merupakan satu-satunya cara untuk membuktikan kenabian para nabi? Jelas

p: 117


1- 2. Falsafeh-e Din, hlm. 82 dan seterusnya.

sekali, jawaban atas pertanyaan ini dari sudut pandang teologi adalah negatif. Banyak cara untuk mengenal pasti para nabi, sedangkan mukjizat itu diperlukan manakala penyempurnaan hujah Tuhan atas umat manusia bergantung pada kejadiannya sehingga duduk hakikat menjadi jelas dan peluang keraguan tertutup. Akan tetapi, untuk memastikan kebenaran klaim para utusan Allah, masih banyak cara lain yang juga dibutuhkan oleh peneliti kebenaran, di antaranya:

Pertama:

Mencermati kandungan dakwah. Tidak syak lagi, salah satu cara mengindentifikasi para duta dan utusan Allah ialah mempelajari dan mengamati kritis kandungan dakwah, pesan dan wawasan mereka yang terkait dengan alam semesta, manusia, dan agenda perbaikan pembangunan yang mereka kemukakan sebagai landasan untuk mengantarkan umat sampai ke tingkat kesempurnaan dan kebahagiaan. Kalau memang kandungan pengetahuan, pesan dan dakwah mereka itu sesuai dengan fitrah suci manusia, rasional dan komplementer dengan pembinaan akal, maka ini sudah merupakan indikasi kuat atas unsur ke- ilahian dan keberasalannya dari Tuhan, sebab pesan dan hukum Tuhan sama sekali tidak kontradiktif dengan tata cipta dan fitrah, juga tidak akan bertentangan dengan akal dan antiakal:

p: 118

(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka (QS. Al-A'raf [7]: 157) Kedua:

Mencermati indikasi dan tanda-tanda. Sudah jelas diketahui, para nabi itu manusia-manusia pilihan namun tetap sebagai makhluk dari jenis manusia. Mereka memiliki ayah, ibu, keluarga, kehidupan pribadi, duduk, berdiri, dan interaksi dengan kerabat dan masyarakat sekitar. Maka, mempelajari kehidupan pribadi, pola perilaku, moralitas, sepak terjang dan komitmen terhadap dakwah mereka sendiri, begitu juga metode dan sarana yang digunakan untuk mencapai maksud mereka, termasuk juga sikap mereka sejauh berhadapan dengan kawan dan lawan, semua ini merupakan peluang dan fasilitas yang memadai untuk menimbang dan menilai jalan, tujuan, dan kejujuran mereka dalam menyampaikan amanat Ilahi.

Al-Qur’an memandang prestasi usia para nabi itu penuh dengan cinta kasih, itikad baik, kejujuran dan ketulusan:

tidak mengharapkan apa pun balasan dalam menyampaikan risalah Ilahi:

p: 119

Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang- orang mukmin. (QS. Al-Taubah [9]: 128).

Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an). (QS.

Al-Kahfi [18]: 6).

Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Ya- sin [36]: 21).

Ketiga:

Kabar gembira dan berita dari nabi terdahulu. Salah satu cara pembuktian kebenaran klaim nabi yang sebenarnya adalah kabar gembira dan tanda-tanda yang jelas dan pasti dari nabi- nabi sebelumnya yang juga termaktub dalam kitab mereka.

Al-Qur'an menerangkan berita gembira yang disampaikan Nabi Isa as tentang kedatangan nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW:

Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datang- nya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala rasul itu

p: 120

datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata." (QS.

Ash-Shaff [61]: 6).

Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]: 146).

Dalam ayat lain bahkan dinyatakan secara tegas bahwa sifat-sifat Nabi Muhammad SAW juga diterangkan dalam kitab Taurat dan Injil:

-> (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.

Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cabaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang- orang yang beruntung. (QS. Al-A'raf (7]: 157).

p: 121

Faktor Perbedaan Pandangan tentang Pembuktian Kenabian

Setiap dari keempat cara di atas tadi tentu bisa menjadi basis pembuktian kenabian. Karena itulah kita saksikan berbagai macam aliran teologi: masing-masing lebih menitikberatkan cara tertentu. Fokus khusus terhadap sebuah cara ini bukan berarti kemungkinan mengombinasikan semua cara itu sudah tertutup, justru fokus itu mengemuka lantaran sudut pandang khas penempuh tiap-tiap cara itu. Para teolog Muktazilah dalam apologia kebenaran kenabian biasanya menempatkan ajaran nabi, pola hidup dan moralitasnya sebagai argumen yang paling kuat, kemudian meletakkan mukjizat di level berikut di bawahnya.

Qadhi Abduljabbar Muktazili, misalnya, mula-mula mendefinisikan mukjizat sebagai “tindakan yang menunjukkan kebenaran klaim kenabian”, lalu menuturkan, “Dalam membuktikan kenabian [Nabi] Muhammad SAW, para guru kami tidak berpegangan pada mukjizat yang dipastikan validitas- nya setelah dipastikan kenabian beliau, karena validitas mukjizat itu turunan dari validitas kenabian. Jadi, bagaimana mukjizat lalu bisa dijadikan dalil atas kenabian beliau. Oleh sebab itu, mereka memandang mukjizat sebagai penegasan dan tambahan untuk kemantapan jiwa bagi orang yang mengetahuinya dari segi argumentasi.”(1) Persepektif ini juga dapat ditemukan dalam catatan Abu Manshur Maturidi dan Ibnu Rusyd.(2) Akan halnya kaum Asy'ariyah meletakkan mukjizat pada level teratas untuk menetapkan kenabian. Asfarayini mendeskripsikan pendapat

p: 122


1- 3. Syarh Al-Ushûl Al-Khamsah, 152.
2- 4. Manâhij Al-Adillah fi Agâ’id Ahl Al-Millah, 126.

(Argumen atas kebenaran kita, Muhammad SAW adalah mukjizat) Abul Hasan Asy'ari demikian, “Dan ketahuilah bahwa pembuktian kenabian Nabi Muhammad SAW sudah jelas dalam kitab Allah SWT...”(1) kenabian Nabi Dari Baqilani dinukilkan, “Yang melahirkan perhatian sempurna dalam mengetahui mukjizat Al-Qur'an adalah fakta bahwa kenabian Nabi kita SAW itu dibangun di atas mukjizat ini (Al-Qur'an).” Abdulmalik Juwaini, Imam Haramain, menuliskan, “Argumen atas kebenaran kenabian Nabi kita, Muhammad SAW adalah mukjizat”.(2) Imam Fakhru Razi juga mengakui mukjizat sebagai argumen paling penting yang digunakan para teolog untuk membuktikan kenabian. Akan tetapi, dari sebagian karya tulisnya dapat disimpulkan keyakinannya bahwa “jalan manusia mencari kesempurnaan dan pengobatan ruhani seorang nabi” merupakan lebih unggul di atas mukjizat. Dia menulis, “Kesempurnaan hakiki manusia terletak pada pengetahuannya akan kebenaran dan identifikasinya akan jalan kebaikan untuk berbuat serta kokoh dalam komitmen.” Dia melanjutkan, “Semua tahu bahwa segala jenis penyakit ruh menguasai keberadaan masyarakat, karena itu, mau tidak mau akan membutuhkan dokter ruh. Nabi itulah dokter semua penyakit jiwa.” Fakhru Razi menegaskan, “Jalan ini, yakni jalan ilmu, adalah jalan lebih tepat daripada jalan mukjizat yang merupakan argumen Inniy (argumen dari akibat ke sebab), dan mampu menghilangkan segala keraguan dan kritik terhadap kenabian.” Dia lalu menambahkan, “Dengan kesaksian hakikat, Muhammad

p: 123


1- 5. Al-Tabshîr fi Al-Dîn, 155.
2- 6.Luma' Al-Adillah fi Qawa'id Aqaid Ahl Al-Sunnah wa Al-Jamâ’ah, hlm.111.

SAW adalah dokter yang ahli mengarahkan watak dan tabiat warga dunia dari kecenderungan batil menuju Al-Haq, mengajak manusia dari kesibukan dunia yang hina menuju pada kehidupan yang mulia nan kekal, dari kebohongan menuju kejujuran, dan membimbing dari segala keyakinan yang menyimpang kepada keyakinan yang benar.”(1) Menurut perspektif ini, Al-Qur’an panasea dan naskah kesembuhan terakhir dari langit ini walaupun obat penyakit dan penyembuh hati yang sakit, tetapi hakikatnya telah ada dan menjelma dalam diri Nabi SAW yang suci, maka beliau adalah cermin penyembuhan dan pengobatan Al-Qur'an:

Engkau hakikat Quran lebih agung dari Quran.

Yang diam nan mulia dan Engkau bicara nan mulia.

Dengan dukungan sejumlah indikasi meyakinkan, pemikiran dan pandangan Fakhru Razi merupakan dekonstruksi pandangan dua tokoh besar Islam yang senyatanya tidak bisa dia abaikan begitu saja. Salah satu dari dua tokoh itu ialah Jahizh. Ia berpandangan bahwa “tabiat kenabian atau karakter nabi” adalah kreasi dirinya. Berdasarkan argumen ini, tabiat dan substansi kenabian tidak lain dari konsekuensi menurunkan ajaran yang membimbing manusia menuju kebahagiaan dan kesempurnaan.

Sejalan dengan ini, karakter, ucapan dan perilaku nabi akan sesuai dengan ajarannya.(2) Tokoh lain yang, suka atau tidak,

p: 124


1- 7. Al-Mathalib Al-'Âliyah, jld. 8 dan 9, hlm. 123.
2- 8. Talkhîsh Al-Muhashshal, hlm. 351; Al-Fakhr Al-Râzî wa Ârâ’uhu Al-Kalâmiyyah wa Al-Falsafiyyah, hlm. 566.

telah memengaruhi pemikiran Fakhru Razi ialah Ibnu Sina.

Filosof besar ini merumuskan “argumen pilihan dan pendakian”.

Atas dasar argumen ini, perjalanan bertahap realitas menuju kesempurnaan meniscayakan keberadaan nabi yang sederajat dengan posisi malaikat.(1) Dalam Al-Mathalib Al-Aliyah, Fakhru Razi memperkenalkan argumen Ibnu Sina dengan nama “Pilihan dan Pendakian”, lalu mengomentarinya dengan interpretasi lain. Kali ini dia menerangkan bahwa ciptaan alam semesta memiliki empat tingkatan: benda mati, tumbuhan, binatang dan malaikat. Benda mati berada di tingkatan yang paling rendah; tumbuhan berada di tingkatan di atasnya; dan binatang berada di atas tingkatan tumbuhan; adapun spesis binatang yang tertinggi tingkatannya ialah binatang yang berpikir, yakni manusia. Tentu saja, manusia sendiri memiliki tiga tingkatan: tingkatan rendah, yaitu derajat umum masyarakat yang berbuat dosa; tingkatan menengah, yaitu derajat manusia sempurna yang hanya menyibukkan diri meraih kesempurnaan dan penyucian diri; dan tingkatan tinggi, yaitu derajat kesempurnaan penuh yang selain memperbaiki dan menyucikan diri, para pemilik derajat ini juga aktif memperbaiki dan menyucikan orang lain. Mereka ini adalah para nabi dan para pemimpin Ilahi yang telah meraih kesempurnaan teoretis dan praktis, juga peduli terhadap perbaikan dan pembinaan jiwa-jiwa yang lain.

Mengingat bahwa dalam tata alam semesta, setiap tingkatan lebih rendah dalam sistem realitas ini memiliki kaitan dengan tingkatan yang lebih tinggi, kedudukan para nabi itu adalah

p: 125


1- 9. Ilahiyyât Al-Syifa', hlm. 435; Al-Najât (Ilahiyat), hlm.299; Maqashid Al-Falâ sifah, hlm.383, dengan menukil pandangan-pandangan teologi Fakhru Razi, Majalah Ma’arif, No 1, tahun 1365 S.

kedudukan para malaikat yang transenden dan nonmateri, dan karena kedudukan inilah mereka berposisi sebagaimana ruh alam semesta sehingga mampu menguasai dan mengelola rangka dan materi alam ini. Berdasarkan tafsiran yang disimpulkan dari surah Al-`Ashr, Fakhru Razi lalu mengaplikasikan empat sifat di dalam ayat-ayat surah tersebut pada sosok para nabi. Sifat pertama adalah kesempurnaan daya teoretis (âmanû: “Orang-orang yang beriman”); sifat kedua, kesempurnaan daya praktis (âmilû al- shâlihat: “mengerjakan amal saleh”); sifat ketiga, penyempurnaan daya teoretis orang lain (tawâshau bi al-haqq: “saling menasehati dalam kebenaran”); dan sifat keempat, penyempurnaan daya praktis orang lain (tawâshau bi al-shabr: “saling menasehati dalam kesabaran”).(1)

Peran Mukjizat Membuktikan Kenabian

Salah satu topik utama dalam masalah mukjizat adalah persoal- an: apakah pengajuan mukjizat itu memiliki hubungan logis dengan pembuktian kenabian atau tidak? Kebanyakan orang yang percaya pada perkara metafisis dan risalah Ilahi para nabi berkeyakinan bahwa ada semacam konsekuensi logis antara mukjizat dan kebenaran klaim kenabian, sekalipun eksplanasi terhadap konsekuensi itu boleh jadi dirumuskan secara beragam.

Akan tetapi dari sisi lain, sejak dahulu sudah muncul gelombang isu dan keraguan yang serius yang dilontarkan para penentang mukjizat; mereka berkali-kali menguji kekuatan mukjizat dalam membuktikan kenabian. Maka, dalam pembahasan ini, kita terdesak untuk menelaah kritis sebagian

p: 126


1- 10. Fakhr Al-Dîn Ar-Râzî Wa Ârâ’uhu Al-Kalâmiyyah, hlm. 572.

isu yang dilontarkan me-reka, sekaligus menerangkan pola argumentasi mukjizat terhadap klaim kenabian.

Tujuan di Balik Tindakan Tuhan

Salah satu persoalan yang berkembang dalam fungsi mukjizat sebagai bukti atas kebenaran klaim kenabian ialah sejumlah prasyarat yang tertuang dalam beberapa karya Fakhru Razi.

Dalam Al-Muhashshal, dia menuliskan:

Bersandar pada mukjizat untuk membuktikan kebenaran klaim kenabian itu bergantung pada tiga hal: pertama, mukjizat itu adalah tindakan Allah SWT; kedua, harus dibuktikan bahwa Allah telah menjadikan mukjizat itu untuk meyakinkan kebenaran nabi; ketiga, siapa pun yang dibenarkan oleh Allah pasti klaimnya juga benar.

Kemudian, Fakhru Razi sendiri, berdasarkan paham teologi Asy'ariyah, mendebat satu persatu ketiga syarat di atas.

Tentang syarat pertama, yaitu nisbah mukjizat kepada Allah, dia mengatakan, “Lantaran manusia itu memiliki jiwa berpikir yang nonmateri, boleh jadi jiwa nabi secara esensial berbeda dengan jiwa-jiwa yang lain, dan dirinya sendiri justru berlaku sebagai aktor mukjizat. Atau, pembawa mukjizat itu karena memiliki kekuatan-kekuatan fisik yang istimewa sehingga menjadi sumber efek luar biasa yang tidak ada pada fisik selain mereka. Atau, boleh jadi seorang nabi menguasai suatu fisik yang merupakan

p: 127

sumber efek-efek yang luar biasa itu, atau ia meminta bantuan dari bidadari, setan, malaikat dan arwah di langit”.

Mengenai syarat kedua, Fakhru razi mengatakan, “Pertama, adanya tujuan di balik penciptaan mukjizat dalam asumsi bernisbatnya mukjizat kepada Allah adalah proposisi yang belum pasti dan masih diperdebatkan. Kedua, kalaupun diasumsikan adanya tujuan dalam penciptaan mukjizat sebagai tindakan Tuhan, namun tidak jelas: apakah memang tujuan itu adalah memastikan kebenaran pengaku kenabian. Boleh jadi, ada tujuan lain di luar itu.” Tentang syarat ketiga, dia juga mengatakan, “Dari mana bisa dibuktikan bahwa siapa saja yang dipastikan kebenarannya oleh Allah niscaya juga benar dalam ucapannya?”(1) Terlepas dari penyataan-pernyataan Fakhru Razi dalam beberapa karyanya yang beraneka ragam sehingga sulit untuk dievaluasi, ada sejumlah poin yang tidak dapat diabaikan:

Pertama, Asy'ariyah adalah mazhab para tokoh yang tidak aktif melakukan penelaahan dan analisis rasional terhadap berbagai masalah, namun sangat kuat komitmen pada makna lahiriah teks agama (ayat dan riwayat) tanpa menggunakan argumentasi akal dalam mendalami pengetahuan agama dan konsep-konsep metafisis. Maka dari sisi inilah mereka memiliki kesamaan dengan Empirisme modern sehingga tampak begitu lemah dalam menghubungkan secara akomodatif tindakan Tuhan dan tindakan nabi. Dalam menjaga keutuhan Tauhid Tindakan-Tuhan, mereka mengabaikan dan bahkan menafikan peran sebab-sebab sekunder. Hasil dari pemikiran seperti ini

p: 128


1- 11. Khajeh Nashiruddin Thusi, Talkhîsh Al-Muhashshal, dikenal dengan Naqd Al-Muhashshal, hlm.94; Al- Mathalib Al-Aliyah, jld. 8 9, hlm. 61 dengan beberapa perbedaan redaksi.

adalah determinisme dalam konteks tindakan manusia. Sampai di sini saja, kritik pertama yang diajukan Fakhru Razi dengan penjelasan yang telah dikemukakan sudah dapat diatasi: yakni, mukjizat senyatanya adalah tindakan langsung jiwa transenden seorang nabi yang terjadi dengan izin dan karunia khusus dari Allah.

Kedua, kritik Fakhru Razi terhadap syarat kedua dan ketiga juga disebabkan oleh pandangan khas Asy'ariyah: mazhab yang mengingkari kebaikan dan keburukan substansial (al-husn wa al-qubh al-dzâtî) tindakan. Atas dasar pandangan ini, dia tidak meyakini tindakan Tuhan itu dilandasi tujuan tertentu, namun dia pun tidak siap untuk juga menafikan tindakan yang tidak bijak dari Zat Suci Tuhan. Jadi, persoalan pandangan ini berasal dari prinsip-prinsip teologi mereka dan kejadian tindakan-tindakan Tuhan.

Mukjizat, Tanda Kekuasaan

Di antara kritik yang dikemukakan seputar fungsi mukjizat dalam membuktikan kebenaran klaim kenabian adalah:

kalaupun realitas mukjizat itu diakui, itu hanya bisa menjadi argumen atas kekuasaan luar biasa dan tidak tertandingi para pembawa mukjizat, bukan argumen atas kebenaran mereka dalam klaim kenabian, padahal kebenaran perkataan mereka berkaitan dengan “ilmu”.!(1) Tampaknya, sumber kekuatan yang luar biasa para nabi itu adalah “ilmu” mereka. Ini adalah realitas yang juga berlaku pada semua kejadian dan tindakan luar biasa yang dilakukan

p: 129


1- 12. Charles Brawd, dinukil oleh Mustafa Milikiyan dalam diktat Maso’el-e Jadid e Kalomi, unit 23. Yang mengherankan, kritik seperti juga dapat ditemukan dalam tulisan atau karya sebagian para cendekiawan Muslim. Rujuk: Syibli Nu’mani, Ilm-e Kalom-e Jadid, jld. 2, hlm. 62.

("Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab, 'Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebe- lum matamu berkedip).

orang-orang biasa dan diperoleh dengan cara pelatihan ruh dan pengendalian jiwa.

Penutup kerajaan Sulaiman adalah ilmu semesta alam segenap jiwa adalah ilmu.

Rahasia poin yang terdapat dalam ayat 40 dari surah Al-Naml, “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip” membidik realitas ini, yakni kemampuan orang tersebut (dalam ayat) terletak pada kecemerlangan ilmu khususnya. Sudah barang tentu, mukjizat abadi Nabi Muhammad SAW, yaitu Al-Qur’an, yang hakikatnya adalah ilmu itu sendiri.

Mukjizat dan Hukum Alam yang Misterius

Sebagian orang mengatakan,(1) “Boleh jadi, apa yang secara lahiriah adalah tindakan yang luar biasa dan dianggap sebagai gejala eksepsial justru, pada kenyataannya, tidaklah demikian, namun dalam kejadiannya terdapat sebuah sistem dan prosedur alami yang sampai saat ini bagi kita masih tidak tersingkap, dan mungkin saja pada suatu saat nanti, misteri itu akan terkuak.

Umpamanya, penyembuhan orang sakit oleh Nabi Isa as.

Yang mungkin saja serupa dengan penyembuhan penyakit psikosomatik. Atas dasar ini, kejadian mukjizat tidak bisa secara pasti digunakan untuk membuktikan kebenaran klaim kenabian.

p: 130


1- 13. Richard. I. Purtill, “Miracles: What if they Happen?” dalam Miracles, disunting oleh Richard Swinburne, hlm. 202 (Dinukil oleh Amin Ahmadi, Tanaqudhnamo yo Ghaibnamo, hlm. 336).

Kritik ini dikemukakan Richard Purtill yang dia sendiri lalu menjawabnya demikian: dengan memerhatikan kalkulasi probabilitas yang sesuai dengan kondisi-kondisi yang melingkupi mukjizat, kemungkinan di atas itu sebegitu rendah hingga berada di titik nol dan tidak lagi berarti. Tidaklah dapat diterima jika seorang biasa atau, seperti kata Purtill, seorang pengrajin kayu seperti Isa (as) mampu menguasai atau menaklukkan kekuatan alam sampai-sampai bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati, atau mengembalikan penglihatan orang yang buta sejak lahir, (atau di hari-hari pertama kelahirannya, sebagaimana dalam Al-Qur'an, berdebat dengan masyarakat dan menyampaikan pesan-pesan penuh bijak dan hidayah), padahal sampai sekarang pun tidak ada seorang pakar yang sanggup melakukan perkara itu. Ke dalam pandangan Purtill juga dapat dibubuhkan penantangan Al-Qur'an, yakni tatkala kitab suci ini berbicara langsung kepada masyarakat dunia, “Jika kamu ragu terhadap ketuhanan Al-Qur'an, maka buatlah yang serupa dengannya."

Mukjizat dan Meyakinkan Orang Awam

Serupa pandangan-pandangan sebelumnya ialah sebuah eks- planasi terhadap mukjizat yang dampaknya juga menggugurkan kredibilitas nilai pembuktiannya atas kebenaran klaim kenabian.

Pandangan ini menganggap mukjizat para nabi sebatas cara untuk meyakinkan orang awam atau, lebih lugasnya, semacam penipuan opini publik! Kadangkala sebagian pakar mengatakan, “Mukjizat adalah argumen persuasif untuk anak-anak dan

p: 131

manusia yang belum akil balig yang senang dengan gejala-gejala mencengangkan dan luar biasa. Manusia yang akil dan terdidik tidak lagi peduli terhadap gejala seperti itu; dia hanya berurusan dengan logika. Hanya bersandar kepada mukjizat dan perkara luar biasa adalah tidak terelakkan bagi para nabi, karena pada periode itu, pembimbingan dengan argumentasi akal sulit dilakukan, kalau bukan malah mustahil.” Mengenai Nabi Muhammad SAW, penulis itu tentu saja menampilkan pandangan positifnya. Ia menyatakan, “Lantaran periode Nabi Islam adalah periode akal dan logika; bukan periode mitos dan imajinasi, Nabi Islam enggan memenuhi permintaan mukjizat apa pun selain Al-Qur'an dengan izin Tuhan.”(1) Pandangan ini juga diangkat oleh penulis lain. Menurutnya, ketika ada argumen-argumen kuat dan jelas atas kebenaran prinsip-prinsip ajaran (agama), maka orang-orang yang mengerti dan pandai tidak lagi perlu kepada mukjizat. Maka sebenarnya, mukjizat berfungsi untuk meyakinkan jiwa-jiwa awam, itu pun disebabkan oleh lemahnya daya pengetahuan mereka dalam memahami hakikat. Dengan kata lain, kalangan terpelajar tidak membutuhkan mukjizat, tetapi peristiwa luar biasa ini terjadi semata-mata untuk masyarakat awam.(2) Penjelasan ini menunjukkan substansinya sebagai persepsi literal yang menyoroti sebuah pengertian yang umum tentang mukjizat dalam budaya penganut agama yang awam. Atas dasar itu, setiap peristiwa yang ganjil dan sesuai dengan keinginan subjektif mereka dianggap sebagai anugerah Tuhan atau, adakala- nya, sebagai mukjizat. Sebelumnya telah dicatat tebal sekaitan

p: 132


1- 14. Habibullah Paiman, Falsafeh-e Torikh az Didgoh-e Qur’on, 16.
2- 15. Ali Syariati, Eslomsyenosi, hlm. 506.

dengan pengertian [hakikat] mukjizat, bahwa mukjizat para nabi walaupun dari segi jenis, punya kesamaan dengan perkara luar biasa yang lain tetapi dari segi spesies dan ciri-ciri khasnya benar-benar berbeda dari mereka.

Noktah lain yang juga perlu digarisbawahi ialah bahwa nabi-nabi Tuhan diutus untuk menggugah fitrah dan meng- aktualkan potensi-potensi terpendam dalam diri manusia, karena itu, mereka tidak pernah memanfaatkan kebodohan masyarakat, tidak pula pernah bermaksud untuk membangkitkan rasa heran publik. Dalam rangka memberi petunjuk masyarakat ke jalan Tuhan dan membuktikan kenabian, maka seketika dibutuhkan dan dengan izin Tuhan, mereka membawakan mukjizat dan tanda-tanda yang sesuai dengan fungsinya sebagai argumen atas risalah dan kedudukan mereka sebagai nabi Tuhan. Maka, Nabi Muhammad SAW juga membawakan berbagai mukjizat seperti: membelah bulan, untuk membuktikan kedudukannya sebagai nabi dan rasul Tuhan, bukan untuk membuktikan ajaran dan pesan yang diserukannya kepada masyarakat. Walaupun demikian, mukjizat paling utama beliau adalah Al-Qur'an yang menunjukkan kebenaran kenabiannya sebagai nabi terakhir untuk seluruh sejarah manusia.

Pola Pembuktian dari Mukjizat

Semua pandangan kritis dan semacam di atas itu sepertinya lahir dari kerancuan dalam memahami pengertian, hakikat, posisi, tujuan dan inti kandungan mukjizat. Atas dasar itu, untuk mendapatkan jawaban yang benar dari pertanyaan: bagaimana

p: 133

mukjizat itu menjadi argumen atas kebenaran klaim kenabian? Dan sebesar apa nilai argumentasinya; apakah memiliki nilai demonstratif, atau sebesar faktor yang melahirkan keyakinan psikologis? Diperlukan gambaran yang jelas tentang mukjizat dan perbedaannya dengan peristiwa luar biasa yang lain, di samping itu juga perlu dieksplanasi tujuan di balik penciptaan mukjizat serta bentuk pembuktian dan inferensinya(1) terhadap kenabian:

apakah natural (thabîî), deskriptif (washfi), rasional (‘aqlî), juga apakah muthâbaqi, tadhammuni atau implikatif (iltizâmi).

Kalangan yang mengajukan mukjizat sebagai argumen atas kebenaran klaim kenabian, menerangkan letak aplikasinya secara khusus. Uraiannya, setelah membuktikan keniscayaan eksistensi Tuhan dengan argumen khas selain mukjizat, membuktikan sifat-sifat kesempurnaan-Nya seperti ilmu, kuasa, kebaikan, kebijaksanaan dan ..., juga menerima prinsip keniscayaan kenabian dan kebutuhan kepada wahyu sebagai pendukung akal agar manusia memperoleh petunjuk, yang ini pun memiliki argumennya yang khas, maka untuk memastikan kebenaran klaim seorang yang mengaku sebagai nabi, apakah mukjizat bisa menjadi argumen yang meyakinkan ataukah tidak? Dalam konteks seperti inilah galibnya cendekiawan Muslim dan Kristiani menganggap sudah benar manakala mukjizat itu dirujuk sebagai landasan untuk memastikan kebenaran kenabian seseorang.

Richard Swinburne salah seorang teolog Kristen menilai mukjizat itu sebagai argumen yang cukup dan meyakinkan bila memenuhi sejumlah premis:

p: 134


1- 16. Inferensi konvensional (dalâlah wadhi) yang berasal dari konvensi dan peletakan berdasar pada peletakan atau pengetahuan akan korelasi yang terjadi akibat konvensi seperti inferensi kata terhadap makna tertentu. Inferensi natural ialah inferensi yang berdasarkan kodrat alami, kita mengetahui keadaan atau sifat natural sesuatu dari kesan-kesan eksternalnya seperti memerahnya raut muka sebagai implikasi dari keadaan malu. Hanya cukup jelas bahwa korelasi ini tidaklah niscaya. Inferensi rasional ialah inferensi yang di antara dua aspeknya terdapat korelasi yang hakiki, riil, dan menyingkapkannya bersandar pada akal seperti korelasi antara sebab dan akibat yang merupakan keniscayaan yang tidak terurai.

a. Eksistensi Tuhan telah terbuktikan secara meyakinkan dengan argumen dan bukti, termasuk Argumen Keteraturan.

b. Dengan berbagai argumentasi, sifat-sifat mulia Tuhan seperti: ilmu, kuasa absolut, dan lain-lain dapat dibuktikan.

c. Manusia tidak mampu menjangkau sebagian persoalan mendasar seperti: hakikat alam semesta, posisi manusia di dalamnya, pola hidup yang semestinya di dunia, cara-cara menggapai karunia Tuhan, kehidupan pascakematian, mencecap kehidupan abadi, ....

d. Tuhan Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabaik Mutlak; Dia mengetahui bahwa kebutuhan dasar manusia tidak dapat terpenuhi kecuali dengan melalui wahyu. Oleh karena itu, keniscayaan dari sifat-sifat mulia Tuhan ialah menanti bantuan Nya.

e. Tidak ada jalan untuk mencapai tujuan sebagian dari ajaran para nabi yang ada dalam wahyu itu kecuali mengimani otoritas dan kredibilitas wahyu mereka.

f. Argumen itu perlu hingga dapat membuktikan kebenaran ajaran agama. Argumen itu, selain syarat-syarat yang lain, ialah kejadian mukjizat.

Tentu saja, masih ada premis lain yang ditambahkan Swinburne, di antaranya: semua ajaran si pengaku nabi itu, yaitu yang berupa proposisi deklaratif, tidak boleh mengandung kebohongan yang nyata, dan yang berupa proposisi normatif tidak boleh menjadi sumber kebencian; harus diverifikasi bagian- bagian dari ajarannya yang memang bisa diverifikasi secara independen; ajarannya memiliki kekuatan menyuplai makna

p: 135

ke dalam pengalaman personal para audiensi; dan yang terakhir, dalam ajaran-ajarannya terdapat sejumlah prediksi yang di luar jangkauan daya manusia sedemikian rupa hingga melanggar hukum (lazim) alam dan berlangsung dengan intervensi langsung Tuhan. Pelanggaran hukum inilah yang lalu disebut Swinburne sebagai mukjizat.(1) Mirip dengan penjelasan di atas, tentu dengan sedikit perbedaan, juga tampak dalam keterangan para teolog Muslim.

Mereka memerikan mukjizat dengan meletakkan Kebijaksanaan Tuhan sebagai premis.(2) Argumentasi ini juga dirumuskan sebagai berikut: (a) Nabi Musa as, sebagai pengaku nabi telah melakukan suatu perkara yang luar biasa; (b) Siapa saja yang telah melakukan perkara yang luar biasa pasti mampu melakukan perkara luar biasa yang lain; (c) Oleh karena itu, Nabi Musa as. mampu melakukan perkara luar biasa yang lain; (d) Salah satu perkara yang luar biasa adalah berhubungan dengan alam gaib dan Tuhan; maka (e) Nabi Musa as mampu melakukan hubungan dengan alam gaib dan Tuhan.(3) Masih ada eksplansi lain yang juga dirumuskan untuk fungsi mukjizat sebagai argumen, yaitu eksplanasi yang lebih menekankan kelayakan alamiah dan keterbatasan pribadi nabi hanya dalam mendatangkan mukjizat. Eksplanasi ini menyoroti sebuah aspek bahwa mukjizat itu memiliki hubungan eksis- tensial yang amat erat dengan pribadi jiwa nabi. Pada dasarnya, wujud transenden nabilah yang merupakan manifestasi dari kekuasaan Tuhan sedemikian rupa hingga terjadinya tindakan mukjizat sebagai tanda khusus dan bukti istimewa tidak mungkin

p: 136


1- 17. Tanaqudh Nama ya Ghaib Namun, hlm.354, dinukil dari: Richard Swinburne: “Miracles and Revelation”, dalam Philosophy of Religion and Anthology, P. Pojman, hlm. 299.
2- 18. Ja'far Subhani, Al-Ilahiyyât, jld. 4, hlm. 89, “Allah SWTadalah Mahabijaksana, dan Yang Mahabijaksana tidak akan menjadikan alam atau sebagiannya itu dikuasai oleh manusia pembohong ... tetapi, pada prinsipnya, pengaku nabi itu menguasai alam ini, karena itu, dia bukan manusia pembohong”.
3- 19. Ibid., hlm. 92.

dilakukan oleh selain jiwa sempurna sang nabi. Atas dasar ini, sebagai fenomena adikodrati dan tidak tertaklukkan, mukjizat membuktikan hubungan gaib seorang nabi dengan Tuhan, dan pembuktian ini merupakan inferensi rasional yang kokoh dan tidak terlanggar.(1) Oleh sebab itu, berangkat dari premis-premis dasar, yaitu eksistensi Tuhan, sifat-sifat kesempurnaan-Nya, keniscayaan kenabian; dari unsur-unsur substansial dalam perkara luar biasa para nabi dan cara kejadiannya, yakni tanpa melalui tahap-tahap persiapan dan pembelajaran); dari semua tujuan para pengaku nabi (meningkatkan derajat spiritual manusia); dan dari kesesuai- an kandungan ajaran mereka dengan akal dan fitrah, serta dari pola hidup mereka sebagai perangkat mereka untuk meraih tujuan, maka tidak ada lagi alasan untuk meragukan kenabian mereka yang membawakan mukjizat, dan mukjizat mereka merupakan bantuan khusus Tuhan untuk menyempurnakan bukti atas manusia yang diberikan kepada mereka Nya.

Poin penting yang menjadi fokus kaum Muslimin adalah bahwa mukjizat Juru Penutup para nabi saw itu ada di tengah masyarakat; aktif sebagai satu hakikat yang nyata dan hidup; menyeru segenap bangsa (manusia dan jin) agar berpikir; dan menantang mereka agar mendatangkan yang serupa. Karena inilah hakikat yang nyata itu merupakan argumen Tuhan yang membuktikan sebab supranaturalnya dengan argumentasi Inniy.

Maka dari perspektif ini, inferensi rasional dan relevansi mukjizat (Al-Qur’an) itu dengan kebenaran kenabian Nabi Muhammad SAW sudah memadai tanpa meninggalkan persoalan apa pun.

p: 137


1- 20. Allamah Thabathabai, Al-Mizân fi Tafsir Al-Qur'ân, jld. 1, hlm. 84; Jawadi Amuli, Vahy wa Rahbari, hlm. 18; Misbah Yazdi, Omúzesy-e "Aqo’id, jld. 2, Bab 27.

MUKJIZAT DALAM LINTASAN SEJARAH Abad VII Muhammad bin Umar yang dikenal dengan Fakhru Razi (606 H) seorang teolog dan mufasir Asy'ariyah juga mengambil andil dengan mengemukakan pendapat- pendapatnya secara panjang dan lebar.(1)Walau demikian, menurut penelitian dari penulis Nihâyat Al-ſjâz fi Dirâyat Al-I'jâz, Fakhrurazi tidak mengemukakan pandangan baru, melainkan hanya membuat kesimpulan dan ikhtisar dari dua buku Dalâ'il Al-I'jaz dan Asrâr Al-Balaghah karya Gurgani.

Fakhru Razi percaya bahwa kemukjizatan Al-Qur'an terletak pada aspek kefasihan, gaya bahasa yang benar- benar baru, keutuhan dari cacat dan kekurangan, yang dalam teksnya sendiri telah mendeklarasikan penantang- an. Dia menguraikan gagasannya ini demikian menulis, “Ada tidak lebih dari tiga asumsi di sini: tuturan Al-Qur'an setingkat dengan tuturan semua penutur bahasa yang fasih; atau sedikit lebih fasih dari tuturan mereka, dan ini tidaklah tergolong sebagai perkara yang luar biasa; sedemikian unggulnya dari tuturan mereka sehingga dinilai sebagai perkara yang luar biasa.

Tentu saja, dua asumsi pertama tidak dapat diterima, yang tersisa hanyalah asumsi ketiga sebagai kebenaran.

Dua asumsi pertama itu tidak dapat diterima karena jika Al-Qur'an itu sekualitas ucapan yang lain, pasti para penentangnya bisa mendatangkan yang sebanding

p: 138


1- 21. Ungkapan-ungkapan ini kami nukil banyak lewat karyanya, Al-Mathâlib Al-'Aliyah.

satu surah Al-Qur'an, sebab mereka adalah ahli-ahli sastra bahasa yang menguasai penuh kaidah dan hukum keindahan dan kefasihan bahasa. Dari sisi lain, ada pihak- pihak yang fanatik yang mengerahkan segenap kekuatan jiwa dan materinya untuk menandingi Al-Qur'an dan menanggung sekian beban berat di jalannya. Semua ini merupakan argumen atas ketidakmampuan diri mereka di hadapan Al-Qur'an. Atas dasar ini, jelaslah bahwa Al-Qur'an tidak sebagaimana ucapan yang lain; ia tidak sederajat kualitas, akan tetapi sebuah mukjizat Tuhan.

Di sisi lain, ada sejumlah faktor yang sekilas terlihat dapat mengurangi kafasihan Al-Qur'an. Walaupun demikian, Al-Qur'an tetap berada di puncak kefasihan.

Antara lain dari faktor-faktor itu ialah:

Pertama, kefasihan umumnya bangsa Arab dalam melukiskan hal ihwal yang terindra seperti: unta, kuda, budak, raja, peperangan, penyerangan, dll., sementara hal- hal ini tidak ada dalam Al-Qur'an, yakni tidak dipandang sebagai topik-topik utama dan sentral. Atas dasar ini, Al-Qur’an tidak harus fasih, sekalipun demikianlah kenyataan Al-Qur'an.

Kedua, Allah memilih jalan kejujuran dan kebenaran di dalam Al-Qur'an, sementara seorang penyair yang setia pada nilai kejujuran akan berkurang kualitas keindahan puisinya. Akan halnya Al-Qur'an tetap berada di puncak kefasihan dan keindahan.

p: 139

Ketiga, kefasihan para penyair tertuang penuh hanya dalam satu atau dua bait atau sepenggal dari ucapan; sisanya tidak berada pada level yang sama. Berbeda dengan Al-Qur’an; seluruhnya fasih sedemikian hingga umat manusia tidak mampu menandingi keseluruhannya.

Keempat, ketika setiap penyair tangguh mengulang penggambaran sebuah objek, maka mulai dari peng- ulangan pertamanya saja sudah tidak sekualitas level penggambaran pertama. Sementara di dalam Al-Qur'an, banyak contoh konkret dari pengulangan deskripsi dari sebuah objek, namun menerangkan sebuah objek secara berulang-ulang sama sekali tidak mengurangi kefasihan Al-Qur'an, kalau bukan malah menempatkannya berada di puncak kesempurnaan kefasihan.

Kelima, Al-Qur'an adalah buku anggaran dasar hidup, keterangan hal-ihwal halal dan haram, ajakan kepada keutamaan nilai, anjuran agar meninggalkan duniawi dan memilih akhirat .... Dalam hal-ihwal ini, meskipun menyebabkan berkurangnya kualitas kefasihan, Al-Qur'an tetap berada di puncak kefasihannya yang luar biasa.

Keenam, setiap penyair memiliki keunggulan dalam bidang dan objek tertentu. Para pakar mengatakan, “Amru Qais pandai melukiskan kebahagiaan, menggambarkan wanita dan kuda, Nabaghah ketika merasa takut, A’sya ketika memohon dan menggambarkan minuman keras.

Masing-masing mereka tidaklah pandai di selain bidang

p: 140

spesial yang menjadi objek intuisinya. Akan halnya Al-Qur’an berbicara dengan gaya indah yang luar biasa dalam segenap objeknya. Misalnya, bagaimana kitab suci ini mengungkapkan persuasi:

Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang me- nyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al- Sajdah [32]: 17).

Bagaimana Al-Qur'an mengungkapkan peringatan:

>> Maka apakah kamu merasa aman (dari hukuman Allah) yang men-jungkirbalikkan sebagian daratan bersama kamu atau Dia meniupkan (angin keras yang membawa) batu-batu kecil? Dan kamu tidak akan mendapat seorang pelindung pun bagi kamu, (QS. Al-Isra' [17] :68).

Dan mereka memohon kemenangan (atas musuh-musuh mereka) dan binasalah semua orang-orang yang berlaku sewenang-wenang lagi keras kepala, (QS. Ibrahim [14): 15).

p: 141

Dalam rangka menyampaikan pesan nasihat, ia mengungkapkan:

Bagaimana pikiranmu (wahai Muhammad)?, jika Kami berikan mereka menikmati kesenang- an bertahun-tahun (QS. Asyu'ara [26]: 205) Mengenai ketuhanan, ia mengungkapkan:

Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.

(QS. Al-Ra'd [13]: 8).

Ketujuh, Al-Qur'an juga berbicara tentang medan luas dari berbagai ilmu pengetahuan seperti Teologi, Fikih, Akhlak, dan lain sebagainya. Semua bidang itu dijelaskannya dengan sastra bahasa yang indah dan fasih sedemikian sempurna.(1) Abu Yaqub, Yusuf bin Muhammad bin Ali Sakkaki (626 H), pengarang Miftâh Al-'Ulûm, meyakini bahwa mukjizat Al-Qur'an adalah realitas yang bisa dicerap pengetahuan, tetapi sulit dijelaskan dan dideskripsikan secara utuh dan benar. Bahasa itu, menurut Sakkaki, pada dasarnya tidak mampu menuangkan hakikat mukjizat Al-Qur'an yang termasuk dalam kategori estetika,

p: 142


1- 22. Al-Tafsîr Al-Kabîr, jld. 2, hlm. 115; Nihâyat Al-Îjaz fi Dirâyat Al-jaz.

Keniscayaan Mukjizat seni, dan faktor emosi ke dalam kata-kata. Seperti cita rasa, irama, dan nada: bisa dipahami, tetapi tidak bisa diungkapkan. Walaupun demikian, ketekunan dan kepakaran dalam ilmu Ma'ani-Bayan akan mengangkat seseorang sampai di satu tingkat cita rasa bahasa dan seni hingga mampu mencecap seni tinggi Al-Qur'an dan nilai kemukjizatannya.(1) Ibnu Abil Ashba' 'Abdul'azdim bin Abdulwahid (585-654 H), Zakiyuddin, salah seorang penyair dan sastrawan pada masanya, dalam Badî'Al-Qur’an(2), Tahrîr Al-Tahbîr, dan Al-Burhân fî I'jaz Al-Qur'ân, menilai kemukjizatan retorikal, literal, stilistis, dan komposisif tampak begitu menonjol dalam Al-Qur’an. Dalam Badî Al-Qur'ân sebagai karya berharga, dia menghitung letak-letak seni sastra badi', dan untuk setiap letak dia membawakan beberapa contoh dari Al-Qur'an. Beliau meyakini bahwa Al-Qur'an berpengaruh pada kedalaman wujud manusia dengan irama melodius musik seindah mungkin dan pola retorikal yang paling baik.

Ali bin Maitsam Bahrani (699 H), seorang pakar Teologi dan penulis komentar atas Nahj Al-Balaghah.

Tentang kemukjizatan Al-Qur'an, dia menukilkan tiga pendapat seperti teori kefasihan versi Mu'tazilah, teori kefasihan dan gaya bahasa versi Juwaini, dan teori Sharfah versi Sayyid Murtadha. Setelah itu, dia mengatakan, “Pendapat yang benar adalah bahwa kemukjizatan Al- Qur’an terdapat pada kefasihannya yang luar biasa, gaya

p: 143


1- 23. Miftâh Al-'Ulâm, hlm. 176, 216,416, dinukil dari Zarkasyi: Al-Burhân, jld. 2, tema Kemukjizatan Al-Qur'an, dengan sedikit perubahan redaksial.
2- 24. Diteliti oleh Hafni Muhammad Syaraf dan dicetak di Mesir. Karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.

bahasa, dan ilmu pengetahuannya yang mulia.” Lebih lanjut dia menerangkan:

Tentu saja, pada sebagian perkataan orang Arab juga terdapat unsur kefasihan yang sangat mencolok, tetapi kehilangan gaya bahasa yang sesuai kalau bukan malah terkesan pemaksaan yang, pada gilirannya, menjadi faktor perusak unsur (kefasihan) tersebut. Oleh karena itulah mereka tidak mampu menampilkan dua unsur itu sekaligus secara integral dan utuh. Selain itu, dari segi kandungan makna, Al-Qur’an meliputi ilmu-ilmu agung seperti tauhid, nilai keutamaan akhlak, politik, ekonomi, perjalanan spiritual menuju Tuhan, pengalaman bangsa-bangsa terdahulu, peris- tiwa yang akan datang dan lain sebagianya.

Semua ini tidak bisa diungkapkan dalam uraian kata-kata dan tuturan biasa manusia.

Al-Qur'an juga memiliki makna lahir dan batin, hadd dan mathla', sebagaimana yang disabdakan Rasul SAW. Penjelasan semua ini tidak lain meyakinkan kita bahwa seluruh ilmu pengetahuan ini berkembang di bawah pengaruh wahyu Ilahi dalam cetak biru kalimat yang paling fasih dan gaya bahasa yang paling indah.(1)

p: 144


1- 25. Qawâ'id Al-Marâm fi Ilm Al-Kalâm, hlm. 132.

Kamaluddin Abdulwahid Abdulkarim Zemalakani (651-727 H) juga, dalam tema kemukjizatan Al-Qur'an, meyakininya berasal dari lirik dan komposisi khasnya.

Dalam pandangannya, dari segi komposisi kata, Al- Qur’an memiliki koherensi dan keseimbangan, dan dari segi makna serta ini, berada di level tertinggi.(1) Amir Yahya Hamzah Alawi Zaidi (749 H), penulis Al-Thirâz, dalam analisis kesusastraannya yang sangat penting mengenai kemukjizatan Al-Qur'an memiliki pernyataan bagus yang perlu dipelajari. Pada prinsipnya, dia percaya bahwa dari segi bahasa, Al-Qur'an adalah mukjizat Rasul SAW dan dalil pembukti kenabian dan kerasulan. Maka, pertama-tama, dia menguraikan prinsip ini sejauh kapasitasnya sebagai klaim, karena Al-Qur'an telah menantang bangsa Arab agar mendatangkan karya cipta sastra bahasa yang sepertinya, atau sebesar sepuluh surah, atau pada akhirnya satu surah sepertinya. Namun Al-Qur'an menuntaskan bahwa mereka tidak akan pernah mampu membuat yang serupa dengan Al-Qur'an. Dari satu sisi, mereka memiliki berbagai macam motivasi untuk menandingi Al-Qur'an, dan sepanjang sejarah Mekkah tidak ada satu kekuatan pun yang menghadang mereka.

Namun, dari sisi lain, jika ternyata bisa membuat serupa Al-Qur'an, mereka sudah menggugurkan kerasulan Nabi saw, dan kenyataannya mereka tidak pernah berhasil, karena memang mereka tidak punya kemampuan untuk itu. Di sinilah letak kemukjizatan Al-Qur'an.

p: 145


1- 26. Al-Burhân Al-Kâsyif ‘an Ijaz Al-Qur'ân, hlm. 53.

Setelah itu, Amir Yahya memaparkan beberapa dimensi kemukjizatan Al-Qur'an menurut berbagai kalangan ulama. Segera setelah menyanggah semua teori dan argumen mereka, dia mengajukan perspektifnya.

Beberapa teori itu adalah berikut ini:

- Sharfah dari Abi Ishaq, Sayyid Murtadha dan ...; - Gaya bahasa Al-Qur'an: yang berbeda dengan gaya puisi, orasi, tata tulis Arab; Keutuhan dari kontradiksi; - Meliputi berita-berita gaib; Kefasihan: kemurnian kata-kata dari kompleksitas; Mengandung hakikat realitas dan rahasia makna yang senantiasa baru, segar dan tidak terhingga; Balaghah: mengandung ragam bahasa seperti analogi, figurasi, konjungsi dan disjungsi (fashl wa washl), penempatan di awal atau di akhir (taqdîm wa ta'khîr), eksplisi dan implisi (idhmâr wa izdhâr), dll; Lirik dan sintidaksis (ta’lif); Gabungan semua teori di atas; dan Awal dan akhir serta teks setiap surah Al-Qur'an yang meliputi keindahan lahiriah dan inovasi yang luar biasa.

Teori terakhir (kesepuluh) inilah yang lalu dipilih Amir Yahya dalam penelitiannya mengenai kemukjizatan Al-Qur'an. Dalam uraiannya dia menuliskan:

p: 146

Ada tiga keistimewaan yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur'an, yaitu pertama kefasihan setiap kata. Artinya, kata-kata Al-Qur'an itu selain murni dari kerumitan, kompleksitas dan kekakuan, juga terkesan begitu halus selembut salju, mengalir deras selaksa air terjun, dan manis selegit madu. Kedua, balaghah dan keindahan makna sedemikian sesuai dengan setiap tema, seperti seperti perumpamaan, berita, kisah, larangan, perintah, nasihat, dll.

Ketiga, ketelitian sistematika dan rangkai- an kalimat yang memiliki sintaksis yang sangat koheren.

Beliau juga menambahkan:

Argumen analisis kami ialah bahwa ayat tantangan (tahaddî) tidak menyebutkan satu dimensi secara definitif. Ia hanya menyatakan secara umum, misalnya, “Datangkanlah yang seperti Al-Qur’an”. Demikian pula, ketika para audiensi (Al-Qur’an) saling menantang kekuatan sastra bahasa masing-masing, mereka akan menyoroti tiga dimensi istimewa, yaitu kefasihan, balaghah, dan ketelitian lirik rangkaian kalimat. Karena itu, ketika Al- Qur’an mengungkapkan tantangannya juga

p: 147

secara umum, sudah semestinya ungkapan ini dipahami sebatas makna yang umum dimengerti para audiensinya.(1) Di bagian akhir, Amir Yahya mengetengahkan sejumlah kritik yang mungkin diangkat untuk lalu dituntaskan dengan jawaban.

Badruddin Muhammad bin Abdullah Zarkasyi (794 H), juga dalam karyanya yang kaya dan monumental, Al-Burhân fî 'Ulûm Al-Qur’an, membahas tantangan Al-Qur'an dan ketidakmampuan bangsa Arab dalam menandingi bahasanya, tepatnya setelah menyinggung kemukjizatan Al-Qur'an dan meyakininya sebagai bukti abadi dan representasi tunggal segenap mukjizat.

Kemudian dari sudut pandang yang menyeluruh, dia memaparkan sejumlah pendapat para ulama Islam mengenai berbagai dimensi kemukjizatan Al-Qur'an.

Beberapa pendapat yang dianggapnya penting adalah berikut ini:

- Teori Sharfah versi Nadham. Pada titik ini, tentu saja Zarkasyi mereaksi kritis teori ini.

Teori Kompisisi Khas yang dikemukakan oleh Abdulkarim bin Zemalkani dalam Al-Burhan Al- Kasyif an Ijax ân; Teori Berita Gaib Al-Qur'an, dalam kaitannya dengan masa silam, yang akan datang, dan hal-hal misterius.

Pendapat ini juga menjadi bahan kritik Zarkasyi

p: 148


1- 27. Al-Thirâz Al-Mutadhammin li Asrâr Al-Balaghah wa 'Ulûm Haqâ’iq Al-Ijaz, jld. 3, hlm. 367.

hingga, menurutnya, tidak dikategorikan sebagai kemukjizatan yang mencakup semua ayat Al-Qur’an, karena semua ayat tidak berbicara tentang berita gaib.

Pendapat Ibnu ‘Athiyah, yakni ketertiban lirik, kekokohan makna, dan kefasihan bahasa yang lahir dari ilmu universal Allah SWT.

Kefasihan, gaya bahasa yang indah, kemurnian dari cacat, lengkap dengan tantangan. Ini pendapat yang digagas Fakhru Razi; Lirik dan gaya bahasa yang luar biasa indah versi Qadhi Abu Bakar Baqilani.

Bisa dipahami tapi tidak terungkapkan. Sakkaki dan Abu Hayyan Tauhidi menukil dari seorang sufi bernama Bundar bin Husain Farsi Syafi'i (353 H):

ia mengatakan, “Apakah bisa ditanyakan di manakah kemanusiaannya manusia?! Demikian pula halnya Al-Qur’an; kekuatan manusia tidak akan pernah bisa menyingkap rahasia kitab ini, dan oleh karena itulah pikiran terkesima di hadapan keagungan Al-Qur’an; Pendapat Ibnu Hazim Qarthajani dalam Minhâj Al-Bulagha", yaitu kontinuitas kefasihan dan balaghah pada seluruh aspek Al-Qur'an di sepanjang masa; tidak ada seorang sastrawan pun yang memiliki keistimewaan ini.

Balaghah dan keindahan luar biasa ungkapan Al- Qur'an dalam mengekspresikan kemukjizatannya.

p: 149

Pandangan yang, disebut-sebut Badruddin, dari kalangan peneliti, yakni kemukjizatan Al-Qur'an terdapat pada semua dimensi (pendapat) tersebut di atas. Tidak satu pun dari dimensi ini dengan sendirinya dianggap sebagai faktor kemukjizatan Al-Qur’an, tetapi justru ada hal-perihal selain semua dimensi ini seperti pengaruhnya yang luar biasa pada jiwa audiensi yang beriman ataupun kafir; kekuatan menyampaikan pesannya ketika dibaca sebegitu rupa hingga siapa saja yang membacanya seakan makna yang dimaksud turun ke dalam hati dan dia sendiri seolah orang yang diajak bicara langsung oleh wahyu; keutuhan jazâlah (kekuatan, kekokohan dan kepadatan), kelezatan, kelembutan batin yang tidak mudah menggabungkan ketika unsur ini dalam satu teks bahasa; statusnya sebagai kitab samawi terakhir yang, walau demikian, tidak memerlukan wahyu baru atau kitab suci yang lain.

Yang dapat disimpulkan dari uraian Zarkasyi di atas ialah kepercayaannya bahwa kemukjizatan Al-Qur'an juga tidak dapat dibatasi hanya pada dimensi tertentu.

***

p: 150

4.Karakteristik Mukjizat

Perbedaan Mukjizat Para Nabi dan Faktornya

Adalah fakta bahwa mukjizat para nabi itu tidak sama: berbeda- beda, meskipun memiliki kesamaan dari segi statusnya sebagai perkara yang “luar biasa” (khâriq al-'âdah). Mukjizat Nabi Nuh as mendatangkan angin topan yang luas merata, unta Nabi Saleh as yang keluar dari perut gunung, mukjizat Nabi Ibrahim keluar selamat dari api Namrud, mukijzat Nabi Musa as dengan tangannya menjadi putih dan sebuah tongkat di tangannya sebagai bukti atas kekuatan Tuhannya di hadapan kaum Firaun, mukjizat Nabi Isa as menyembuhkan penderita lepra, orang buta, menghidupkan orang mati dan lain-lainnya. Demikian pula Nabi Yang Mulia SAW memiliki pelbagai mukjizat. Di antara semua, Al-Qur’an merupakan mukjizat abadi bagi kebenaran agamanya.

Dalam Al-Arba'în wa Al-Barâhîn, Fakhru Razi membagi mukjizat kepada indrawi (hissi) dan aklani (aqli). Atas dasar ini dia lalu membahas mukjizat Nabi SAW lalu membaginya juga

p: 151

kepada dua jenis: indrawi dan aklani. Berikutnya, dia membagi mukjizat aklani kepada enam macam: ke-ummi-an (Nabi SAW tidak membaca dan menulis), membawakan Al-Qur'an secara seketika dan tanpa kesiapan sebelumnya, ketegaran menghadapi kesulitan mengemban tugas kenabian, doa yang terkabulkan, pemberitahuan hal-hal gaib, pemberitahuan kitab samawi sebelumnya seperti: Taurat dan Injil, tentang kenabian beliau, dan lain.

Adapun mukjizat jenis indrawi, Fakhru Razi membaginya kepada macam:

1. Mukjizat eksternal; di luar diri nabi seperti membelah bulan, berbicara dengan hewan, mengenyangkan orang lapar dengan sedikit makanan.

2. Mukjizat internal; dalam diri nabi seperti: cahaya dalam diri Nabi SAW.

3. Mukjizat dalam karakter nabi seperti sifat mulia dan bersih dari sifat buruk.(1) Alhasil, pertanyaan yang mengemuka di sini, apakah rahasia perbedaan-perbedaan mukjizat ini? Apakah lingkup setiap syariat dan ciri khas masing-masing adalah sebab perbedaan- perbedaan ini? Ataukah karena kondisi dan kapasitas spiritual dan ruhani para pembawa mukjizat? Ataukah karena tuntutan zaman, pelbagai disiplin ilmu masa itu, dan kadar tingkat pemahaman umat? Apa pun rahasia dan sebab itu, Allah telah menjadikan kekuatan mukjizat sebagai alat pembukti yang memfasilitasi

p: 152


1- 1. Abu Hatim Razi: A’lâm Al-Nubuwwah, hlm. 191.

manusia pilihan-Nya. Di samping itu, tidak ada satu tindakan Allah kecuali yang berlangsung secara sia-sia, tanpa hikmah dan tanpa tujuan. Atas dasar itu, harus dicermati rahasia kebijakan Ilahi yang tersembunyi di balik perbedaan-perbedaan itu. Yang pasti, Allah Yang Mahabijaksana telah menjadikan mukjizat tiap-tiap nabi sesuai dengan skala dakwahnya dan dibuat sedemikian rupa hingga setiap nabi dalam kondisi tertentu dan umat khasnya niscaya memberi pengaruh yang diperlukan dalam rangka memilah kebenaran dari kebatilan dan menyempurnakan bukti Ilahi.

Jawaban ini dikuatkan oleh ucapan Imam Ali bin Musa Ridha as dalam menjawab pertanyaan Ibnu Sikkit, seorang ilmuwan dan sastrawan Arab. Ketika Ibnu Sikkit bertanya kepada Imam, “Mengapa Allah mengutus Nabi Musa bin Imran dengan mukjizat tangan putih dan sebuah tongkat, Nabi Isa dengan mukjizat penyembuhan, dan Nabi Muhammad SAW dengan mukjizat sejenis kata-kata dan retorika?”, Imam menjawab, “Allah SWT mengutus Nabi Musa ketika sihir para penyihir menguasai masyarakat yang hidup di zaman itu, lalu Musa datang membawa sesuatu dari sisi Allah yang tidak sanggup mereka hadapi, sehingga ia berhasil menaklukkan sihir mereka dan me- nyempurnakan bukti Tuhan atas mereka. Begitupula Allah SWT mengutus Nabi Isa as di saat penyakit kronis merajalela dan ma- syarakat sangat membutuhkan keberadaan tabib. Dari sisi Allah, Al-Masih membawa sesuatu yang ada sepertinya pada mereka:

menghidupkan orang-orang mati mereka, menyembuhkan orang buta dari lahir dan orang yang terkena lepra dengan izin

p: 153

Allah SWT, hingga dengan itulah ia menyempurnakan bukti Ilahi atas mereka. Demikian pula Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW di saat nilai retorika dan seni wicara dominan pada masa itu. Oleh sebab itu, beliau membawa sebuah kitab, nasihat dan hukum dari Allah yang mengungguli sastra dan seni wicara mereka dan menyempurnakan bukti Ilahi atas mereka.(1) Ada sebuah catatan yang perlu diperhatikan, bahwa analisis dan pencermatan tentang perbedaan mukjizat para nabi Allah, khususnya mukjizat nabi-nabi terdahulu dan mukjizat Nabi Islam, merupakan pembongkar sebuah distingsi signifikan di antara mukjizat masing-masing mereka.(2) Karena, sekalipun Nabi Islam juga mempunyai mukjizat yang beraneka ragam, tetapi tanda-bukti dan mukjizat utama kenabian beliau adalah dari hakikat wahyu itu sendiri, sementara pada nabi yang lain, wahyu adalah suatu hakikat, sedangkan mukjizat adalah hakikat yang lain. Lebih dari itu, mukjizat nabi terdahulu lebih berupa mukjizat tindakan dan indrawi (hissi), sedangkan mukjizat Nabi Terakhir sejenis mukjizat aklani (aqli), kultural, dan lebih berhubungan dengan lingkungan intelektualitas dan pemikiran masyarakat daripada dengan indra mereka.

Ibnu Sina, tepatnya setelah menjelaskan keniscayaan prinsip kenabian, hukum Ilahi dan keniscayaan mukjizat untuk mengokohkan risalah para nabi, menyinggung perbedaan tadi secara singkat:

p: 154


1- 2. Bibâr Al-Anwâr, jld. 11, hlm. 70.
2- 3.Lihat: Târîkh Adab Al-Arabiyyah, jld. 1, hlm. 195; George Zidane, Târîkh Al Tamaddun Al-Islâmî, jld. 1, hlm. 37.

Dan kewajiban taat hanya tertetapkan dengan bukti-bukti yang menunjukkan keberasalan syariat (agama) itu dari sisi Tuhannya. Bukti-bukti itu adalah mukjizatnya, dan itu bisa berupa perkataan atau perbuatan. Kalangan tokoh lebih taat pada [mukjizat] perkataan, sedangkan orang awam lebih patuh pada [mukjizat) perbuatan. Namun, mukjizat perbuatan tidak utuh tanpa mukjizat perkataan, karena kenabian dan mukjizat tidak akan terjadi tanpa seruan kepada kebaikan. Jadi, harus ada agen syariat, yaitu nabi pembawa mukjizat.(1) Ibnu Khaldun mengatakan, “Ketahuilah bahwa paling besar, paling mulia, dan paling jelasnya petunjuk adalah Al-Qur'an Al- Karim yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Mukjizat para nabi adalah realitas selain wahyu dan telah diajukan sebagai bukti, sementara Al-Qur’an itu adalah wahyu yang merupakan mukjizat itu sendiri sehingga tidak memerlukan argumentasi lain untuk membuktikan dirinya.” Dia menambahkan, “Sabda Nabi SAW juga menyinggung poin ini. Beliau bersabda, “Tidak seorang pun dari para nabi diutus kecuali ia diberi tanda-tanda (mukjizat) yang serupa dengannya hingga manusia meyakininya.

Akan tetapi [tanda) yang diberikan kepadaku adalah wahyu yang diturunkan kepadaku, maka aku berharap menjadi orang yang paling banyak pengikutnya di Hari Kiamat.””(2) Cendekiawan Muslim ternama, Raghib Isfahani, juga membagi mukjizat para nabi ke dalam dua kategori: indrawi

p: 155


1- 4. Syarh Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, jld. 3, hlm. 371.
2- 5. Mukadimah Keenam dari Muqaddimah Târîkh Ibn Khaldûn.

(hissi) dan aklani (‘aqli). Dia menuliskan, “Mukjizat indrawi adalah mukjizat yang bisa dilihat dengan mata telanjang seperti: unta Nabi Saleh as, topan Nabi Nuh as, kobaran api Nabi Ibrahim as, dan tongkat Nabi Musa as. Adapun mukjizat aklani adalah mukjizat yang tidak bisa dijangkau dengan mata telanjang, namun bisa dilihat dengan mata hati seperti:

pemberitaan tentang peristiwa gaib. Ciri khas mukjizat indrawi ialah kemungkinannya diakses masyarakat umum dan kalangan khusus serta lebih meyakinkan lapisan umum masyarakat.

Walaupun demikian, upaya memilahnya dari perkara luar biasa yang lain seperti: perdukunan dan sihir, amat menyulitkan, dan tugas memastikan suatu kejadian itu apakah mukjizat atau bukan hanya bisa dilakukan kalangan ahli tertentu.” Adapun mukjizat aklani dipahami para ilmuwan dan peneliti. Raghib melanjutkan, “Mengingat Allah menjadikan agama (syarî'ah) Nabi Islam SAW tidak terhapuskan untuk selamanya, demikian mukjizat aklani juga memiliki ciri khas yang sama, yaitu tidak berubah, maka Allah telah menjadikan kebanyakan mukjizat agama ini sebagai realitas yang tidak ber- ubah. Al-Qur'an adalah mukjizat eksklusif Nabi SAW; mukjizat indrawi-aklani yang diam sekaligus bicara sepanjang zaman.”(1) Sebenarnya bisa dikatakan: mukjizat macam ini dipilih atas dasar hikmah dan falsafah relevansi setiap mukjizat dengan agama tertentu. Mengingat risalah para nabi terdahulu hanya terbatas pada zaman dan masyarakat tertentu, mukjizat mereka juga terbatas pada zaman itu, sesuai dengan kebutuhan masyarakat masa mereka, dan sejenis mukjizat yang tidak menuntut

p: 156


1- 6. Mukaddimah Tafsîr, hlm. 102, dinukil dari Al-Tamhîd fi Ulâm Al-Quân, jld. 4, hlm. 19.

keberlanjutan. Ini berbeda dengan agama Nabi Muhammad SAW sebagai ajaran abadi dan universal: tidak ada agama lain lagi yang akan datang dari Allah, maka dari itulah mukjizat yang berfungsi sebagai argumen atas kebenaran agama beliau niscaya jenis mukjizat yang juga kokoh dan abadi sehingga memenuhi kebutuhan masyarakat yang diajak kepada agama ini, walaupun sepanjang sejarah mereka tidak hadir dan menyaksikan masa pengutusan Nabi Terakhir SAW.(1) Mukjizat itu tidak lain dari Al-Qur'an yang sepanjang sejarah mengajak manusia untuk berpikir dan bertadabur:

Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur'an? Sekiranya (Al-Qur'an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya (QS. Al-Nisa' [4]: 82).

Al-Qur'an, Mukjizat Abadi Nabi Terakhir

Sebelum memasuki topik kemukjizatan Al-Qur'an, layak kita catat sebuah poin bahwa dalam Al-Qur'an dan sabda Nabi SAW, perkataan para sahabat bahkan tabiin, tidak ada kata “mukjizat” yang dipergunakan dalam terminologi umumnya sekarang ini.

Seperti juga sekian banyak istilah lain teologi di sepanjang sejarah akidah dan ilmu Kalam Islam, istilah mukjizat menjadi konvensional di kalangan para teolog Muslim. Barangkali, untuk pertama kalinya di Abad Ketiga, istilah ini dipakai dengan

p: 157


1- 7. Al-Bayân fi Tafsîr Al-Qur’an, hlm. 43.

pengertian sekarang ini. Justru Al-Qur’an mengungkapkan pengertian ini dengan kata-kata lain, di antaranya:

Ayat Dalam bahasa, ayat berarti tanda yang jelas. Yakni, tanda yang dibawakan para nabi sebagai bukti konkret atas kenabian mereka disebut sebagai ayat.

Secu Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah (QS. Al-Nisa' [4]: 49).

Ada sebuah penantian yang dianggap logis bahwa umat para nabi menuntut agar mereka memperlihatkan bukti dan tanda (mukjizat) untuk meyakinkan agama mereka benar-benar berasal dari Allah:

Dia (Firaun) menjawab, “Jika benar engkau membawa suatu tanda, maka tunjukkanlah kalau kamu termasuk orang-orang yang benar” (QS. Al- A'raf [7]: 106).

p: 158

Bayyinah Secara etimologis, kata ini berarti tampak dan tersingkap.

petunjuk yang nyata dan arahan yang jelas, apakah aklani ataukah indrawi, dinamakan sebagai bayyinah.

Sungguh aku datang kepadamu dengan membawa petunjuk yang nyata dari Tuhanmu (QS. Al-A'raf [7]: 105).

Burhan Secara etimologis, burhan adalah bukti dan argumen:

Wahai manusia, sesungguhnya telah sampai kepadamu bukti dari Tuhanmu dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur'an) (QS. An-Nisa' [4]: 174).

Sultan Etimologi kata ini berarti kekuatan, kemampuan dan bukti.

Suatu dalil akan disebut sultan manakala menguasai pikiran dan hati:

Tidak pantas bagi kamu mendatangkan suatu bukti (sulthân) kepada kamu melainkan dengan izin Allah (QS. Ibrahim [14]: 11).

p: 159

Bashirah Dalam bahasa, kata ini berarti kecemerlangan dan penglihat- an cemerlang serta pengetahuan batin. Tanda-tanda yang dikemukakan para nabi sebagai bukti kebenaran ucapan mereka menciptakan penglihatan cemerlang dan pengetahuan batin orang:

Sungguh telah datang kepada kalian tanda-tanda cemerlang dari Tuhanmu (QS. Al-An'am [6]: 104).

Al-Qur'an dan Tantangan

Adalah fakta dari sekian peristiwa autentik sejarah di abad VII Masehi, bahwa Muhammad putra Abdullah SAW menyatakan dirinya sebagai nabi pada usia empat puluh tahun. Dan pada saat yang bersamaan, teks Al-Qur'an yang kini berada di tangan satu milyar Muslim adalah wahyu yang diturunkan kepadanya. Beliau menjelaskan dan menafsirkan kandungannya kepada masyarakat secara bertahap selama dua puluh tiga tahun.(1) Dari teks Al-Qur'an dapat dipahami dengan jelas bahwa dirinya merupakan tanda yang nyata dan mukjizat pembukti kebenaran nabi terakhir:

Dan mereka (orang-orang kafir Makkah) berkata, “Mengapa tidak diturunkan mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah (Muhammad), “Sesungguh- nya mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah, aku hanya seorang pemberi peringatan yang jelas." Apakah tidak cukup

p: 160


1- 8. Al-Mughnî, jld. 16, hlm. 152 167.

bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu kitab (Al-Qur'an) yang dibacakan kepada mereka? Sungguh dalam (Al-Qur'an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman (QS. Al-Ankabut [29]: 50-51).

Hal ini juga ditegaskan oleh ahli tafsir ternama, Tabarsi:

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa Al-Qur'an Majid dari sisi kemukjizatannya sudah cukup, bahkan memiliki derajat yang lebih tinggi di atas mukjizat, sebab Allah SWT mnempatkannya hingga paling cukup dari seluruh mukjizat yang ada, karena “cukup” di sini berarti telah sampai pada suatu derajat yang tidak ada kebutuhan lagi kepada selainnya.(1) Lebih dari itu, Al-Qur'an juga menyeru para penentangnya bahkan seluruh masyarakat dunia di sepanjang sejarah: siapa saja yang meragukan autentisitasnya dari Allah supaya mengerahkan seluruh kekuatan pikiran, mental dan materi, serta bekerja sama untuk membuat semisal Al-Qur'an. Seruan ini yang dikenal para teolog Muslim dengan istilah tahaddi (tantangan: mengajak dialog dan beradu kekuatan).(2) Ataukah mereka berkata, “Dia (Muhammad) mereka-rekanya”. Tidak! merekalah yang tidak ber- iman. Maka datangkanlah mereka yang semisal

p: 161


1- 9. Majma' Al-Bayân, jld. 16, hlm. 236.
2- 10. Al-Mughnî, jld. 16, hlm. 236.

dengannya (Al-Qur'an) jika mereka orang-orang yang benar (QS. Al-Thur [52]: 33-34).

Bahkan mereka mengatakan dia (Muhammad) telah membuat- buat Al-Qur'an itu. Katakanlah, “(Kalau demikian), datang- kanlah sepuluh surah semisal dengannya (Al-Qur’an) yang dibuat-buat, dan serulah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." Maka jika mereka tidak memenuhi seruanmu, maka ketahuilah bahwa (Al-Qur'an) itu diturunkan dengan ilmu Allah, dan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, maka akankah kamu berserah diri (masuk Islam)? (QS. Hud (1): 13-14).

Dan jika kamu meragukan (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. Jika kamu tidak mampu membuatnya, dan (pasti) tidak akan mampu, maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang di sediakan bagi orang-orang yang kafir (QS.

Al-Baqarah [2]: 23-24).

Katakanlah (Muhammad), “Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih memberi petunjuk dari pada kitab keduanya (Taurat dan Al-Qur'an), niscaya aku mengikutinya jika kamu orang yang benar.” Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan mereka. Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti keinginan tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun?

p: 162


1- 11. Tamhîd Al-Ushûl, hlm. 334, dinukil dari Dâ’irat Al-Mđârif Tasyayyu, jld. 2, hlm. 266.

Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS. Al-Qashash [28]: 49-50).

Seruan Rasional

Ayat-ayat yang dikenal sebagai tantangan diajukan ke hadapan semua penentang sejak turunnya Al-Qur’an di era Mekkah, era penderitaan dan kesulitan Nabi SAW serta sedikitnya jumlah Muslimin yang baru beriman. Tantangan ini terus berlanjut hingga masa kekuasaan dan keunggulan Rasulullah SAW bersama kaum Muslimin. Dari ayat-ayat ini tampak suatu seruan kultur, dakwah rasional dan adil kepada semua orang yang bersikap sangsi atau curiga terhadap keilahian teks Al-Qur'an dan pesan Nabi SAW. Ajakan ini, secara berulang-ulang dan dengan metode yang kokoh, seraya memberikan kesempatan yang cukup dan peluang pihak penentang dalam memanfaatkan segenap fasilitas, telah mengerahkan kadar maksimal kemurahan dan toleransi kepada mereka. Dalam ayat-ayat ini, para penebar skeptisisme dituntut: jika memang mereka itu percaya bahwa Al-Qur'an adalah hasil pikiran pribadi Muhammad SAW dengan alasan status beliau sebagai juga manusia biasa, maka mereka semes- tinya membulatkan tekad dan berusaha keras mencipta hal yang serupa dengan keseluruhan Al-Qur’an, atau sepuluh surah, atau satu surah seperti surah-surah pendeknya, yakni membawakan hanya seper-tujuh ribu Al-Qur'an saja! Dia berkata, “bila ini bagimu mudah sebegitu enteng, maka katakanlah satu surah!"

p: 163

Agaknya sulit bagi kita menemukan bukti kuat (qotî) atas rincian persoalan dan bagaimana susunan tertib penurunan Al-Qur'an, letak-letak awal dan akhir semua ayat tantangan (tahaddî). Walau demikian, ada poin krusial yang perlu dicatat, yakni berangkat dari situasi-kondisi dan relevansi kontekstual turunnya Al-Qur'an, serta berbagai metode menyikapi para penentang, maka mengemukakan salah satu dari tiga opsi yang bisa dipilih secara acak yakni membuat tandingan serupa keseluruhan Al-Qur'an, sepuluh surah, atau satu surah bisa diterima sebagai sebuah bukti atas kemanusiawian Al-Qur’an.

Jika tidak demikian, maka para penentang dan pihak skeptis mau tidak mau harus mengakui keilahian teks Al-Qur'an.

Kadar Tantangan Al-Qur'an

Seberapa besar dari Al-Qur'an yang merupakan mukjizat? Berapakah kadar minimal (dari Al-Qur'an) yang dengannya para penentang ditantang dan dituntut agar mereka membuat semisal Al-Qur'an? Beberapa ayat tersebut sebelumnya telah meng- klarifikasi persoalan ini. Di dalamnya digunakan kata “surah” yang, dalam istilah populer Al-Qur'an, berarti bagian tertentu dari ayat-ayat dan teridentifikasi dengan kalimat awal bismillah.

Walau demikian, dalam memahami ayat-ayat itu, para teolog Muktazilah menganggap seluruh bagian Al-Qur'an sebagai mukjizat, sementara mereka tidak memandang ayat- ayat itu sebagai penentu kadar mukjizat. Menurut mereka, maksud ayat “... Maka buatlah satu surah semisal dengannya ...”(QS. Al-Baqarah [2]: 23) hanya mene-rangkan bahwa Allah

p: 164

menuntut para penentang yang meragukan keilahian Al-Qur'an agar membuat satu surah yang semisalnya. Mengingat asas kemukjizatan Al-Qur'an, menurut mereka, adalah dimensi keindahan sastra (balaghah) Al-Qur’an, dan dimensi ini menebar di seluruh ayatnya, maka tantangan Al-Qur'an tidak terukur kadarnya. Namun, pandangan ini tampaknya berbasis di atas asumsi pembatasan kemukjizatan Al-Qur’an pada dimensi keindahan sastranya saja: pembatasan yang masih diragukan secara serius.

Di samping sekian konsekuensi keliru pandangan ini, sebagaimana kelak akan disinggung, munculnya terma “surah” dalam ayat-ayat tantangan berdasar pada sebuah filosofis dan kebijakan (hikmah) yang mesti mendapat fokus khusus. Semua kelompok Islam sepakat bahwa ketertiban dan susunan kata- kata Al-Qur'an yang lalu membentuk rangkaian ayat-ayatnya terjadi atas dasar wahyu dan pertimbangan bijak tertentu, sehingga setiap kata pada kapasitasnya masing-masing memiliki objektivitas tersendiri. Oleh sebab itu, dalam sebagian ayat tantangan, para penentang dituntut agar membuat satu surah semisal surah Al-Qur'an jika mereka menganggapnya sebagai buatan manusia.

Kadar minimal yang bisa dipastikan dari ayat-ayat ini adalah surah dalam pengertian termonilogis Al-Qur'an, tidak kurang dari itu, karena setiap surah apa itu panjang atau pendek tidak ubahnya dengan sebuah bangunan yang sempurna dengan unit- unit yang saling menopang sehingga menghasilkan sebuah tujuan tertentu: memiliki prolog, teks, epilog yang sesuai dengannya,

p: 165

dan mengarah pesan khususnya. Maka dari itu, jika seseorang membuat sebuah atau beberapa kalimat pendek yang fasih dan artistik, sesungguhnya dia sama sekali tidak menjawab tantangan Al-Qur’an, tidak pula memenuhi kadar minimal yang dituntut kitab suci itu. Ini dikuatkan oleh pandangan sarjana besar Islam, Syekh Thusi, dalam Tamhîd Al-Ushûl, “Paling pendeknya surah Al-Qur’an memuat tiga ayat. Allah menuntut para penentang agar membuat semisal satu surah (pendek] Al-Qur'an, namun mereka tidak sanggup melakukannya”(1) Dalam mukadimah tafsir Al-Bayân fi Tafsîr Al-Qur'ân, disebutkan:

Al-Qur’an adalah mukjizat dari segi balaghah dan metodenya, bukan pada setiap dari kata-katanya ... ketidakmampuan manusia membuat semisal satu surah Al-Qur’an adalah perkara yang mungkin dan tidak bertentangan dengan kemampuan untuk membuat satu ayat semisalnya (Al-Qur’an) ataupun apa saja yang sebatas satu ayat. Di antara kaum Mus- limin pun tidak ada yang mengklaim kemustahilan [membuat satu ayat semisal [Al-Qur'an). Sementara itu, Al-Qur'an sendiri dalam penanta-ngannya tidak menyeru para penentang untuk membuat serupa satu ayatnya.(2)

p: 166


1- 11. Tamhîd Al-Ushûl, hlm. 334, dinukil dari Dâ’irat Al-Mđârif Tasyayyu, jld. 2, hlm. 266.
2- 12. Al-Bayân fi Tafsir Al-Qur'an, bagian Mukadimah.

Mukjizat yang Berbicara dan Tantangan Abadi

Satu dari sekian persoalan teoretis dalam topik kemukjizatan dan tantangan Al-Qur'an adalah skala ruang dan waktunya. Apa yang kita ketahui tentang mukjizat para nabi terdahulu dan juga seluruh mukjizat Nabi SAW selain Al-Qur'an adalah keterbatasan skalanya hanya pada masa dan konteks umat-umat mereka, tidak lebih. Sekelompok mukjizat ini tidak terakses, tidak tersimak, tidak juga terjangkau oleh umat yang lain. Lalu, bagaimana dengan Al-Qur'an? Apakah efisiensi kemukjizatan Al-Qur'an, ajakannya untuk berpikir dan tantangannya terbatas hanya pada masa hidup Nabi SAW? Ataukah justru mukjizat dan tantangan itu tidak hanya berlaku semasa hidup beliau, tetapi bahkan valid dan kokoh sampai Hari Kiamat? Berpijak pada teori Sharfah(1) dalam interpretasi mukjizat, dalam masalah ini sebagian ahli teologi Islam berpandangan kemukjizatan dan tantangan Al-Qur'an hanya berlaku kokoh di masa hidup Nabi SAW. Yakni, hanya sepanjang masa kenabian beliaulah tidak ada seorang pun yang mampu membuat padanan Al-Qur'an dan mencipta kalimat indah sepertinya. Masih menurut sekelompok teolog ini, di antara perkataan kalangan sastrawan Arab sebelum dan setelah Islam telah ditemukan sejumlah produk sastra yang serupa dengan Al-Qur'an, tetapi hal ini tidak berpengaruh negatif terhadap kemukjizatan dan tantangan Al-Qur'an yang telah terbukti pada masyarakat masa Nabi SAW.(2) Hanya pandangan ini tidak diterima oleh umumnya para pemikir Islam, kalau bukan justru dipandang dengan sorotan dan gugatan kritis.

p: 167


1- 13. Yaitu teori yang menyatakan bahwa pada dasarnya, manusia mampu membuat semisal Al-Qur'an, hanya saja Allah SWT sharf'memalingkan’ kekuatannya.
2- 14. Bintu Syathi, Aisyah: Al-Ijâz Al-Bayâni, hlm. 65.

Tampaknya, pandangan di atas dilatari oleh perspektif tertentu yang mereka anut mengenai kemukjizatan Al-Qur'an sebagaimana akan dibahas pada uraian mendatang. Hanya yang perlu dicermati adalah topik ini sendiri, dalam ayat-ayat tantangan itu, telah ditegaskan secara sangat jelas. Di samping memotivasi para penentang dan pihak skeptis, Al-Qur'an lebih dari sekedar menantang mereka, bahkan mengabarkan ketidakmampuan masif dan abadi mereka dalam menjawab tantangan itu:

Katakanlab, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain” (QS. Al-Isra' [17]: 88).

Dapat diamati bagaimana ayat ini, dari satu sisi, mendeklarasikan seruan umum yang tertuju kepada seluruh manusia di setiap zaman dan, dari sisi lain, dengan tegas dan kuat menyatakan, “Mereka sama sekali tidak akan berhasil melakukan- nya.” Dengan pola ini, sesungguhnya ayat ini meneguhkan hubungan keilahian dan lintas-insani teks Al-Qur'an.

Jadi, rahasia keabadian dan kelanggengan kemukjizatan Al-Qur'an, dari satu sisi, berasal dari segi bahwa Al-Qur'an itu sendiri, dibandingkan mukjizat-mukjizat lain, termasuk dari kategori ucapan, ilmu pengetahuan, budaya, dan semacam

p: 168

fenomena yang berurusan dengan akal, pemikiran, hati, dan jiwa setiap orang, bukan dengan indra mereka.

Dari sisi lain, mengingat ucapan atau perkataan itu adalah ciptaan Tuhan yang Maha Penyayang, Maha Mengetahui dan Penguasa seluruh perkara alam semesta, sama sekali tidak ada cacat dan celah di dalamnya, tidak tertandingi, dan memiliki jaminan keutuhan dan keabadian:

Dan mereka berkata, “Wahai orang-orang yang kepadanya diturunkan Al-Qur'an, Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar orang gila.

Mengapa engkau tidak mendatangkan malaikat kepada kami, jika engkau termasuk orang yang benar?" Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan kebenaran (untuk membawa azab) mereka ketika itu tidak diberikan penangguh- an. Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya (QS. Al-Hijr [15]: 6-9).

Tiga ayat ini termasuk dari wahyu Makkiyah (diturunkan di Mekah sebelum hijrah Nabi SAW ke Madinah) yang mengandung dua bagian kalimat:

Bagian pertama berbicara dalam konteks memaparkan kerancuan intelektual dan keraguan sebagian orang yang menafikan prinsip keilahian wahyu Al-Qur'an; mereka menganggapnya hanyalah produk pikiran Muhammad SAW.

p: 169

(Itulah kitab hidup, Al-Qur'an yang penuh bijak hikmahnya senantiasa dan tidak berawal.

Hurufnya tidak menyisa keraguan dan perubahan ayatnya sungguh tidak tertakwilkan.) Bagian kedua, selain menggugurkan pandangan mereka, membawa berita tentang kelanggengan Al-Qur'an sepanjang sejarah manusia:

Itulah kitab hidup, Al-Qur'an yang penuh bijak hikmahnya senantiasa dan tidak berawal.

Hurufnya tidak menyisa keraguan dan perubahan ayatnya sungguh tidak tertakwilkan.

Iqbal Lahore Senada kandungan tiga ayat ini juga diungkapkan dalam surah Fushshilat:

Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al- Qur’an ketika Al-Qur'an itu disampaikan kepada mereka (mereka itu pasti celaka), dan sesungguhnya (Al-Qur'an) itu adalah kitab yang kokoh, (yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana, Maha Terpuji (QS. Fushshilat [41]: 41-42).

p: 170

Fokus ayat ini ialah tidak terjamahnya keutuhan teks Al- Qur’an. Kata “kokoh” yang dibubuhkan di dalamnya sebagai predikat Al-Qur'an, dengan tegas menyatakan ketidakterkalahan Al-Qur'an. Begitu juga ungkapan “tidak akan didatangi oleh kebatilan” akurat membuktikan keutuhan dan keabadian Al- Qur’an sepanjang sejarah.

Maksud dari ungkapan “baik dari depan maupun belakang”, yakni tidak tersentuh kebatilan dari depan maupun dari belakang, dari sekarang ataupun masa mendatang, menekankan negasi mutlak. Artinya, teks wahyu ini sama sekali tidak akan pernah bisa sia-sia, rusak, hancur dan lenyap.

Kalimat terakhir dari ayat, yaitu “yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana, Maha Terpuji, juga mengingatkan faktor penyebab ketahanan dan keutuhan. Dengan kata lain, lantaran terjaga utuh dari segala pengaruh, Al-Qur'an adalah perkataan Tuhan Yang Mahabijaksana, dan tindakan-Nya memiliki keistimewaan nilai seni, yaitu tidak terpengaruh apa-apa. Inilah prinsip dan rahasia kemukjizatan Al-Qur'an: teks, kandungan, strukturnya terkait dengan ilmu Tuhan, berada di atas pemikiran manusia, dan melampaui segi-segi perubahan.

Karunia Al-Haq menjanjikan Al-Mustafa Bila kau mati, sabaq ini tidak kan mati Ku-angkat kitab dan mukjizatmu Ku-cegah penambah dan pengurang Quran

p: 171

Demikian Quranmu selaksa tongkat Hancurkan kekufuran bagaikan naga Maulawi Rumi Karena itu, kebanyakan sarjana besar Islam percaya bahwa semasa kenabian dan hidup Nabi SAW, tidak ada seorang pun bekerja sama untuk membuat semisal Al-Qur'an atau mencipta karya seni sepadan dengannya, bahkan setelah wafat beliau.

Tantangan Al-Qur’an kepada para penentang, sekali lagi, dilandasi oleh kemukjizatan Al-Qur'an itu sendiri dan ciri-ciri istimewanya, akan tetap kokoh hingga Hari Kiamat, sebab kitab suci ini adalah bukti konkret kenabian Nabi Terakhir, agama Islam, dan saksi yang membuktikan kebenaran dan menyempurnakan argumen atas semua manusia.

Apa di Balik Ketakmampuan Manusia?

Menelusuri interpretasi di atas, tiba saatnya sedikit mencermati masalah: kenapa tuntutan yang berkali-kali ditegaskan Al- Qur’an terhadap para pengingkar agar membuat semisalnya senantiasa diabaikan? Alih-alih, Al-Qur'an sendiri bahkan memberitakan secara terang-terangan kegagalan harapan besar mereka. Sebenarnya, faktor apa yang menyebabkan demikian kenyataannya? Apakah kalangan skeptis dan penyangkal teks dan dan agama ini telah kehilangan motivasi dan semangat yang cukup untuk menandingi Al-Qur’an, ataukah mereka justru

p: 172

tidak punya kapasitas yang memadai untuk melakukan maksud yang krusial itu? Pada hakikatnya, musuh-musuh Al-Qur’an punya banyak motivasi untuk menjawab tantangannya, karena teks yang agung dan penyempurna ini menyanggah kepercayaan absurd nenek moyang mereka, dan menghujat pola hidup, perilaku, serta keyakinan irasional mereka. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, mereka juga masyarakat yang fanatik dan tidak segan-segan berkonflik.

Di antara mereka ada sejajar sastrawan dan orator ulung yang bisa melakukan pekerjaan ini. Jadi, di antara mereka ada orang-orang berpikiran dangkal yang tidak memandang serius sebuah realitas yang bernama Al-Qur'an itu lalu mengatakan:

Dan apabila ayat-ayat Kami dibacakan kepada mereka, mereka berkata sesungguhnya, “Kami telah mendengar (ayat-ayat seperti ini), jika kami menghendaki, niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini. (Al-Qur'an) ini tidak lain banyalah dongeng orang-orang terdahulu” (QS. Al-Anfal [8]: 31).

Meski begitu, kalangan tokoh dan pandai mereka sama sekali tidak mampu merahasiakan hasrat, keinginan, dan kekhawatiran dirinya. Mereka melakukan apa saja dan menempuh cara apa pun agar irama dan gema Al-Qur'an tidak sampai menyentuh naluri haus masyarakat.

p: 173

Dan orang-orang kafir berkata, "Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Qur'an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka)" (QS. Fushshilat [41]: 26).

Segenap upaya dan langkah militer, pertumpahan darah itu mereka lakukan semuanya karena mereka tidak berkutik dalam menghadapi keagungan Al-Qur’an.

Sharfah, Teori Non-Orisinal

Berdasarkan uraian sebelumnya, menjadi jelas bahwa teori Sharfah mengenai kemujziatan Al-Qur'an adalah pemahaman yang keliru. Sharfah atau sharf adalah kata Arab yang berarti mencegah dan memalingkan. Adapun arti terminologisnya adalah meniadakan motivasi dan keinginan. Menurut teori ini, rahasia kemukjizatan Al-Qur'an tidak terletak pada teksnya itu sendiri, namun karena Tuhan mengekang motivasi dan keinginan mereka untuk membuat semisal Al-Qur'an. Oleh sebab itu, mereka tidak mampu membuat semisal Al-Qur’an.

Ini sebagaimana dinukil dari Yahya bin Hamzah Alawi (749 H) pengarang kitab Al-Thirâz fi Asrâr Al-Balaghah wa 'Ulûm Haqâ’iq Al-I' jaz, bahwa Sharfah memiliki tiga corak interpretasi:

- Menghilangkan motivasi yang cukup untuk menandingi Al-Qur’an.

Tidak adanya pengetahuan yang cukup untuk membuat seperti Al-Qur'an, ketidaktahuan kita meyakini bahwa pengetahuan itu, pada dasarnya, tidak tersedia bagi umat

p: 174

manusia, dan Tuhan mencegah manusia dari memper- oleh pengetahuan tersebut, ataukah kita meyakini bahwa pengetahuan itu ada lalu sirna tatkala berhadapan deng- an Al-Qur'an.

Ada motivasi untuk menandingi Al-Qur'an, juga tersedia pengetahuan yang cukup untuk melaksanakannya, tetapi pada tahapan praktisnya, Tuhan dengan kekuatan-Nya melemahkan dan "memalingkan" keinginan mereka.

Yang tampak dari statemen imam Muktazilah, Abu Ishaq Nadham (231 H), dan Isa bin Subaih Muzdar yang berjuluk “Rahib Mu'tazilah” dan pencetus teori ini, menjelaskan bahwa keyakinannya tentang Sharfah tidak lain adalah meniadakan atau menghilangkan motivasi dan merusak keinginan musuh dan kalangan penanding Al-Qur'an, dan ini terjadi dengan kekuasaan Tuhan.

Kecenderungan pada teori ini juga tampak dari pandangan salah seorang sastrawan terbesar Muktazilah, Jahizd (255 H), seorang teolog Asy'ariyah ahli fikih Syafi'iyah, Abu Ishaq Is- farayini (488 H), dan Ibnu Hazm Andalusi yang bermazhab Zdahiriyah (455 H). Demikian pula Abul Hasan Al-Asy'ari (330 H) dan Sayyid Syarif Al-Jurjani menyimpulkan teori Sharfah ini dari pernyataan Abu Ishaq Nadham.(1) Selain mereka, pandangan Sayyid Murtadha dalam masalah kemukjizatan Al-Qur'an ini sepertinya sama dengan interpretasi kedua, yaitu tidak adanya pengetahuan yang cukup di tengah

p: 175


1- 15. Al-Fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwâ’ wa Al-Nihal, jld. 2, hlm. 211.

umat manusia dalam menandingi Al-Qur'an. Begitu halnya Ibnu Maytsam (699 H) dan Taftazani memahami demikian, sementara dari sarjana mutakhir seperti: Rafi'ie dan Syahristani, menyatakannya secara tegas.(1) Landasan Teori Sharfah Nadham Muktazili punya kepercayaan seperti ini: Allah tidak menjadikan Al-Qur'an sebagai argumen pembukti kenabian, namun Dia menurunkannya, sama dengan seluruh kitab samawi yang lain, untuk menerangkan hukum halal dan haram. Faktor mengapa orang-orang Arab tidak bisa menandingi intelektualitas Al-Qur'an ialah karena Allah sendiri yang mencegah mereka dari pekerjaan ini. Jadi, kalau saja Allah tidak mencegah demikian, mereka sendiri akan memanfaatkan talenta unggul puitis dan sastra prosaisnya. Oleh sebab itu, mereka menyatakan, “Seandai- nya kami menghendaki (membuat contoh Al-Qur’an), niscaya kami akan mengatakan seperti ini (Al-Qur'an)”.

Ibnu Hazm mengklain bahwa seluruh ungkapan Al-Qur'an tidak sederajat, dan adakalanya menukil beragam perkataan banyak orang. Jadi, teks Al-Qur'an itu sama dengan ucapan orang Arab, dan faktor tidak tertandinginya kitab suci ini ialah pencegahan dan determinasi kekuatan eksternal dari Tuhan.

Pendapat ini juga dinisbatkan kepada Sayyid Murtadha dan pengikutnya. Yakni, bangsa Arab memiliki susunan kalimat yang serupa dengan Alhamdulillah, Rabb al-'Alamin dan kalimat Al-Qur’an yang lain. Konklusinya, mereka memiliki kemampuan untuk mengolah dan menyusun kalimat-kalimat yang lebih besar.

p: 176


1- 16. Rujuk: Jurjani, Syarh Al-Mawâqif, jld. 3, hlm. 112; Al- Jahizd, Al-Hayawân, jld. 4, hlm. 31; Maqâlât Al-Islâmiyyîn, hlm. 296; Rafi'ie, l'jaz Al-Qur'ân, hlm. 144; Syahristani, Al-Mu'jizah Al-Khâlidah, hlm. 97.

Bahkan Al-Qur'an sendiri mengatakan, “Akan Aku palingkan dari tanda-tanda-Ku orang-orang yang menyombongkan diri di bumi ....”(QS. Al-A'raf [7]: 146). Kandungan firman ini menyatakan bahwa Allah memalingkan manusia dari menandingi Al-Qur'an.

Kritik atas Teori Sharfah Teori ini sepanjang sejarah telah menjadi bahan perdebatan serius, selain juga dikarang banyak karya khusus berkenaan dengannya.(1) 1. Evaluasi Klaim Mengidentikkan kemukjizatan Al-Qur'an dengan Sharfah jelas bertentangan redaksi ayat-ayat tantangan (tahaddî) yang, dari segi keilahian teks Al-Qur'an, menyifatinya dengan sejumlah predikat yang menjadi sebab keunggulan teks suci ini di atas setiap teks produk pikiran manusia biasa:

Katakanlah (Muhammad), “Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al-Qur'an), niscaya aku mengikutinya, jika kalau kamu orang yang benar” (QS. Al-Qashash [28]: 49).

Lebih dari itu, bahkan kalau saja kemukjizatan Al-Qur'an berkaitan dengan peniadaan motivasi atau kemampuan orang, maka [ketidaktertandingan Al-Qur'an) ini sama sekali tidak terhitung sebagai keutamaan bagi Al-Qur’an itu sendiri, belum lagi tantangannya tidak berarti apa-apa. Ini tidak ubahnya

p: 177


1- 17. Rujuk: Abu Bakar Baqilani, Akfår Al-Mutá’awwilîn; Shadiq Rafi'ie, Ijaz Al-Qur’ân; Hadi Makrifat, Al-Tamhîd fi 'Ulûm Al-Qur'ân, jld. 4.

dengan mengikat tangan orang lalu diajak untuk bertanding dan membela diri. Tentu saja, ajakan ini sia-sia dan tidak berarti. Jelas, tidak ada seorang penganut Al-Qur'an akan memandang sia-sia ajakan Tuhan Yang Mahabijaksana untuk menandingi Al-Qur’an.

II. Analisis Agumentasi Pertama, pernyataan bahwa Al-Qur’an bukanlah argumen pembukti kenabian, dan bahwa, seperti juga kitab suci yang lain, kitab ini diturunkan semata-mata untuk menerangkan hukum agama, adalah pernyataan yang bertentangan dengan teks tegas Al-Qur’an sendiri. Dalam menjawab tuntutan oknum kafir agar Nabi membawakan mukjizat dan bukti, Al-Qur'an menyatakan dirinya sebagai ayat bukti jelas' dan argumen atas kenabian dan risalah Nabi Terakhir SAW.

( Dan orang-orang kafir Makkah berkata, “Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah, "Sesungguhnya mukjizat- mukjizat itu terserah kepada Allah, dan sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan yang nyata". Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Alkitab (Al-Qur'an) sedang dia dibacakan kepada mereka ... (QS. Al-Ankabut [29]: 50-51).

Kedua, adalah dangkal dan tidak berdasar bila klaim orang- orang Arab menyatakan, “Jika kami menginginkan, pasti kami akan membuat serupa Al-Qur’an”(QS. Al-Anfal [8]: 31). Bahkan

p: 178

sejarah pun sama sekali tidak melaporkan bahwa dalam keinginan ini, mereka meraih keberhasilan. Yang pasti, jika keinginan itu bisa terealisasi bagi mereka, tentu itu akan lebih mudah mereka lakukan dari sekadar menghabiskan kekayaan dan kehilangan nyawa. Sebaliknya, testimoni para tokoh besar dan pujangga ulung seperti Walid bin Mughirah, menegaskan, “Demi Allah! Sungguh dari Muhammad aku telah mendengar perkataan yang bukan dari jenis perkataan manusia, bukan pula dari perkataan jin; sungguh perkataan yang begitu manis dan segar; bagian atasnya merimbun buah; bagian bawahnya menghunjam dalam; perkataan yang unggul dan tidak terungguli."(1) Ketiga, apa maksud dari yang sejauh ini diklaim bahwa ayat-ayat Al-Qur’an tidak pada satu derajat? Apakah ini berarti bahwa sebagian ayat tidak memiliki kadar minimal dari kefasihan dan keindahan sastra (balaghah)? Sudah barang tentu, pengertian ini bukanlah maksud klaim mereka, karena ayat-ayat Al-Qur'an, berdasarkan situasi-kondisi tertentu yang melingkupinya, masing-masing memiliki kadar minimal dari kefasihan dan balaghah yang semestinya, walaupun boleh jadi ada sebagian ayat yang, berdasarkan kondisi khas penurunannya, audiensi, dan kandungannya, berada pada puncak keindahan sastra. Di sini pun perlu dicatat bahwa kalau saja dalam Al-Qur'an terdapat berbagai perkataan banyak orang, semua ini dinukil makna dan kandungannya, bukan redaksi dan teks yang diutarakan pembicara.

Keempat, adanya struktur dan sintidaksis kalimat khas dalam tradisi sastra Arab yang serupa dengan struktur kalimat

p: 179


1- 18. Tafsîr Al-Thabari, jld. 2, hlm. 98.

Quranik seperti: Alhamdulillah dan semacamnya tidak bisa diangkat sebagai jawaban terhadap tantangan Al-Qur'an. Ini sebagaimana sebelum ini telah diingatkan bahwa Al-Qur'an telah menantang manusia agar setidaknya membuat satu surah sempurna saja, namun hingga kini, tidak seorang pun yang berhasil melakukannya.

Yang terakhir, maksud ayat “Akan Aku palingkan dari tanda-tanda-Ku”tidak lalu dipahami bahwa Tuhan memupuskan motivasi dan keinginan para penentang Al-Qur'an. Justru maksudnya, orang-orang yang sombong itu tidak akan berhasil dan terjauhkan dari kebenaran-kebenaran Al-Qur'an. Pengertian serupa ini juga diungkapkan dalam berbagai ayat yang lain:

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim (QS. Al Imran [3]: 86; Al-Maidah [5]: 51) III. Motif Pada hemat kami, sekilas saja merujuk dokumen sejarah akan tampak jelas bahwa motif yang menyebabkan munculnya teori Sharfah itu berawal dari pemahaman para penganutnya yang bertolak dari orientasi intelektual mereka, yaitu sastra bahasa dan kaidah-kaidah lingustika. Dari itulah hingga pada gilirannya pemahaman mereka membatasi skala kemukjizatan Al-Qur'an hanya pada struktur bahasa dan seni ekspresi literal,

p: 180

tanpa peduli terhadap aspek dan ciri khas kandungannya.

Maka, ketika berhadapan dengan fragmen-fragmen pendek dan indah sastrawan Arab, mereka seakan sudah tidak punya pilihan selain mengadaikan keunggulan dan ketidakterkalahan Al-Qur'an pada teori Sharfah dan kekuatan eksternal (Tuhan).

Mereka lengah bahwa wajah luar dan seni retorika Al-Qur'an hanyalah satu lapisan dari berbagai dimensinya yang tidak terbatas. Yang menjadikan sumber keabadian Al-Qur'an dan ketidakmampuan manusia menandinginya ialah hakikat pengetahuan yang tinggi, transenden, lintas-manusiawi, dan kandungannya yang dituangkan ke dalam wadah artikulasi dan kata yang paling proporsional.

Usaha yang Sia-sia Lebih dari sekedar uraian di atas, salah satu argumen yang paling jelas untuk menggugurkan teori Sharfah adalah beragam usaha intensif namun gagal yang dilakukan sepanjang sejarah dalam rangka melemahkan nilai kemukjizatan Al-Qur'an. Kitab suci ini hanyalah sarana dakwah dan fasilitas kemajuan tugas Nabi SAW dalam mengemban amanat Ilahi. Namun di sisi lain, pihak-pihak musuh agama beliau mengerahkan segenap tipu muslihat dan pelbagai macam perangkat materiil maupun nonmateri dalam rangka memerangi Al-Qur'an. Berlalunya masa tidak lalu mengurangi arus kedengkian dan permusuhan, namun justru ada orang-orang yang bekerja keras membuat padanan Al-Qur'an dengan beragam motif. Hanya mereka tidak pernah

p: 181

beruntung; malah keagungan ruh Al-Qur’an semakin bertambah.

Sejarah telah mencatat nama-nama seperti Musailamah, Sajjaj binti Harits, Thulaihah bin Khuwailid, “Ubhalah bin Kaab yang terkenal dengan nama Aswad, Nasr bin Harits, dan nama- nama lainnya, namun deretan tokoh pemalsu intelektualitas ini tidak mencapai akhir yang baik sepanjang kerja dan beban yang dikerahkan.

Sekilas menilik rekayasa-rekayasa palsu itu bisa memfasilitasi para pencari kebenaran dengan mata tajam pedang Al-Qur'an untuk menghadapi kalimat-kalimat yang tidak berarti di tengah sidang pengadilan objektif. Perhatikan:(1) الفیل* ما الفِیلُ *وَمَا أَدْرَاکَ مَا الْفِیلُ،* لَهُ ذَنَبٌ وَبِیلٌ، ولَهُ خُرْطُومٌ طَوِیلٌ*إِنَّا أَعْطَیْنَاکَ الْجَوَاهِرْ* فَصَلِّ لِرَبِّکَ وَهَاجِرْ،* إِنَّ مُبْغِضَکَ رَجُلٌ کَافِرْ*یَا ضِفْدَعُ بِنْتُ ضِفْدَعِینَ، نِقِّی مَا تَنِقِّینَ، نِصْفُکِ فِی المَاءِ وَنِصْفُکِ فِی الطِّینِ، لَا الْمَاءَ تُکَدِّرِینَ، وَلَا الشَّارِبَ تَمْنَعِینَ.* الحمد للرحمن رب الأکوان، الملک الدیان، لک العبادة، وبک المستعان، اهدنا صراط الإیمان Tidak ada yang Menandingi Wahyu Ilahi Tampak jelas bagaimana teori Sharfah dan hilangnya motivasi untuk membuat semisal Al-Qur'an begitu jauh dari kebenaran.

p: 182


1- 19. Rafi'ie, I'jaz Al-Qur’ân; Al-Tamhîd fi Ulûm Al-Qur’ân, jld. 4 hlm. 228.

Karena itu, faktor ketidakmampuan manusia di hadapan Al- Qur’an tidak bisa diidentifikasi sekadar intervensi determinatif Allah dalam kehendak dan keinginan manusia, tetapi itu harus diselidiki dalam keagungan kitab suci ini sendiri. Sejak awal penurunan Al-Qur'an, Sang Pengembannya telah mengakui dengan sepenuh jiwanya bahwa teks yang tidak ada duanya ini bukan ucapan dan produk pikiran pribadinya; dirinya hanyalah pembawa terpercaya wahyu Ilahi:

Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, “Datangkanlah Al-Qur'an yang lain dari ini atau gantilah dia!" Katidakanlah, “Tidaklah perlu bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat).” Katakanlah, “Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu.” Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya? (QS. Yunus [10]: 15-16).

Rumusan argumentasi firman di atas ini adalah: jika memang orang-orang mengira teks teristimewa Al-Qur'an itu merupakan produk pikiran manusia, maka sesuai kapasitasnya sebagai manusia, mereka juga semestinya bisa mencipta sesuatu yang

p: 183

baru yang sepadan Al-Qur'an. Jika tidak bisa mewujudkannya, maka suka atau tidak mereka, sesuai hukum akal, harus mengakui bahwa kitab suci ini adalah wahyu Ilahi, sebab hanya Tuhan Yang Mahatahu segala sesuatu mampu mencipta kalam sedemikian sempurna yang semua manusia tidak mampu membuat padan- annya. Dalam medan inilah manusia, atas dasar berbagai segi keterbatasan eksistensi dirinya yang tidak terelakkan menemui jalan buntu. Kalau tidak demikian, maka sehebat dan secanggih apa pun skala pengetahuan lazim manusia tidak akan menutup medan penelitian dan penyelidikan semua orang peluang meraih keunggulan senantiasa terbuka lebar bagi peneliti.

Bertolak dari rumusan di atas, jawaban atas sebuah kerancuan intelektual akan tampak jelas, yakni berdasarkan segi- segi perbedaan individual dan beragam potensi setiap manusia, maka tantangan Al-Qur'an itu menjadi tidak lagi berarti, karena tidak ada satu pun adikarya ilmiah, industri, dan sastra yang bisa direproduksi dan diserupai, dan di setiap bidang ilmu akan ditemukan tokoh-tokoh yang tidak terungguli.

Dari keterangan di atas, jelas bahwa ada banyak perbedaan antara produk yang dinilai manusia sejenis hasil karyanya dan sejauh kapasitas manusiawinya bahkan yang tertinggi, terbesar sekalipun sehingga tidak ada orang lain yang dapat membuat padanannya dengan produk yang pada hakikatnya bukan sejenis hasil karya manusia dan melampaui kapasitasnya.

Tidak seorang pun dari kalangan pakar setiap bidang pernah mengklaim bahwa dirinya orang yang terakhir berbicara di bidang spesialisnya, dan tidak akan ada seorang pun selain

p: 184

dirinya yang bisa mencipta serupa karyanya. Akan halnya tanda dan mukjizat para nabi, dalam kapasitasnya sebagai argumen pembukti kenabian, adalah sejenis realitas yang melampaui batas kemampuan insani, dengannya manusia ditantang, dan diajukan sebagai tanda suatu Kekuasaan di luar jangkauan manusia.

MUKJIZAT DALAM LINTASAN SEJARAH Abad X Abdurrahman bin Abu Bakar, Jalaluddin Suyuthi (849- 921 H), pemilik banyak karya seperti Al-Itqan fi Ulûm Al- Qur’an, Al-Durr Al-Mantsûr fi Tafsîr Al-Qur'ân, Al-Jami' Al-Shaghîr, dan Mu'tarak Al-Qur’ân fi I'jaz Al-Qur’ân.(1) Buku terakhir ini dikarang khusus membedah tema kemukjizatan Al-Qur'an. Banyak topik ilmu Ma'ani-Bay- an dan beragam aspek filologis Al-Qur'an yang diangkat Suyuthi sebagai dimensi-dimensi kemukjizatannya.

Pada hematnya, kemukjizatan Al-Qur'an terletidak pada koherensi kata, kecermatan, simplisitas (keringkatan), keindahan sastra yang luar biasa, gaya bahasa yang memukau, lirik prosa yang khas, aneka penyisipan, akhir setiap tema, dan narasi ilustratif adalah beberapa aspek dari kemukjizatan Al-Qur’an. Demikian pula pengaruh kuat terhadap jiwa pendengar, kesegaran, cita rasa manis yang terus melekat, dan aktualitas Al-Qur'an yang tidak pernah habis telah diyakini Suyuthi sebagai aspek-aspek yang tidak tergantikan.(2)

p: 185


1- 20. Karya ini diterbitkan dengan penelitian Ali Muhammad Bajawi oleh Penerbit Dar Al-Fikr, Kairo.
2- 21. Al-Itqân fi 'Ulûm Al-Qur’ân, berbagai tema kesusastraan bahasa Al-Qur'an, dan juga bagian khusus tentang mukjizat.

Abad XIII Pada abad ini, penelitian khusus dan menonjol mengenai kemukjizatan Al-Qur'an tidak terlihat selain karya teologis dari pakar ternama Syi'ah, Sayyid Abdullah Syubbar, kenti tentu saja ada sejumlah nama pengarang yang menekuni tafsir Al-Qur'an. Di dalam pendahuluan karya tafsirnya dan tafsiran tentang ayat-ayat tantangan (tahaddi), dia mengemukakan beberapa poin penting seputar kemukjizatan Al-Qur'an. Syubbar, seperti juga Syaukani dalam Fath Al-Qadîr, Alusi (1270 H) dalam kitab tafsirnya, dan Syekh Ismail Haqqi Bursi dalam Miftâh Al-Tafâsîr, berkeyakinan bahwa kemukjizatan Al-Qur’an ditandai dengan keindahan sastra yang tinggi, keutuhan lirik, dan kekokohan makna.

Muhammad bin Ahmad Iskandarani juga salah satu pakar yang dapat kita kemukakan namanya pada abad ini. Dari pandangan pribadinya, dia berupaya memperlihatkan kepaduan dan koherensi antara konsep- konsep Al-Qur'an dan ilmu-ilmu empiris serta fisika.

Dengan cara itulah dia lalu membuktikan keagungan Al-Qur’an secara tidak langsung. Beberapa karya Is- kandarani adalah Kasyf Al-Asrâr Al-Nûrâniyyah, Tibyân Al-Asrâr Al-Rabbâniyyah fi Al-Nabâtât wa Al-Ma'âdin wa Al-Khawashsh Al-Hayawâniyyah, dan Al-Barâhîn Al- Bayyinah fi Haqâ'iq Al-Hayawânât. Walaupun demikian, metode yang ditempunnya dia atas tadi masih perlu dianalisis secara serius.

p: 186

Sayyid Abdullah Syubbar (1242 H) dalam karya teologisnya, Haqq Al-Yaqin, memaparkan hal-ihwal kemukjizatan Al-Qur'an secara terperinci. Tepatnya, setelah memilih pandangan kemukjizatan Al-Qur'an dan menyanggah teori Sharfah, dia mengatakan bahwa kemukjizatan Al-Qur'an pada hakikatnya terefleksikan dalam berbagai dimensi, di antaranya:

- Meskipun tersusun dari rangkaian huruf abjad dan kata-kata yang dimiliki manusia, akan tetapi manusia itu sendiri tidak mampu membuat yang serupa dengan Al-Qur'an.

Tuturan dan bahasa akan menampilkan nilai dan keunggulannya tatkala berada di tengah tuturan dan sastra bahasa yang paling fasih dan paling indah.

Gaya dan lirik indah Al-Qur'an, dibanding karya tulis kaum sastrawan, bait puisi para penyair dan kata-kata mutiara orang-orang bijak, benar-benar tidak tertandingi. Derajat kualitas ini saja sudah memadai bagi orang-orang kafir untuk menyebut Al-Qur'an sebagai sihir, karena kitab ini memikat hati dan menusuk kedalam jiwa.

Dengan aneka topik yang mengisi bidang-bidang yang luas, dalam Al-Qur’an tidak ada gejala inkonsis- tensi, baik literal (lafzdi) maka ini sama artinya dengan kehilangan nilai keindahan dan kefasihan maupun kontensi dan kandungan. Justru sebaliknya, statemen dan gagasan apa pun dari manusia, terutama

p: 187

sekali dengan keluasan bidang dan ragam topik, tidak bisa terjaga utuh dari inkonsistensi dan kontradiksi.

Al-Qur’an mencakup pengetahuan-pengetahuan agung tentang Zat dan Sifat Tuhan yang mence- ngangkan para filosof dan kaum teolog.

Al-Qur’an mencakup serangkaian norma kesantunan, anggaran dasar hidup yang kokoh, dan sebuiah jalan yang lurus dalam mengelola masyarakat, kehidupan dunia maupun akhirat.

Al-Qur’an menyingkapkan sekian peristiwa misterius dan rahasia terselubung yang tidak tersentuh daya manusia seperti kisah Ashabul Kahfi, kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidhir, kisah Dzulqarnain, Nabi Ibrahim as, Nabi Luth, Nabi Yusuf as dan lain sebagainya.

Al-Qur’an menyingkapkan rahasia-rahasia tersembu- nyi dalam jiwa manusia yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Yang Mahatahu akan alam gaib; bagaimana kitab suci ini membongkar niat dan motif buruk kaum munafik dan orang-orang kafir serta berbagai konspirasi mereka terhadap Nabi SAW.

Al-Qur'an memberitakan kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa datang.

Al-Qur'an senantiasa segar, aktual, tidak pernah usang di sepanjang masa dan pengulangan bacaan dan telaah.(1) ***

p: 188


1- 22. Haqq Al-Yaqîn fi Ma'rifah Ushûl Al-Din, jld. 1, hlm. 112.

5.Fenomena dan Dimensi Mukjizat

Point

Dalam bab ini akan dibahas segi apakah yang mengistimewakan Al-Qur’an sebagai mukjizat. Rumusan persoalannya adalah:

anasir apa saja yang ada dalam Al-Qur'an yang merupakan faktor kemukjizatannya? Apakah mungkin keistimewaan ini didefinisikan sebatas keistimewaan tertentu? Apa yang bisa dipahami dari Al-Qur'an? Apakah kitab suci ini menyatakan tegas faktor kemukjizatannya hanya pada satu dimensi dan aspek tertentu saja ataukah tidak? Adalah mengherankan sekali manakala Al-Qur'an sendiri, selain menyebutkan tema umum “tidak adanya inkonsistensi” di antara ayat-ayatnya, juga tidak mendefinisikan aspek tertentu dalam masalah kemukjizatannya, seakan ia tidak membatasi subjek ini hanya pada aspek tertentu.

Justru ia memercayakannya kepada nalar aktif manusia. Dan memang demikianlah kenyataannya: kita tidak bisa membatasi kemukjizatan Al-Qur’an hanya pada aspek tertentu.

p: 189

Walaupun demikian, kemukjizatan Al-Qur'an bisa dipandang sebagai realitas yang memiliki keistimewaan lahiriah dan batiniah yang, dari satu sisi, mengarah pada nalar dan daya pikir manusia, dan dari sisi lain, membidik hati dan indra manusia. Jadi, tidak hanya indra dalam, keistimewaan itu juga menggugah indra luar.

^190.jpg

1. Struktur Dasar Lahiriah Ayat Al-Qur'an

Lebih dari sebatas pemikiran, agama juga bersentuhan dengan emosi dan hati manusia. Al-Qur'an yang merupakan manifestasi dari keindahan tiada tara Allah yang Maha Penyayang; kalimat wa li-Allâh al-asmâ’al-husnâ,(1)selain memiliki muatan sastra yang sangat tinggi, adalah kaya akan segala keindahan dan pesona tidak terhingga yang membuat jiwa dan sukma audiensi jatuh mabuk dan terbuai. Menurut kesaksian sejarah dan pengakuan para pakar sastra, dari kawan maupun lawan, teks Al-Qur'an tidak tertandingi dari aspek kefasihan dan keindahan bahasa.

p: 190


1- 1. Sesungguhnya pada Allah-lah nama-nama terbaik (QS. Al-A'raf [7]: 180).

Struktur dan sintaksis setiap kalimatnya benar-benar model baru dan monumental; tidak pernah ada sebelum dan sesudahnya.

Lisan penutur kebenaran, alunan syahdu penawan hati, kabar gembira penyejuk jiwa, dan peringatan penggugah kesadaran telah menyingkapkan sewujud wajah dari Al-Qur'an yang membuat kagum seluruh ahli sastra seraya berkata, “Ini bukanlah buku puisi, bukan pula buku prosa; tetapi Al-Qur'an hanyalah Al-Qur’an.”(1) Turunnya Al-Qur’an bertepatan dengan era memuncaknya peradaban Arab di bidang sastra. Para seniman dan sastrawan di bulan-bulan haram menampilkan karya-karya seni mereka di bidang budaya dan sastra di festival kebudayaan era itu. Satu di antaranya adalah pasar seni Ukazd.(2) Para juri sastra menyeleksi dan memperkenalkan produk sastra terbaik dari tokoh-tokoh seni. Pilihan terbaik akan dipampang di dinding Ka'bah sehingga menjadi kebanggaan tersendiri untuk para penciptanya. Tujuh syair masyhur pada zaman itu dikenal dengan sebutan Mu'allaqât Sab', yaitu karya-karya dari Amru Al-Qais, Tharaf bin Al-Abd, Zuhair bin Abi Salma, Lubaid bin Rabiah, Amr bin Kultsum, Antarah bin Syidad dan Haris bin Hillizah.(3) Tujuh karya syair itu merupakan syair-syair terbaik di masanya: sedemikian rupa hingga tidak ada ucapan yang bisa menan-dinginya. Kumpulan syair itu adalah karya sastra terhebat dan nilai seni tertinggi bangsa Arab pada zaman itu. Ketika Al-Qur’an diturunkan dan irama syahdunya sampai ke telinga kalangan sastrawan, daya sihir pola penyampaiannya dan atmosfer estetikanya membuat hati

p: 191


1- 2.Mirât Al-Islâm, hal 144.
2- 3. Salah satu pasar di era Arab Jahiliah yang berlangsung setiap tahun selama dua puluh hari, tepatnya dalam bulan Dzul dah.
3- 4. Amru Qais, Abu Haris Hunduj bin Hijir Al-Kindi, adalah seorang penyair gazal ternama di era Jahiliah; sepertinya lahir pada tahun 500 M dan wafat pada tahun 540 M. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum Asad. Lantaran ayahnya tewas dibunuh, dia bangkit berontak untuk merebut posisi kepemimpinannya, akan tetapi dia [kalah] dan melarikan diri dari Munzir bin Maussama’, lalu meminta perlindung- an kepada Samuel bin Adiya, seorang Yahudi yang memiliki status terpandang di kalangan masyarakat Arab. Dia juga meminta pertolongan dari kaisar Romawi. Sebaliknya, sang kaisar juga sangat menghormatinya hingga mempercayakan negeri Palestina kepadanya. Namun, tidak lama setelah itu, penyair ini menderita penyakit hilang ingatan, dan dalam keadaan itulah dia lalu meninggal dunia. Koleksium syair Amru Qois untuk pertama kalinya dicetak di Paris pada 1877. Yang paling terkenal dari syairnya adalah bait-bait yang dipasang di dinding Ka'bah, dibuka dengan bait: Duhai musafir, barang sesaat berhentilah tuk mengingat sang penjamu dan kekasih Di hadapan rumahnya di antara pepasiran menangislah dengan penuh kesabaran Tharfa bin Abdu bin Sofyan bin Saad adalah seorang penyair ternama Jahiliyah, berasal dari keturunan bangsa- wan. Lahir di Bahrain pada 543 M dan meninggal dunia pada 569 M. Setelah kehilangan seluruh kekayaannya, dia berkhidmat kepada raja Hirah, Amr bin Hind. Sebagai penyair, Tharfa melantunkan pujian-pujian untuk sang raja. Namun, tidak lama berselang, sang raja murka kepadanya hingga tewas dibunuh pada usia dua puluh enam tahun. Syairnya yang dipampang di dinding Ka'bah dibuka dengan bait: Di sahara yang penuh krikil Tsahmad terhiasi aneka kemah-kemah Seperti indahnya butir-butir tahi lalat yang menghiasi telapak tangan Zuhair bin Abi Salma Muzani adalah seorang penyair Arab Jahiliah yang hidup antara tahun 530 dan 627 M. Hampir semua orang dari kabilahnya adalah penyair hebat. Zuhair sendiri juga seorang lelaki yang pandai, berjiwa bersih, cinta kedamaian dan ketenangan, maka dia pun selalu menghindari peperangan. Oleh karena itu, dia menyanjung Haram bin Sinan Dzubyani karena usahanya dalam memprakarsai perjanjian damai antara Abs dan Dzubyan. Di dalam syair Zuhair bertaburan butir-butir nilai kebijakan dan nasihat. Itulah sebabnya dia lalu dikenal sebagai sang pujangga bijak. Untuk pertama kalinya, koleksium syairnya dipublikasikan di London pada 1870. Bait pertama syairnya yang terpampang di dinding Ka'bah adalah: Apakah di tanah luas Darraj dan Mutatsallim ini tidak ada petunjuk di mana rumah Ummu Aufa Tidak adakah teman kasihku sehingga dengannya bercakap Labid bin Rabiah Amiri adalah seorang penyair Jahiliah. Ayahnya bernama Rabiah Muktarrin, termasuk orang Arab yang sangat dermawan. Paman dari garis ibunya bernama Mulaib Assinah yang terkenal sebagai pemberani kabilahnya. Lubaid mewarisi kewibawaan dan kemurahan hati dari ayahnya dan keberanian dari pamannya. Dia hidup semasa Rasulullah; bersama kaum Amir datang menemuinya lalu beriman kepadanya sehingga memutuskan untuk meninggalkan syair-syair Jahiliah dan beralih ke pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Dia wafat pada 41 H di masa awal kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Syair termasyhurnya adalah bait-bait yang terpampang di dinding Ka'bah yang dibuka dengan bait: Pabila Rumah seorang kekasih terlewati setapak dan lamban *Tuk dicapai ‘kan jadi hancur salam pisah bagimu, hai tanah Mina! Kala tlah sampai di kaki gunung Ghawl dan Rujam tentangnya hilangkan segala kenangan Amr bin Kultsum Malik Taghli adalah penyair ternama lain di era Jahiliah yang termasuk dalam tujuh penyair yang syair mereka dipampang di dinding Ka'bah. Dia menjadi pemimpin kabilah pada usia lima belas tahunan. Karena kegagalannya dalam menuntaskan perkara pertikaian antara Taghlib dan Bakr di hadapan Amr bin Hind, dia keluar dari sidang dalam keadaan marah sampai akhirnya dia membunuh Amr bin Hind dalam suatu majelis karena orang ini telah menghina ibunya. Syair termasyhurnya dibuka dengan bait: Wahai pemberi air, pagi telah tiba, bangkitlah dari tidur dan penuhilah Kendi airmu yang jernih dan segar jangan pisahkan kami dari minuman Antarah bin Syidad Absi adalah penyair ulung Jahiliah yang, menurut sebuah riwayat, lahir pada 525 M dan wafat pada 615 M. Ibunya seorang budak dari Habasyah, dan ayahnya bangsawan Bani Abs. Karena ibunya berstatus budak, ayahnya tidak mengakuinya sebagai anak kandung- nya, lalu dia diperlakukan layaknya budak oleh ayahnya sendiri. Antarah juga seorang pemberani dan pujangga yang sangat terampil. Diriwayatkan suatu hari, Bani Abs diserang kelompok asing. Ayahnya berteriak padanya, “Hai Antarah! Seranglah mereka!” Dia menjawab, “Aku hanyalah seorang budak: tidak ada budak yang akan menyerang musuh!" Sang ayah berkata, “Mulai saat ini, engkau aku bebaskan!”. Setelah itu, dia menyerang musuh sampai berhasil memukul mundur mereka dan mengambil harta rampasan perang. Dalam hidupnya, Antarah jatuh cinta pada putri pamannya yang bernama Ablah. Bait-bait syair yang tercipta darinya adalah luapan kecintaannya pada sang kekasih. Salah satu bait pertama dari syairnya berbunyi: Masihkah tersisa selirik syair lantunan dari adiluhung syair Hai penyair, telahkah kau temui rumah kekasihmu usai perjalanan panjangmu? Haris bin Hillizah Yasyakruya Bakri juga seorang pe- nyair terkemuka Jahiliah. Syair terbaiknya adalah bait-bait yang menembus deretan syair yang dipampang di dinding Ka'bah. Bait-bait itu dicipta untuk menjawab syair Amr bin Kultsum di hadapan raja Hirah, Amr bin Hind. Syair itu pula yang lalu menjadi kebanggaan kabilahnya. Syair Haris merupakan syair terbaik yang dirancang dengan metode seni lawan bicara. Syair yang dinisbatkan kepadanya dipublikasikan untuk pertama kalinya pada 1922. Bait pertama dari syairnya adalah: Asma berkata, “Suatu saat kan berpisah dari kita.” betapa banyak orang yang kehadirannya awal kehinaan. Tapi adakah orang yang bosan pada Asma?!

dan pesta berada di bawah pengaruhnya, sampai-sampai pusat karya sastra mereka redup, peluang unjuk diri dan tetap eksis menjadi sirna: Thala'a al-shabâh fa athfa'a al-qindîl.(1) Namamu Quran, duhai bukti Ahmad dari cahaya Arasy keabadian kau tercipta Lampaui segala kata kalimat sesat begitu pula para penganutnya Dengan taubat al-hamdu(2) kau singkirkan tidak ubahnya kala Samiri kau sirnakan.(3) Lubaid adalah nama besar lain dari jajaran penyair terkemuka Arab dan pemilik salah satu dari tujuh syair terbaik yang dipampang di tembok Ka'bah. Tatkala mengenal Al-Qur'an Muhammad saw, dia begitu sangat mengagumi ayat-ayatnya sehingga membuatnya mengambil keputusan untuk tidak lagi menulis syair dan menghabiskan kesempatan apa pun yang ia peroleh untuk senantiasa membaca Al-Qur'an. Saat ditanya, “Kenapa kamu tidak lagi mencipta syair?”, dia menjawab, “Kehadiran Al-Qur'an membuatku tidak lagi berhasrat mencipta syair. Jika demikian nilai sebuah kata, maka semua kata-kata kita hanyalah kelakar. Aku menikmati sekelumit dari Al-Qur'an, hingga aku tidak kenal ucapan yang lebih unggul darinya.” Walid bin Mughirah Makhzumi adalah penyair paling disegani di kalangan bangsa Arab. Dia dikenal juga dengan juluk- an Raihana Arab 'bunga harum bangsa Arab'. Dia juga tampil sebagai pemuka para sastrawan di kalangan kaum Musyrikin.

p: 192


1- 5. Kala matahari terbit, lentera tidak lagi berguna (penj).
2- 6.Maksud dari taubat al-Hamdu ialah taubatnya orang-orang zalim ketika mereka putus harapan. Ini sesuai dengan ayat 45 dari surah al-An'am (penj).
3- 7. Samira adalah pembuat patung sapi dari emas di zaman Nabi Musa as.

Pada saat mendengar firman-firman Allah, dengan segala kebencian dan kedengkian yang ia redam terhadap Rasulullah, mau tidak mau harus mengakui kalau kalam dan kalimat-kalimat ini ternyata lebih tinggi dari kalam manusia:

Demi Allah! Itu bukan sama sekali syair, bukan sihir, bukan pula celotehan orang gila. Sungguh kata- katanya dari kalam Allah ... Sungguh sarat cita rasa estetika, sungguh sarat kecemerlangan. Di puncaknya bertebaran bebuahan, di bawahnya mengalir air segar.

Dia sungguh unggul dan tidak terungguli.(1) Pernyataan Walid tentang Al-Qur'an ini menimbulkan kemarahan orang-orang musyrik Quraiys. Oleh sebab itu, mereka memaksa sang penyair untuk membuat pernyataan yang anti Al-Qur'an. Berkenaan dengan kasus ini pula, satu ayat Al-Qur'an turun:

>> Kemudian dia berpaling (dari kebenaran) dan me- nyombongkan diri. Lalu dia berkata, “(Al Quran) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu)” (Al-Mudatsir [74]: 23-24).

Utbah bin Rabiah adalah seorang bangsawan Quraisy yang mendatangi Rasulullah dengan maksud menasehati beliau agar meninggalkan dakwah dan berhenti dari mengaku diri sebagai nabi. Sebagai balasan, kepadanya Rasulullah membacakan

p: 193


1- 8. Tafsir Al-Thabarî, jld. 2, hlm. 98; Tafsîr Al-Manâr, jld. 1, hlm. 199.

beberapa ayat pertama dari surah Fushshilat. Tidak lama setelah itu, dia meninggalkan majelis pertemuannya dengan Rasulullah seraya berkata:

Kepada Tuhan aku bersumpah! Aku belum pernah mendengar ucapan seperti ini. Ucapan itu bukanlah syair, bukan sihir, bukan pula mantra dukun, akan tetapi suatu berita yang sangat dahsyat!(1) Keindahan Al-Qur'an begitu amat menakjubkan dan menyeluruh hingga membuat para musuhnya sendiri seperti:

Walid bin Mughirah, Akhnas bin Syarik, dan Amr bin Hisyam, mengendap-endap di tengah malam hanya untuk mendengarkan bacaan ayat-ayatnya.(2) Peristiwa ini juga disinggung sepintas oleh sebuah ayat:

Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan engkau (Muhammad), dan sewaktu mereka berbisik- bisik (yaitu) ketika orang zalim itu berkata, “Kamu hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang terkena sibir..." (QS. Al-Isra' [17]: 47).

Pada saat yang sama, mereka memperingatkan masyarakat agar tidak sekali-kali menyimak Al-Qur'an. Ini mereka upayakan untuk membendung pengaruh bahasa dan maknanya:

p: 194


1- 9. Ibnu Hisyam, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 331; jld. 2, hlm. 21.
2- 10. Ibid., hlm. 338; Majma' Al-Bayân, jld. 5, hlm. 387.

Dan orang-orang kafir berkata, “Janganlah kalian mendengarkan (bacaan) Al-Qur'an ini dan ketika Al-Qur'an dibacakan buatlah kegaduhan dan kericuan, mungkin dengan cara ini kalian dapat menang (QS.

Al-Fushshilat [41]: 26).

Nilai estetis bahasa Al-Qur'an dan dayanya menaklukkan jiwa tidak terbatas hanya pada masa-masa awal ia diturunkan. Ini yang juga dirasakan, bahkan sekarang pun, oleh para sastrawan Arab dan nonArab seperti: Michael Naimah, Gibran Khalil Gibran, George Jordac. Goldziher menuturkan:

Tidak ada karya sastra di dunia ini yang menyamai kekaguman hebat dan luar biasa yang diciptakan Al-Qur'an.(1) John Davenport menuliskan:

Dari segi seni sastra, Al-Qur'an adalah karya puisi yang paling melodius dari dunia Timur; dalam kandungan prosa dan ritme, ia paling kaya akan kefasihan bahasa, keindahan melodius, dan model paling unggul dalam sastra Arab, sarat dengan analogi paling ekspresif serta kiasan paling kokoh. Sihir dan pesona yang digunakan dalam gaya ungkapannya, kelembutan dan kesegarannya membangkitkan sanjungan dan kekaguman bangsa Arab. Dengan gema ayat-ayatnya

p: 195


1- 11. Al-Aqîdah wa Al-Syari'ah fi Al-Islâm, hlm. 41.

(Laut segenap kata mulia itulah kalam Allah, sarat aneka mutiara dan intan berharga, Di dasar laut segala mutiara dan intan hai penyelam, di atas pantai laut apa yang kau cari!) ia melukiskan betapa alam malakut Ilahi.

Irama dan kalimatnya dalam menggambarkan surga dan neraka menggetarkan hati .... (1) Sayyid Quthub mengatakan:

Yang terutama dari upaya saya di bidang Al-Qur’an ialah bagaimana menampilkan aspek artistik dan nilai-nilai sastranya, dan mencapai pemikiran dan keindahannya yang terpendam ... Menurut saya, melalui jalur ini pula pada mulanya bangsa Arab pun berada dalam medan daya tarik ketinggian seni Al-Qur'an, dan pola ungkap yang sedemikian indah hingga menembus lapisan bawah naluri dan membangkitkan jiwa mereka.(2) Laut segenap kata mulia itulah kalam Allah sarat aneka mutiara dan intan berharga Di dasar laut segala mutiara dan intan hai penyelam, di atas pantai laut apa yang kau cari! Nasir Khosrou

p: 196


1- 12. “Udzr-e Takshîr dar Pisgah-e Muhammad va Qur'on, hlm.91 Eslom az didgoh Doneshmandon-e Gharbi, hlm. 42.
2- 13. Masyahid Al-Qiyamah ſi Al-Qur’ân, hlm. 10.

Keindahan Lahiriah Al-Qur'an Suatu bangunan yang kokoh adalah bangunan yang tahan sekaligus indah, hasil dari komposisi bahan-bahan material berkualitas tinggi, lahir dari kreasi cerdas arsitektur yang hebat hingga tegak megah dengan kerangka sesempurna mungkin.

Demikian pula kaitannya dengan struktur bahasa. Ketika huruf dan kata yang merupakan unsur-unsur pembentuk kalimat itu memiliki kekokohan dan dipilih serta disusun secara teliti, tepat, relevan dan koheren, pasti ia akan menciptakan suatu bahasa yang fashîh (enak dan memikat), baliqh (indah), serta badi” (kreatif).

Dari segi intonasi, warna bunyi dan artikulasi (pelafalan) huruf memiliki kekhasan masing-masing dan, atas dasar ini, terbagi menjadi beberapa macam:

Sebagian huruf disebut Musta’liyah yang diartikulasikan dengan suara yang cenderung tinggi dan berat seperti: huruf Shâd; sebagian disebut Mustafillah yang diartikulasikan dengan suara rendah dan tipis seperti: huruf Sîn; sebagian disebut Mahmusah yang diartikulasikan mendesah hingga seakan- akan substansi suaranya lenyap seperti: huruf Ha'; sebagian disebut Majhurah yang diartikulasikan dengan suara keras dan padat seperti: huruf Jim; sebagian disebut Syadidah yang diartikulasikan dengan suara kuat seperti: huruf Dal; sebagian disebut Khurdah yang diartikulasikan dengan suara lemah dan perlahan seperti: huruf Dzal; sebagian huruf justru diartiku- lasikan dengan di antara dua keadaan (kuat dan lemah) seperti:

huruf Zay; sebagian disebut Muthabbaqah yang diartiku-lasikan

p: 197

seolah suara yang tersendat seperti: huruf Thâ'; sebagian disebut Munfatihah yang diartikulasikan dengan lidah terbuka dan suara keluar dengan bebas seperti: huruf Tâ'; sebagian disebut Mudzlaqah yang diartikulasikan dari tepi bibir dan lidah dengan ringan seperti: huruf Lâm; sebagian disebut Mushammatah yang diartikulasikan dengan agak berat seperti: huruf Bả; sebagian huruf diartikulasikan dengan memantul dan berguncang seperti:

huruf Qâf, sebagian diartikulasikan dengan suara bersiul seperti:

huruf Shâd; sebagian diartikulasikan dengan lidah pecah seperti:

huruf Syîn; sebagian diartikulasikan dengan getaran seperti: huruf Râ'; sebagian diartikulasikan dengan lidah terangkat seperti:

huruf Dhâd; sebagian diartikulasikan dengan suara kuat dan tinggi seperti: huruf Hamzah; sebagian diartikulasikan dengan suara pecah seperti: huruf Khâ; sebagian diartikulasikan dengan suara seakan tersendat di kerongkongan semirip huruf Hà sebagian diartikulasikan dengan suara mendengung seperti: huruf Nûn; sebagian diartikulasikan dengan suara yang lembut seakan tertarik panjang seperti: huruf Ya', demikian seterusnya .... (1) Yang baru saja disimak secara singkat dan sambil lalu hanyalah sekelumit contoh dari ketelitian karakter setiap huruf yang terdapat dalam sumber-sumber fonologis Muslimin, yakni buku-buku Tajwid dan Qira'ah, dan dalam karya-karya sastrawan Muslim seperti: Sibaweih (177 H), Ibnu Duraid (321 H), Rammani, Baqilani, Khafaji, Baidhawi (685 H), Ibnu Jazari (833 H) dan nama-nama besar yang lain. Sekarang pun, seiring dengan kemajuan signifikan ilmu bahasa dan fonologi serta dukungan sarana elektronik, para ilmuwan masih saja angkat

p: 198


1- 14. Dr. Abdullah Darraz mengatakan, “Seseorang akan mencecap kenikmatan, bahkan merasakan getaran yang dahsyat manakala telinga tersentuh ketukan huruf-huruf Al-Qur’an, yang keluar dari makharij yang irit, berupa sistematika, penggabungan dan penataan letak masing- masing huruf: ada huruf yang mendetak; ada yang bersiul; ada yang mendesir; ada yang mengeras bening; ada yang lepas seiring nafas; ada yang menyendatkan nafas, sehingga Anda akan menyaksikan keindahan irama menjelma di hadapanmu dalam kumpulan unit yang beragam namun terpadu utuh ... Ya, dari busana baru nan elok ini terwujud keindahan teks Al-Qur'an. Fungsi lapisan luar ini tidak lain adalah sederajat fungsi kerang yang me-ngandung mutiara berharga ....” (Al-Binâ’Al-Adzîm, hlm. 94).

topi terhadap upaya-upaya berharga para penganut Al-Qur'an.

Segenap penelitian luas terdahulu hingga studi ilmiah, teliti dan mendalam hari ini di bidang ilmu bahasa serta anasir hidup kata dan kalimat: semua ini tampak jelas membuktikan fakta betapa diksi dan komposisi huruf itu sungguh berpengaruh luar biasa pada ungkapan penutur dan artikulasi kata, juga menyimpan daya pesona yang menawan hati atau, sebaliknya, berdaya tolak membangkitkan kebencian pendengar, dan juga berdampak kuat dalam asosiasi makna.

Bertolak dari sudut pandang ahli sastra-bahasa, warna bunyi sebagian kata dan irama kalimat Al-Qur'an terasa bagaikan suara air terjun dan desir angin pagi di musim semi: sungguh memikat hati dan mencipta kedamaian jiwa. Kelembutan melodius, keseutuhan huruf, keseimbangan dan kepaduan sintaksis, aliran nada yang frekuentif mendawai sanggup menampilkan simfoni indah dan melodi agung, serta menciptakan gema dahsyat yang tiada tara dalam pendengaran audiensi.

Mengingat karakter setiap huruf itu memiliki efek yang khas dan membangkitkan emosi bahagia atau benci, maka harus benar-benar cermat dalam mengomposisi huruf dan memerhatikan karakter tiap-tiap huruf, sehingga artikulasi kata-kata tercecap begitu melodius dan menggairahkan, juga terjaga utuh dari disonansi dan rigiditas. Sebagai manifestasi ilmu absolut Allah terhadap segenap rahasia, “Dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS. Maryam [19]: 64), Al-Qur'an telah memenuhi segenap keistimewaan secara sempurna, menempatkan setiap

p: 199

huruf dan kata pada setiap posisi dari kalimat-kalimatnya. Ber- ikut beberapa contoh di antaranya:

Orang Arab menggunakan kata ajur(1) atau qormad dalam percakapan, tetapi Al-Qur'an tidak memandang tepat kedua kata ini mana-kala ingin menyampaikan makna mereka. Dengan tidak memakai dua kata ini, sesungguhnya Al-Qur'an telah mengubah struktur kalimat dan menyebutnya sebagai tanah liat yang sudah matang:

... Maka bakarkanlah untukku tanah liat untukku, wabai Haiman, (untuk membuat batu bata yang kokoh), kemudian buatkanlah bangunan yang tinggi untukku hingga aku dapat naik melihat tuban Musa..... (QS.

Al-Qashash [28]: 38).

Atau, dalam menjawab afirmatif “iya” atas suatu pertanyaan, bangsa Arab mempergunakan kata na’am dan balâ, namun masing-masing punya posisi yang khas. Bala dipergunakan dalam menanggapi pertanyaan “apakah” dengan elemen hamzah istifhâm dan disertai kandungan negatif, sehingga menghasilkan pernyataan afirmatif.

(Allah berfirman), “Apakah Aku bukanlah tuban kalian?" Mereka mengatakan, “Iya, Engkau adalah Tuhan kami .... (QS. Al-A'raf (7]: 172).

p: 200


1- 15. Dua kata di atas bermakna batu bata dan penerj.

Ini berbeda dengan kata jawab ná’am yang dipergunakan untuk menanggapi pertanyaan “apakah” dengan elemen hal istifham:

"... Apakah kamu telah memperoleh apa yang dijanjikan tuhanmu adalah benar?" Mereka mengatakan, “Iya ..." Penghuni surga bertanya kepada penghuni neraka, “Apakah yang Allah katakan tentang neraka adalah suatu hakikat?” Mereka menjawab, “Iya." (QS. Al-A'raf [7]: 44).

Paling banyaknya kata dan panjangnya kalimat dalam Al- Qur’an dengan huruf-huruf yang bersambungan (mutawâliyah) seperti: Fasayakfikahum-Allâh (QS. Al-Baqarah [2]: 137), La yastakhlifannahum fi al-ardh (QS. Al-Nur [24]: 55), 'alû umam-in mimman ma'ak (QS. Hud [11]: 48), benar-benar saling menciptakan sistematika, keseu-tuhan, tanpa mengesankan disonansi. Komposisi huruf, perangkaian kata dan sintaksis kalimat tampak sebegitu kokoh, sesuai, dan membuai hingga memancarkan keagungan fonetika yang indah dalam ayat- ayatnya. Zamakhsyari, misalnya, sekaitan dengan ayat Wa laqad makkannâhum fimâ in makkannâkum fih (QS. Al-Ahqaf [46]:

26), mengatakan, “Elemen kata negatif in nafiyah dalam ayat ini bermakna mâ, namun lebih dipilih daripada elemen negatif yang belakangan ini. Pemilihan itu menunjukkan sebuah keagungan dari nilai estetika.”(1)

p: 201


1- 16. Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, jld. 4, hlm. 308.

Diksi-diksi Indah Kitabullah Penempatan dan pemilihan unit-unit kalimat seperti: huruf, kata benda, kata ganti, relasi-relasi kata kerja, terlaksana sedemikian cermat dan terukur hingga tidak seorang pun akan sanggup membuat padanannya. Kata kegelapan (zdulumât), yang meliput berbagai model dan corak kesesatan, dipilih dalam bentuk plural, sementara kata cahaya (nûr), yang merupakan kiasan untuk jalan yang lurus dan hidayah Ilahi, dipakai dalam bentuk tunggal:

Allah pelindung orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan (zdulumât) kepada cahaya (nur). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah penguasa zalim, yang mengeluarkan mereka dari cahaya (nûr) kepada kegelapan-kegelapan (zdulumât). (QS. Al-Baqarah [2]: 257).

Kalimat-kalimat kesusastraan Al-Qur'an mencerminkan lapisan-lapisan distingsi yang amat tipis, sarat nilai kebijakan yang mencengangkan kalangan sastrawan. Ini tampak dalam salah satu ayat:

Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berbeda di atas kebenaran atau di dalam kesesatan yang nyata (QS. Saba' [34]: 24).

Dapat diamati bagaimana dalam ayat ini, kata kebenaran (hudan) dirangkai dengan kata sambung ‘alâ yang berarti “di

p: 202

atas”, sedangkan kata kesesatan (dhalâl) dengan kata sambung fi yang berarti “di dalam” untuk menampilkan makna spasi, keterperosokan dan ketelantaran. Jelas, kata sambung pertama amat tepat dirangkaikan dengan kebenaran dan kata sambung kedua dengan kesesatan. Atau, meminjam ungkapan Zamakh- syari, manusia yang benar seumpama penunggang kuda tangkas:

akan membawanya ke manapun dia suka. Akan halnya manusia yang sesat, terperosok dalam lembah gelap hingga tidak tahu ke arah mana dia hendak bergerak.(1) Demikian ini juga tampak pada dua sifat untuk keadaan tanah dalam dua ayat yang sama kandungannya:

Dan kamu lihat bumi ini kering (hâmidah), kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, maka bumi itu menjadi bergerak (hidup) (QS. al-Hajj [22]: 5).

Dan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya, engkau melihat bumi itu kering (khâsyi'ah), tetapi apabila Kami tu- runkan hujan di atasnya, niscaya ia bergerak .... (QS.

Fushshilat [41]: 39).

Masing-masing ayat di atas mengungkapkan atribut khasnya untuk tanah. Dalam konteks ayat pertama yang berbicara tentang Hari Kebangkitan dan dikumpulkannya orang-orang mati dan peng-huni kubur, tampak bagaimana kata hâmidah amat sesuai dipakai untuk menyatakan keadaan hening dan genting pada tanah, sementara pada ayat kedua, yang inti maknanya

p: 203


1- 17. Ibid., jld. 3, hlm. 582.

berkaitan dengan ibadah, kekhusukan dan kerendahdirian, kata khâsyi'ah amat akurat untuk menyatakan makna kepatuhan dan kerendahdirian.

Ketelitian dan kekokohan ini juga terlihat jelas manakala Al- Qur’an mengambarkan fakta sejarah dan menukilkan perkataan orang lain:

Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).

Adapun dinding rumah adalah milik dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat harta simpanan milik mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka mencapai kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu ... (QS. Al-Kahf [18]: 79-82).

Ayat-ayat ini adalah keseluruhan penjelasan tentang kawan seperjalanan sekaligus guru Ilahi Nabi Musa as. Ayat pertama mengatakan, “Adapun perahu itu adalah milik sekolompok

p: 204

orang miskin yang digunakan mencari nafkah di laut. Karena itulah aku (Nabi Khidhir) berkehendak merusaknya, karena aku tahu di belakang mereka ada raja zalim yang merampas setiap perahu yang masih bagus.” Di sini, dengan memakai kata kerja “aku berkehendak” (aradtu), ayat ini telah menisbatkan sebuah tindakan yang tampaknya tidak terpuji kepada diri Nabi Khidhir (yang diwakili dengan kata ganti “aku”), tidak kepada Allah SWT.

Ayat selanjutnya berkaitan dengan peristiwa pembunuhan terhadap seorang anak remaja. Yakni, seusai menerangkan kondisi ruhani dan keimanannya, juga keimanan ayah dan ibunya, Nabi Khidhir mengatakan, “Dan kami berkehendak agar Tuhan mereka menganugrahkan anak yang lebih saleh dan lebih penyayang untuk mereka)”. Di sini juga, dengan menyinggung aspek positif dari tindakan, yaitu harapan baik untuk kedua orang tua anak remaja itu, dan bercampurnya tindakan tersebut dengan kedua aspek: positif (harapan baik) dan negatif (pembunuhan), ayat ini mengemukakan dua dua kehendak sekaligus: kehendak Nabi Khidhir dan kehendak Allah: “Dan kami berkehendak supaya Tuhan mereka mengganti untuk mereka ....” Kemudian dalam ayat terakhir, yakni tentang pembangunan dinding yang roboh, bagaimana sebuah kebaikan mutlak tampak di dalamnya. Jadi, ayat ini hanya menyinggung kehendak Allah, “Tuhanmu menghendaki agar...”. Perhatikan contoh berikutnya:

p: 205

Dan janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin; Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka ... (QS. Al-An'am [6]: 151).

Janganlah kamu bunuh anak-anakmu karena takut akan kemis- kinan; Kami-lah yang memberikan rezeki kepada mereka dan kepadamu .... (QS. Al-Isra' [17]: 31).

Audiensi ayat pertama di atas adalah sekelompok manusia yang takut miskin hingga mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka, sebab di dalamnya digunakan ungkapan min imlâq (karena sebegitu miskinnya). Oleh sebab itu, dalam ayat ini pemberian rezeki kepada mereka didahulukan dari pemberian rezeki kepada anak-anak mereka. Akan halnya ayat kedua menjelaskan segolongan orang yang, dengan kekerasan hati, mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka karena takut menjadi miskin. Untuk itulah dalam ayat, Allah memakai ungkapan khasy-yata imlâq (karena takut miskin). Itulah sebab- nya mengapa dalam ayat ini, pemberian rezeki kepada anak-anak mereka didahulukan. Ya, audiensinya adalah segolongan orang kelompok yang bukan miskin, tetapi khawatir bila kelak anak- anak perempuan mereka tertimpa kemiskinan.

Atas dasar ini, sudah sejak lama justru para peneliti Al- Qur’an, utamanya kalangan peneliti yang menguasai aspek etimologis dan terminologis setiap kata, berpandangan bahwa setiap kata dan huruf Al-Qur’an menyimpan keistimewaan yang khas, dan sekecil apa pun perubahan dalam posisi dan

p: 206

strukturnya, sekalipun secara lahiriah tampak similar dan sinonim, akan berdampak pada keutuhan maknanya.

Dalam Al-Bayân wa Al-Tabyîn, Jahizd menuliskan:

Kadangkala masyarakat menggunakan lafal-lafal tanpa begitu peduli terhadap serat-serat tipis perbedaan di antara mereka. Tidakkah Anda tahu bila dalam Al-Qur'an, Allah SWT tidak mengunakan kata ju' (lapar) kecuali dalam konteks siksa, kondisi miskin, serbakurang dan tidak berdaya? Sementara masyarakat, alih-alih memakai kata saghab, menggunakan kata ju meskipun dalam kondisi mampu dan sehat. Demikian pula dengan kata mathar (hujan): Anda tidak akan menjumpai Al-Qur’an menggunakannya kecuali dalam konteks pembalasan dendam, sedangkan masyarakat umum atau bahkan kebanyakan ahli sastra tidak membedakan antara kata itu dan kata ghayts.

Sebagaimana juga diyakini Khaththabi, sastra bahasa dan seni retorikal Al-Qur'an terletak pada kekuatan kata-katanya:

jika diubah, maka akan terjadi korupsi makna secara total atau merusak keindahan dan kefasihannya. Masih menurutnya, kebanyakan orang menganggap kata-kata yang berdekatan maknanya: ‘ilm dan ma'rifah, hamd dan syukr, bukhl dan syuhh, tidaklah sama dalam mengungkap maksud. Akan tetapi, kata- kata ini yang secara lahiriah memiliki makna yang sama dan

p: 207

serupa, bila dicermati lebih teliti justru mengandung aneka distingsi yang begitu halus.(1) Abdul Qahir Jurjani, pengarang Dalâ'il Al-I'jâz, juga termasuk dari kalangan sastrawan ternama Muslim yang menekankan keindahan literal ayat, ketaktergantian kata dan keketatan sintaksis kalimat Al-Qur'an. Perhatiannya terhadap aspek-aspek ini telah menjadi sudut pandangnya dalam mencermati Al-Qur'an. Sebagai contoh, dalam menjelaskan nilai sastra dari ungkapan Wa isyta'ala al-ra's syayb-an: “Dan telah menyala kepala ini karena uban” (QS. Maryam [19]: 4), yaitu penggalan ayat yang memuat permohonan Nabi Zakaria. Jurjani mengatakan, “Selain kemurnian sastra, ketinggian retorika bahasa, dan keindahan sintaksis kalimat, ungkapan atributif ini juga mengandung butir-butir estetika yang tidak terwakili.

Sebenarnya, kalau ungkapan ini dibuat menjadi Isyta'ala syayb al-ra's atau Isyta'ala al-syayb fî al-ra's (telah menyala uban di kepala ini), maka sesuai kaidah sastra Arab, tetap saja ternilai indah dan manis. Hanya lirik dan kepaduan yang ada pada ungkapan yang pertama menghadirkan dimensi sastra yang lebih dalam dan lembut. Dari segi makna, kata isyta'ala (menyala) terkait dengan kata syayb (uban), walaupun dari segi susunan kalimat berelasi dengan kata ra's (kepala), sedangkan kata syayb (uban) ini berkedudukan sebagai sebab menyalanya kepala dan dinyatakan dalam status gramatikalnya, yakni Tamyiz, untuk menggambarkan betapa keadaan total menyalanya ketuaan itu terepresentasi pada kepala (putihnya seluruh rambut). Lebih dari itu, Allah tidak berfirman, isyta'ala ra'sî syayb-an (telah

p: 208


1- 18. Tsalâts Rasâ’il få I'jâz Al-Qur’ân, hlm. 26.

menyala kepalaku karena uban), yakni untuk menempatkan kata ro's pada status gramatikal ma’rifah yang memberinya makna definitif (tertentu), Allah tidak menerapkan elemen relasi idhâfah [dengan menggabungkan kata itu kepada kata ganti “ku” hingga menjadi ra'sî, tetapi elemen alif-lâm hingga menjadi al-ra's, karena tidaklah sama antara ungkapan “tanda-tanda ketuaan telah menyala di kepala” dan ungkapan “tanda-tanda ketuaan menyala di kepala-ku”: pada yang pertama, kualitas sastra-bahasa tampak begitu menonjol yang tidak ditemukan pada yang belakangan. Ini seperti juga penggalan ayat Wa fajjarnâ al-ardh 'uyûn-an: “Dan Kami meledakkan bumi dengan mata air” (QS.

Al-Qamar [54]: 12): kualitas sastra ungkapan ini jauh lebih unggul di atas ungkapan Fajjarnâ al-'uyûn fi al-ardh: “dan Kami telah meledakkan mata air dari dalam bumi”.(1) Raghib dalam mukadimah Al-Mufradât mengungkapkan harapannya bila suatu hari dia mengarang sebuah buku tentang kata-kata yang tampaknya sinonim, dan di dalamnya memperlihatkan adanya sekian banyak perbedaan subtil dan tipis antara makna masing-masing. Umpamanya, perbedaan apa saja yang ada di antara qalb, fuľad, dan shadr? Atau, kenapa sebagian ayat ditutup dengan ungkapan “sesungguhnya dalam hal itu terdapat bukti-bukti nyata bagi orang-orang yang beriman”, atau “... bagi orang-orang yang berpikir”, “... bagi orang-orang yang tahu”, “... bagi orang-orang yang mengerti, “bagi orang-orang memiliki mata hati”, “... bagi orang-orang yang berakal”, dan ungkapan senada lainnya.

209

p: 209


1- 19. Dalâ'il Al-Ijaz, hlm. 159.

Menguak Tabir Mukjizat Demikian juga Zamakhsyari dalam karya tafsirnya, Al-Kasy- syâf, tidak membiarkan aspek-aspek keindahan ini luput dari kejeliannya. Seperti contoh berikut:

«وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَکُمْ عَنْ شَیْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَکُلُوهُ هَنِیئًا مَرِیئًا »

Berikanlah maskawin(mabar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mas- kawin) itu dengan senang hati, maka ambillah pemberian itu (sebagai pemberian) yang bagus lagi baik akibatnya.

(QS. Al-Nisa' [4]: 4).

Zamakhsyari membubuhkan bahwa dalam ayat ini, tidak digunakan kata-kata seperti: wahabna atau samahna, untuk menekankan bahwa apa yang diberikan harus benar-benar berasal dari lubuk hati dan kepuasan jiwa.(1) Dalam menafsirkan ayat Inna syajarat-a al-zaqqům tha'âm al-atsîm(2), Zamakhsyari membawakan kisah Abu Darda yang mengajarkan Al-Qur’an kepada seorang lelaki yang tidak bisa membaca ayat ini dengan benar; dia selalu membaca dua kata terakhir ayat dengan tha'âm al-yatîm. Setelah berusaha cukup keras, akhirnya Abu Darda terpaksa mengajarinya dengan menggunakan kata yang mempunyai makna sama, yakni to'âm al-fajir. Maka bermula dari makna kata inilah lelaki itu mampu membaca ayat di atas dengan benar.

p: 210


1- 20. Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, jld. 1, hlm. 471.
2- 21. QS. Al-Dukhan [44]: 44.

Zamakhsyari menyambung kisah ini dengan peng- alaman Abu Hanifah yang, atas dasar metode Abu Darda itu, memperbolehkan pembacaan Al-Qur'an dengan bahasa Persia dengan catatan: pembaca mengungkapkan kandungan ayat secara sempurna dan tanpa ada kekurangan apa pun.

Dalam komparasi dan evaluasinya, Zamakhsyari menuliskan:

Terpenuhinya catatan (syarat) seperti di atas sebagaimana dinyatakan Abu Hanifah, sedemikian sulit terealisasi hingga bisa dikatakan Abu Hanifah sendiri sebenarnya tidak memperbolehkan pembacaan demikian itu, karena dalam percakapan Arab, ter- utama dalam Al-Qur'an yang merupakan mukjizat dalam keindahan, lirik dan gaya bahasanya yang benar-benar khas, terdapat poin-poin subtil yang tidak mungkin direpresentasikan dengan bahasa Persia.(1) Setelah itu, Zamakhsyari menambahkan:

Orang-orang yang bukan peneliti mengira bahwa semua [kata-kata sinonim dalam bahasa Arab] itu adalah sama, atau mereka menganggap bila Al- Qur’an bisa ditafsirkan dengan menukar kata-kata [sinonim), misalnya: dari hamd menjadi syukr, dari rayb menjadi syakk.

p: 211


1- 22. Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, jld. 4, hlm. 281.

Suyuthi juga menukil dari Ibnu Athiyah bahwa jika kita mengangkat satu kata dari Al-Qur'an dan mencari kata sinonim- nya dalam bahasa Arab, sungguh kita tidak akan menemukan satu kata yang bisa menggantikannya dengan tanpa merusak aspek kemukjizatan dan keluarbiasaan Al-Qur'an.(1) Dari kalangan pakar kontemporer, adalah Bintu Syathi dalam kitabnya Al-I'jâz menggarisbawahi poin penting di atas dengan membawakan sejumlah bentuk konkret dari ciri khas tuna-alternasi Al-Qur'an. Konklusinya dari beberapa bab:

“Referensi Kata-kata dan Rahasia Kata” dan “Gaya-gaya dan Rahasia Pengungkapan”, menyatakan bahwa kata-kata dan ungkapan yang terdapat dalam Al-Qur'an menyimpan rahasia yang halus dan subtil hingga kata-kata sinonim tidak saling mewakili makna literal masing-masing.(2) Tentang kata-kata alternatif yang menggantikan kata-kata Al-Qur'an, Bintu Syathi menegaskan bahwa semua lafal dan setiap huruf Al-Qur'an demikian rupa sehingga tidak bisa sama sekali diangkat lalu digantikan dengan kata alternatif lain tanpa merusak makna mereka. Bahkan, menurutnya, setiap warna bunyi, harakat (tanda bunyi bacaan), intonasi bacaan, dan apa pun suara pada Al-Qur’an juga mengandung nilai mukjizat sastra bahasa yang tinggi. (3) Salah satu contoh yang dibawakan Bintu Syathi dalam bukunya ialah kata uns:

«فَلَمَّا قَضَی مُوسَی الْأَجَلَ وَسَارَ بِأَهْلِهِ آنَسَ مِنْ جَانِبِ الطُّورِ نَارًا قَالَ لِأَهْلِهِ امْکُثُوا إِنِّی آنَسْتُ نَارًا لَعَلِّی آتِیکُمْ مِنْهَا

p: 212


1- 23. Al-Itqân, Nau’, 64.
2- 24. Al-Ijaz Al-Bayami li Al-Qurân, hlm. 193.
3- 25. Ibid., hlm. 265.

بِخَبَرٍ أَوْ جَذْوَةٍ مِنَ النَّارِ لَعَلَّکُمْ تَصْطَلُونَ »

Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang diten- tukan dan dia berangkat dengan keluarganya, dia melihat api dari arah lereng gunung, dia berkata pada keluarganya, “tunggulah (di sini) sesungguhnya aku melihat api". Mudah- mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badam. (QS. Al-Qashash [28]: 29).

Untuk mengekspresikan makna yang dimaksud ayat di atas, ada beberapa kata yang secara lahiriah bermakna sinonim, seperti abshara, nadhara, syahida. Namun, tidak satu pun dari kata-kata sinonim ini dapat mewakili makna yang dikandungi kata anisa, yaitu “melihat sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan”. Maka dari itu, ayat ini terulang tiga kali dalam Al-Qur’an berkaitan dengan kehidupan Nabi Musa as, yakni pengalaman melihat api di padang sahara yang gelap dan cuaca dingin yang sangat menggigit, tercantum dalam Surah Thaha [20]: 10; Surah Al-Naml [27]: 7; Surah Al-Qashash [28]: 29.

Di luar kerangka pengalaman Nabi Musa as, kata ini dipakai satu kali untuk menggambarkan keadaan anak-anak yatim:

«فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَیْهِمْ أَمْوَالَهُمْ »

Kemudian jika kalian melihat dari mereka (anak yatim) kede- wasaan, maka serahkanlah kepada mereka hartanya (QS.

Al-Nisa' [4]: 6).

p: 213

Dalam konteks ini pun makna yang dimaksud adalah makna yang sangat dalam itu. Yakni, tujuan semua orang seyogianya anak-anak yatim tumbuh dewasa. Untuk itu, pertama-tama, urusan mereka ditanggung penuh, dan manakala tampak tanda- tanda kedewasaan pada diri mereka, seluruh harta milik mereka diserahkan kembali kepada diri mereka. Kata isti'nâs (tasta’nisů) yang ada dalam ayat 27 surah Al-Nur juga mengungkapkan makna demikian ini.(1) Keunggulan dan ketajaman luar biasa tampak menonjol di sekian banyak bagian Al-Qur'an. Ini hanya dapat dimengerti oleh intuisi dan kecerdasan manusia. Contoh konkret lain yang menarik fokus Bintu Syathi ialah pelenyapan kata ganti mu (huruf kâf) pada surah Dhuha:

«وَالضُّحَی » «وَاللَّیْلِ إِذَا سَجَی »

«مَا وَدَّعَکَ رَبُّکَ وَمَا قَلَی»

Demi waktu dhuba (saat matahari naik sepenggalan), dan demi malam apabila telah sunyi, Tuban-mu tidak meninggal- kanmu (Muhammad) dan tidak (pula) membenci-(mu) (QS Al-Dhuha [93]: 1-3).

Demikian yang tampak pada ayat ketiga, di akhir kalimat mâ wadda'aka terdapat kata ganti orang kedua (huruf kâf) yang berstatus gramatikal sebagai objek dari tindakan (kata kerja) orang ketiga yang berbicara langsung kepada Rasulullah SAW.

Namun dalam kelanjutan ayat, terdapat kalimat wa mâ qalâ yang tidak dirangkai dengan kata ganti orang kedua sebagaimana kalimat sebelumnya. Kenapa demikian?

p: 214


1- 26. Al-Ijaz Al-Bayâni li Al-Qur'an, hlm. 257.

Dalam sumber-sumber klasik sastra Arab, sebab tidak dinyatakannya kata ganti orang kedua semata-mata dalam rangka menjaga jarak redaksial dan rima s yang terdapat di akhir setiap kata kerja dalam ayat-ayat di atas, yaitu saja, awlâ, tardhâ, ... Akan tetapi, menurut Bintu Syathi, sebab penghapusan itu lebih dari sekedar menjaga jarak dan rima redaksial. Menurutnya, selain konteks kalimat mâ wadda'aka telah cukup menunjukkan kata ganti orang kedua sehingga tidak perlu lagi untuk dinyatidakan, ada pertimbangan lain mengapa kata ganti itu tidak dinyatidakan. Yakni, mengingat konteks dialog berlangsung dalam rangka kasih sayang antara Allah SWT dan Nabi SAW, Allah tidak ingin mengatidakan secara nyata dan tegas: wa mâ qalâka, karena kata qalà ini mengandung makna penolakan, pencampakan, kemurkaan, dan kebencian yang besar.

Berbeda dengan saat kata pengganti orang kedua dinyatidakan dalam kalimat wadda'aka: tidak meninggalkan kesan negatif apa pun, karena dua orang sahabat pun menggunakan kata kerja ini dan mereka saling mengungkapkan kata perpisahan satu sama lain. Namun demikian, mereka masih tetap menaruh harapan kembali bertemu.(1) Ketelitian dan ketajaman mendalam ini dalam kalam Ilahi ini sungguh mengagumkan dan menarik perhatian khusus pengarang tafsir ternama Al-Mîzân fi Tafsir Al-Qur’ân, Allamah Thabathabai. Di awal-awal tafsirnya, tepatnya dalam tafsir surah Al-Fatihah, ia mengangkat poin ini dan mengatakan, “Dalam surah ini, pembicaraan diawali dengan bentuk kata ganti orang ketiga dalam menggambarkan sifat Allah SWT:

p: 215


1- 27. Al-Ijaz Al-Bayâni li Al-Qur'ân, hlm. 250.

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, (Dia) Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, (Dia) Pemilik bari pembalasan.

Kemudian, dari pemusatan kesadaran terhadap Tuhan, sifat agung, kekuasaan dan rahmat-Nya yang mahaluas, seorang hamba menemukan dirinya berada di tengah aula kehadiran Tuhan Yang Maha Penyayang. Atas dasar ini, pembicaraan orang ketiga (yang tidak hadir] berubah menjadi dialog langsung dalam kehadiran (fokus dari absensi ke presensi):

Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan banya kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan.

Selanjutnya, dalam konteks mengikrarkan permohonan, sang hamba meminta kepada-Nya untuk memberi segenap kebaikan dan menolak segala keburukan:

Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada- nya bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Dalam permohonan ini, pembicaraan juga berlangsung secermat dan seteliti mungkin. Ketika berbicara tentang kebaikan Tuhan kepada hamba-hamba yang saleh, maka kata kerja

p: 216

digunakan dalam bentuk aktif dan dinisbatkan kepada Tuhan sebagai subjek. Namun, manakala berbicara tentang keburukan, maka ungkapan dirangkai dalam bentuk pasif-objektif (al-magh- dhûb 'alayhim) dan ajektif aktif (dhâllîn) tanpa nisbat apa pun kepada Tuhan, karena segala kebaikan berasal dari Allah, sementara kekurangan apa pun datang dari ma-nusia.(1) Sekelumit uraian isyarat dan global tersebut di atas ini ha- nyalah selintas pandang terhadap khazanah keindahan sastra dan kefasihan Al-Qur'an yang, tentu saja, membutuhkan penjelasan yang lebih panjang lebar lagi.

Al-Qur'an, harta karun bandingkanlah dengan selain berkorbanlah demi harta karun.

Betapa orang berkorban demi harta karun jadilah korban demi harta karun Al-Qur’an.

Balaghah yang Memesona Pakar sastra bahasa mendefinisikan Balaghah demikian: penutur sedemikian rupa mengungkapkan tuturannya hingga memadai keseluruhan maksudnya, relevan dengan konteks dan kondisi pendengar, sesuai dengan situasi kejiwaan dan psikologis bahasa, suasana, dan ciri-ciri khasnya. Ketika pendengar tidak mengerti apa-apa dan memerlukan keterangan yang cukup, penutur seyogianya merinci dan menguraikan panjang lebar pembicaraan- nya. Akan halnya pendengar sudah punya pengetahuan, maka dia selaiknya meringkas pembicaraan dan memadatkan kalimat secara selektif. Penguraian dan pemadatan (ithnâb wa îjáz)

p: 217


1- 28. Al-Mizân fi Tafsir Al-Qur'an. jld. 1, hlm. 163.

selalunya memerhatikan titik moderat dan imbang penutur agar menghindari penguraian pembicaraan yang menjemukan, ataupun pemadatan yang merusak maksud. Manakala audiensi dalam keadaan sangsi atau ingkar, dia semestinya membubuhkan penekanan dan penegasan. Namun, ini justru harus dihindari bilamana audiensi tidak dalam kondisi demikian.(1) Aspek-aspek ini telah diaplikasikan Al-Qur’an secara optimal. Sehingga, ia mudah menyeberangkan makna yang dimaksud ke dalam dasar jiwa para audiensi sampai mampu mendominasi dan menaklukkan kejiwaan mereka.

Pemadatan ungkapan merupakan sebuah dimensi balaghah Al-Qur'an yang mahaagung hingga mendesak perhatian khusus para pendengarnya sejak masa awal kedatangannya.

Tsa’alabi, seorang pakar bahasa, segera setelah menekankan keunggulan aspek pemadatan teks (îjâz) dalam Al-Qur'an sejauh komparasinya dengan ungkapan lain, menyinggung ayat di bawah ini:

«وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِیَانَةً فَانْبِذْ إِلَیْهِمْ عَلَی سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لَا یُحِبُّ الْخَائِنِینَ »

Dan jika engkau (Mubammad) khawatir akan (terjadinya) penghianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah per- janjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur, Sesungguh- nya Allah tiga menyukai orang-orang yang berkhianat (QS.

Al-Anfal [8]: 58).

p: 218


1- 29. Al-Balaghah Al-Wadhihah, hlm. 9.

Dia menuliskan, “Jika seorang ahli sastra balâghah ingin menyampaikan suatu teks yang merepresentasikan makna yang terkandung dalam ayat di atas, ia tidak akan mampu merangkumnya dalam kalimat padat dan singkat sepertinya, kalau bukan malah terpaksa merangkai kalimat yang panjang lebar.(1) Atau, sekaitan dengan ayat dari surah Yusuf ini:

«وَقَالَ الَّذِی نَجَا مِنْهُمَا وَادَّکَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ أَنَا أُنَبِّئُکُمْ بِتَأْوِیلِهِ فَأَرْسِلُونِ »

«یُوسُفُ أَیُّهَا الصِّدِّیقُ أَفْتِنَا فِی سَبْعِ بَقَرَاتٍ سِمَانٍ یَأْکُلُهُنَّ سَبْعٌ عِجَافٌ وَسَبْعِ سُنْبُلَاتٍ خُضْرٍ وَأُخَرَ یَابِسَاتٍ لَعَلِّی أَرْجِعُ إِلَی النَّاسِ لَعَلَّهُمْ یَعْلَمُونَ »

Dan berkatalah orang yang selamat... maka utuslah aku ke- padanya. Yusuf, wahai orang yang sangat dipercaya! Terang- kanlah kepada kami (Takwil Mimpi)... (QS. Yusuf [12] : 45-46).

Thabarsi menuliskan, “Di ayat ini telah berlangsung pemadatan redaksi. Asalnya, maksud ayat ini adalah “Utuslah aku menemui Yusuf! Maka dia pun menjumpai Yusuf dalam penjara dan berkata kepadanya, “Wahai seorang yang jujur ...»(2) Sementara itu, Allamah Thabathabai menyinggung aspek ini dalam menafsirkan ayat berikut:

«وَإِذَا سَأَلَکَ عِبَادِی عَنِّی فَإِنِّی قَرِیبٌ أُجِیبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْیَسْتَجِیبُوا لِی وَلْیُؤْمِنُوا بِی لَعَلَّهُمْ یَرْشُدُونَ »

p: 219


1- 30. Al-Ijaz wa Al-ſjâz, hlm. 13.
2- 31. Majma' Al-Bayân, jld. 5, hlm. 238.

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muham- mad) tentang aku, maka sesungguhnya aku dekat. Aku ka- bulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa ke- pada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran (QS.

Al-Baqarah [2]: 186).

Ia menggarisbawahi, “Ayat ini menyampaikan tujuan yang dimaksud dengan ungkapan seindah mungkin, gaya bahasa secermat mungkin, dan redaksi bahasa sepadat mungkin.

Dalam redaksi sedemikian padat ini, telah dinyatakan kata ganti tunggal orang pertama sebanyak tujuh kali, untuk menegaskan kesempurnaan inayah dan peduli Tuhan terhadap perkara permohonan dan hubungan hamba dengan Tuhannya.

Dengan memakai kata hambaku ("ibâdî) daripada kata manusia (nâs), Allah hendak memperlihatkan pertolongan khusus-Nya senantiasa tercurah ke atas seluruh hamba-Nya. Dalam redaksi ayat ini, terdapat klausa jawaban (atas klausa syarat] yang di dalamnya, Allah tidak menempatkan satu kata kerja pun sebagai mediasi; Dia tidak menyatakan, Idzâ sa'alaka 'ibâdî 'annî fa qul inna-hu qarib, agar makna kedekatan spiritual dan hubungan langsung-Nya tersampaikan secara utuh. Tidak cukup sampai di situ; Allah juga menggunakan elemen inna (sesungguhnya) untuk menekankan makna itu lebih dalam lagi, “Sesungguhnya Kami sangatlah dekat”. Alih-alih menggunakan kata kerja, Allah memakai kata ajektif (qarîb) untuk menampilkan ketetapan dan keketatan makna dekat. Sedangkan kata kerja mudhari' (ujib)

p: 220

Fenomena dan Dimensi Mukjizat “Aku kabulkan” menunjukkan kontinuitas pengabulan doa yang tidak henti-hentinya dari Allah, sementara klausa syarat (idzâ da'ân-i), bermakna bahwa kapan pun kamu sungguh-sungguh berdoa kepada-Nya. (1) Sebuah ayat dari surah Al-Ra'd adalah contoh lain dari seni sastra pemadatan redaksi Al-Qur'an dalam menggambarkan betapa megah para malaikat menyambut orang-orang beriman ketika memasuki alam akhirat:

«وَالْمَلَائِکَةُ یَدْخُلُونَ عَلَیْهِمْ مِنْ کُلِّ بَابٍ »

«سَلَامٌ عَلَیْکُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَی الدَّارِ »

Dan malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.

(sambil mengucapkan), “selamat sejahtera atasmu karena ke- sabaranmu” (QS. Al-Ra'd (13]: 23-24).

Teks asli ayat ini berbunyi demikian, qâ'ilîn-a lahum atau yaqûlûn-a lahum salâm-un 'alaykum. Namun dalam rangka seni pemadatan, segera setelah masuknya para malaikat, kalimat salâm-un 'alaykum langsung dibawakan dan selainnya dihapus.

Seni balâghah Al-Qur'an tidak terbatas hanya pada pemadatan redaksi ayat-ayatnya, tapi manakala penjelasan panjang diperlukan, ia akan menunjukkan keindahan seni penguraian (ithnâb).

p: 221


1- 32. Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur'an, jld. 2, hlm. 29.

«وَمَا تِلْکَ بِیَمِینِکَ یَا مُوسَی »

«قَالَ هِیَ عَصَایَ أَتَوَکَّأُ عَلَیْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَی غَنَمِی وَلِیَ فِیهَا مَآرِبُ أُخْرَی »

"Apakah itu yang di tangan kananmu, bai Musa?" Berkata Musa, “Ini adalah tongkatku, aku bersandar padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku, dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya" (QS. Thaba [20]: 17-18).

Pada suatu malam gelap dan dingin, Nabi Musa as pergi mencari api untuk menghangatkan istrinya yang sedang sakit.

Tiba-tiba ia melihat seberkas cahaya dari kejauhan. Segera ia bergegas menujunya. Selepas itu, ia mendengar suara gaib.

Tidak disadari, ia mendapati dirinya sudah berada di hadapan Hakikat Wujud. Dengannya Allah berbicara dan bertanya, “Hai Musa! Apa yang kau genggam di tanganmu itu?” Bisa saja Nabi Musa as menjawab pendek pertanyaan ini, “Tongkat.” Atau mengatakan, “Ini adalah tongkatku.” Tetapi ia tidak melakukan demikian, karena ia tidak ingin percakapannya dengan Sang Kekasih cepat berakhir. Keadaan pencinta saat berjumpa dengan kekasih selaksa luang penumpahan rasa dan konteks mengurai dan memperpanjang perbincangan. Maka, Al-Qur'an menukil perkataan Nabi Musa as demikian, “Ini adalah tongkatku yang selalu kugunakan untuk bersandar, memukul dedaunan dari pepohonan untuk makanan gembalaku, juga untuk keperluan dan manfaat-manfaat yang lain”.

p: 222

Peralihan segmen demikian artistik dan indah, sebagaimana dikenal dalam sumber-sumber sastra Arab sebagai seni takhallus, istithrâd, dan husn al-khitâm, merupakan manifestasi dari estetika balaghah yang tampak begitu mencolok dalam Al-Qur'an.

Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga ... "Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa:

itulah yang paling baik .... (QS. Al-A'raf (7]: 22-26).

Rangkaian ayat ini berbicara tentang kehidupan surgawi Nabi Adam as dan istrinya, Hawa, sampai setan menggoda mereka ... Tatkala Adam as dan Hawa menyadari kondisi tubuh dirinya telanjang, mereka memutuskan untuk memakai pakaian yang terbuat dari dedaunan pohon surgawi. Dalam kelanjutan ayat terdapat isyarat tentang “nikmat berpakaian dan kerapian lahiriah”, dan bersambung dengan “pakaian takwa dan kerapian batiniah”.

Manifestasi lain dari seni balaghah Al-Qur'an adalah bahasa serius yang disertai penekanan. Telah dicatat bahwa karakteristik seni balaghah adalah menghindari penggunaan penekanan dalam kalimat secara eksesif. Persoalannya, bagaimana menjelaskan arti semua sumpah dan aneka ragam penekanan dalam Al-Qur'an?

p: 223

Apakah fungsi sekian banyak penekanan itu? Pada hakikatnya, kitab suci ini adalah kitab yang mengabarkan hakikat-hakikat transenden eksistensi kepada manusia yang melampaui ufuk insani yang serba terbatas dan teraba, mengajak manusia kepada kehidupan yang lebih tinggi dan tujuan luhur yang merenggang jauh dari tuntutan dan hasrat terhina.

«یَا أَیُّهَا الَّذِینَ آمَنُوا اسْتَجِیبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاکُمْ لِمَا یُحْیِیکُمْ »

Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu... (QS. Al-Anfal [8]: 24).

Ini adalah suatu masalah yang kebanyakan dari manusia mengabaikannya, melupakannya, dan bahkan berkeras kepala dalam upaya membebaskan diri dari beban tanggung jawab.

Atas dasar ini, Al-Qur'an sudah cermat mengoptimalkan unsur penekanan sesuai dengan kebutuhan, berbicara dengan bahasa tegas, serius, menggugah dan menyuplai guncangan hingga dapat menghunjamkan maksudnya dan menggerakkan- nya secara dinamis dan energik.

Seni unggul dan rahasia unsur penekanan yang datang silih berganti ini terungkap dalam sebuah surah pendek di bawah ini:

«وَالْعَصْرِ »

«إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِی خُسْرٍ »

«إِلَّا الَّذِینَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ »

(1)

p: 224


1- 33. Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (QS. Al-'Ashr [103]: 1-3).

(Tidak sedikit pun dari bahasanya mirip dengan bahasa manusia.Dialah mukjizat dalam gaya bahasanya) 1. Sumpah (wa al'ashr).

2. Partikel penekanan (inna).

3. Partikel alif-lam Jins yang menyatakan seluruh manusia: bahwa semua orang pasti berada dalam kerugian.

4. Partikel lain untuk penekanan, yaitu Lam (la-fi).

5. Partikel fi untuk menyatakan keadaan ruang dan waktu: yakni, manusia tidak merugi, tapi ia justru tenggelam di dalam kerugian.

6. Penggunaan bentuk indefinisi (nakirah), yakni suatu keru- gian yang besar dan dahsyat.

7. La-fi khusr adalah frasa predikatif (argumen) dari partikel inna yang datang dengan bentuk kalimat kebendaan, bukan kalimat kerja, untuk memperingatkan ketahanan dan kontinuitas kerugian.

Lirik Prosa dan Gaya Bahasa Audiensi Al-Qur'an dan siapa saja yang mengenal bahasa dan sastra Arab pasti bisa mencecap betapa gaya dan ragam bahasa Al-Qur'an tidaklah selaras dengan dengan bahasa keseharian bangsa Arab. Ungkapan dan retorika Al-Qur'an bukan prosa konvensional, bukan pula puisi. Walaupun demikian, dalam Al-Qur'an ada sejenis simfoni dan ritme indah, mirip dengan rima-rima puisi atau indikasi-indikasi prosa lirik dan sajak:

p: 225

Tidak sedikit pun dari bahasanya mirip dengan bahasa manusia(1) Dialah mukjizat dalam gaya bahasanya(2) Dengan gaya ini, Al-Qur’an masih menyimpan keunikan lain dalam dirinya. Yakni, ayat dan ungkapan Al-Qur'an tidak mengandung satu subjek tertentu dan anasir semantis yang terbatas, tetapi memuat berbagai model makna dan subjek persoalan yang sedemikian beragam. Sejak awal kali bersentuhan dengan Al-Qur'an, bangsa Arab sangat mengagumi irama musikal dan alunan melodiusnya, dan tidak jarang membandingkannya dengan puisi sastrawan dan irama-irama mistis kaum dukun.

Setelah mengakui kebenaran Al-Qur'an dan memeluk Islam, mereka masih saja menikmati qira'ah dan tajwid nada-nada transendennya. Baru kemudian mereka melakukan rangkaian studi ekstensif seputar bahasa metrikal Al-Qur'an.

Terlepas dari kepedulian khusus Ahlul Bait yang juga memiliki keagungan setara dengan Al-Qur'an (mengingat status mereka sebagai dua pusaka agama) terhadap keindahan multidimensi Al-Qur’an, barangkali beberapa referensi seperti:

Majâz Al-Qur’an karya Abu Ubaidah Muammar bin Mutsanna(3) (209 H), Maanî Al-Qur’an karya Farra Yahya Abu Zakaria Daylami (208 H), Ta'wîl Musykil Al-Qur'ân karya Ibnu Qutaibah Abu Muhammad Abdullah (276 H), bisa ditempatkan sebagai sumber-sumber klasik yang untuk pertama kalinya membahas gaya khas bahasa Al-Qur’an.

p: 226


1- 34. Bibâr Al-Anwâr, jld. 89, hlm. 107.
2- 35. Uyûn Akhbâr Al-Ridhâ, jld. 2, hlm. 128.
3- 36. Abu Ubaidah Muammar bin Mutsanna: Majâz Al-Quran, edisi Muhammad Fuad Sazgin, cet. Maktab Khanjani.

Abu Ubaidah, misalnya, setelah membandingkan ungkapan lembut dan ciri-ciri keutamaan gaya bahasa Al-Qur'an dengan konvensi sastra bahasa Arab, menegaskan bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat menandingi Al-Qur'an. Sementara itu, Farra juga membahas susunan kalimat dan tanda baca Al-Qur’an. Di samping mengulas seni kinâyah, isti’ârah, tasybîh, majâz, dan iltifật Al-Qur'an, dia juga meneliti nada-nada indah lafal-lafal Al- Qur’an, termasuk pula ritme, rima, kesan dahsyatnya pada indra dan intuisi manusia. Ibnu Qutaibah juga menggarisbahwahi betapa unggulnya rangkaian morfologis kata, sintaktis kalimat, keindahan, kenikmatan, kejelasan, dan pengaruh Al-Qur'an yang hebat terhadap jiwa. Dia mengatakan, Allah mengistimewakan Al-Qur'an [di atas yang lain] dengan komposisi dan gaya bahasa yang sangat menakjubkan. Dia membuatnya sedemikian rupa hingga betapa pun dibaca, tidak menimbulkan kejemuan; bagaimana pun didengarkan, tidak menimbulkan kebosanan; ia serbabaru, segar, dan aktual; betapa pun banyaknya pengulangan bacaan tidak akan membuatnya menjadi kuno dan usang.(1) Pada masa-masa itu pula Jahizd, seorang tokoh sastra dan sarjana besar mazhab Muktazilah, untuk pertama kalinya mengarang buku yang berjudul Nazdm Al-Qur'ân.(2) Begitu juga Abu Sa'id Abdul Malik Ashmai (213 H) dan Abu Ubaid Qasim bin Sullam (223 H) termasuk orang-orang zaman ini yang

p: 227


1- 37. Tamil Masykil Al-Qurân, hlm. 10.
2- 38. Goldsehr, Abdulhalim Bihar: Madzâhib Al-Tafsir Al-Islâmî, Cairo, hlm. 144.

membahas tentang lirik prosa Al-Qur'an. Setelah itu, Abul Abbas bin Muktazz (296 H) membahas lirik dan matra ayat-ayat dalam bukunya, Al-Badî. Abul Hasan Ali bin Isa Zamani (374 H), pakar bahasa, gramatika, dan teolog Muktazilah, dalam sebuah risalahnya yang berjudul Al-Nukat, menganalisis keagungan dan kemukjizatan Al-Qur'an dari segi literasi, gaya bahasa, lirik prosa, pengaruhnya pada jiwa, dan tingkat seni balaghah-nya yang begitu tinggi dan indah.(1) Abu Sulaiman Hamad bin Muhammad bin Ibrahim Khathabi Basti (388 H), pakar hadis, fakih dan penyair dari Naisyabur yang hidup semasa Zamani, juga menekankan lirik, keseiramaan redaksial dan konseptual Al-Qur'an. Menurutnya, Al-Qur’an dari segi keindahan, kekokohan, segi kemurnian dan kesegaran, segi kepaduan dan sistematika, segi keterkaitan dan keutuhan tekstual, adalah bahasa yang paling unggul.(2) Masih menurutnya, bahasa Al-Qur'an sungguh elegan, kuat, dan padat, sekaligus sederhana dan mengalir derai. Di dalamnya terkandung aspek psikologis yang mengagumkan dan tidak tertandingi hingga menggetarkan kelembutan jiwa. Sesekali membangkitkan semangat dan kebahagiaan, adakalanya justru menciptakan suasana hati terasa cemas mencekam.(3) Abu Hilal Askari (397 H), seorang kritikus sastra Arab pascaJahizd, juga menelaah struktur tidak tergantikan Al- Qur’an dalam karyanya, Al-Shanâ'atain. Di dalamnya, dia mencatat, “Satu-satunya cara untuk dapat mencecap manifestasi kemukjizatan Al-Qur'an dari segi rangkaian kata yang apik, sintaksis kalimat yang indah, pemadatan redaksi yang inovatif,

p: 228


1- 38. Goldsehr, Abdulhalim Bihar: Madzâhib Al-Tafsir Al-Islâmî, Cairo, hlm. 144.
2- 40. Ibid., hlm. 24.
3- 41. Abu Hilal Askari: Kitâb Al-Shinâ'atain: Al-Kithâbah wa Al-Syi'r, hlm. 2.

ikhtisar yang halus, manis, syahdu, cemerlang, segar, ringan, kaya, dan alir, ialah hanya dengan perangkat disiplin balaghoh dan ilmu fashāhah. Dengannya nilai-nilai estetis sastranya dapat dikecap, tanpa bisa dijangkau kemampuan orang biasa, kalau bukan justru membuat nalar mereka tidak berkutik.

Abu Bakar Muhammad bin Thayyib Baqilani (403 H), seorang teolog Asy'ariyah, juga dalam karya besarnya, l'jâz Al- Qur'an, meyakini bahwa bahasa Al-Qur'an bukan hanya bahasa terbaik di antara bahasa terindah bangsa Arab, tetapi juga secara substansial sudah berbeda dengan keindahan sekian gaya bahasa Arab, dan dan benar-benar tinggi melampaui gaya, lirik dan struktur konvensional.(1) Atas dasar ini Baqilani lalu menyatakan bahwa gaya dan struktur bahasa Al-Qur'an seutuhnya berada di luar ciri-ciri dasar dan kriteria struktur yang umumnya berlaku dalam bahasa dari manusia.(2) Pasca era nama-nama prominen di atas, tiba peran Abdul Qahir Gurgani (474 H), seorang pakar ternama dalam teologi Asy'ariyah, salah satu bapak pendiri ilmu-ilmu Balaghah Arab, dan komentator gaya dan metode Al-Qur'an. Dalam dua karyanya, Asrâr Al-Balaghah dan Dalâ'il Al-Ijaz, dia menyatakan bahwa puncak kemukjizatan retoris Al-Qur'an tidak terletak pada kata, matra, rima, ragam metafora, dan segenap anasir estetikanya, tetapi pada lirik tekstual dan konseptualnya yang sungguh luar biasa.

Pada hemat Abdul Qahir, medan prosa lirik jauh lebih luas dari sekedar keindahan tekstual, tetapi juga mencakup keindahan dan kecermatan konseptual bahasa. Dalam Al-Qur'an, dua unsur

p: 229


1- 42. Ijaz. Al-Quân, hlm. 200.
2- 43. Ibid., hlm. 75.

ini tampak kokoh berkelindan dan tidak teruraikan. Antara mental dan teks bahasa, ada relasi yang begitu ketat. Mental, dalam rangka menyampaikan aneka makna dan konsep dalam dirinya, menggunakan simbol-simbol teks bahasa. Sementara teks bahasa ini sendiri adalah alat atau bahkan tanda yang mengindikasikan suatu pemikiran. Setiap satu unit teks bahasa, sekecil apa pun itu, menunjukkan makna tertentu. Maka, sedikit apa pun pergeseran dan perubahan makna sebegitu rupa hingga tampak jelas dengan perubahan kata dan struktur bahasa demikian pula apa pun perubahan tekstual merupakan tanda suatu transformasi yang terjadi di sekitar makna dan konsep.

Teks dan makna tidak ubahnya badan dan ruh yang memiliki integrasi dan hubungan keseutuhan satu dengan yang lain.

Teks bahasa terbentuk dari unit-unit elementer dengan urutan berikut ini: huruf, fonem, suku kata, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Berdasarkan teori komposisi Abdul Qahir, struktur dan konstruksi suatu teks tidak hanya terbentuk dari kerangka-kerangka konvensional yang sudah ada seperti: verba, subjek, objek, predikat, adverba, ajektif, kata penghubung, dan kata pelengkap, tetapi ada variabel lain yang terlibat di dalamnya seperti: pengawalan dan pengakhiran (taqdîm wa ta'khîr), penghapusan (hadzj), pengulangan (takrâr), definisi dan indefinisi (tarif wa nakirah), pemadatan dan penguraian (îjaz wa ithnâb), literasi dan figurasi (haqiqah wa majâz), analogi (tamtsil), pembatasan dan pemutlakan (hashr wa ithlâq), dan variabel

p: 230

lainnya yang berbasis pada makna dan aspek semantik. Bahasa dengan segenap kekayaan muatannya yang tidak terhingga dari simbol dan lambang merupakan representasi mental.

Dalam lembaran mental, ada berbagai makna kasar juga halus, lembut, cermat, substil yang tidak terbatas dan bisa dibongkar dengan bahasa serta terobjektifikasi dengan aneka teks linguistik.

Semakin mental peka dan cemerlang, semakin bahasa cermat dan tajam. Demikian pula sebaliknya.

Mereka membawakan sebuah contoh dari gaya unik Al-Qur'an yang, daripada nama sajak (saj ), dikenal dengan nama fâshilah atau kepala larik yang menjadi dasar musikalitas irama-irama khas Al-Qur'an. Tentu saja, gaya demikian ini harus memenuhi beberapa kriteria: pertama, yang menjadi pemeran utama di dalamnya adalah makna, bukan semata-mata kata atau teks. Yakni, fashilah-fashilah Al-Qur’an bukan hanya sebentuk koherensi literal, tetapi lebih dari sekadar itu: mengandung lirik konseptual yang khas di sela-sela lirik teks dan berdinamika sesuai kedudukan makna. Kedua, fashilah itu bebas, mengalir mudah, tanpa pemaksaan.(1) Sajak adalah teks yang disertai rima atau, dalam istilah ilmu Badi', penutur di sepanjang tuturannya menyampaikan kata-kata yang sematra dan seirama. Dalam ragam prosa, sajak juga ditandai dengan rima, sebagaimana dalam puisi. Alih-alih menyebut sajak, para pakar menamai ungkapan Al-Qur'an sebagai fashilah.(2)

p: 231


1- 44. Al-Itqân, bab 59; Bintu Syathi: Al-Ijaz Al-Bayâni, hlm. 229.
2- 45. Badruddin Zarkashi: Al-Burhân fi 'Ulûm Al-Qur'ân, bab 3, jld. 1, hlm. 149, dengan diteliti oleh Mar’asyali.

Kalangan sastra Arab membagi sajak ke dalam tiga jenis:

1. Sajak Mutawazi, yaitu sajak yang kata-kata terakhir dari setiap lariknya seragam dalam matra dan huruf rawiyy(1) seperti kata-kata haraj maraj (kacau balau). Ayat-ayat berikut ini diajukan para pakar sebagai contoh dari jenis sajak ini:

«فِیهَا سُرُرٌ مَرْفُوعَةٌ »

«وَأَکْوَابٌ مَوْضُوعَةٌ »

(2)

«فِی سِدْرٍ مَخْضُودٍ » «وَطَلْحٍ مَنْضُودٍ » «وَظِلٍّ مَمْدُودٍ » (3)

«وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا»

«وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا »

«وَالنَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا »

«وَاللَّیْلِ إِذَا یَغْشَاهَا »

«وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا »

«وَالْأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا »

«وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا »

«فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا»

«قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَکَّاهَا »

«وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا »

«کَذَّبَتْ ثَمُودُ بِطَغْوَاهَا »

«إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا »

(4)

p: 232


1- 46. Rawiyy yiatu awan yang penuh dengan air hujan. Dalam istilah ilmu ‘Arudh, para pakar menamainya sebagai huruf asli rima yang merupakan patokan rima itu sendiri, seperti huruf (,) dalam kata nasyr, zir, dar.
2- 47. Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan. Dan gelas-gelas yang diletakkan (QS. Al-Ghasyiah [88]: 13-14).
3- 48. Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri. Dan pohon pisang yang bersusun-susun. Dan naungan yang terbentang luas (QS Al-Waqiah [56]: 28-30).
4- 49. Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan apabila mengiringinya. Dan siang apabila menampakkan- nya. Dan malam apabila menutupinya. Dan langit serta pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Kaum) Tsamud Telah mendustakan(rasulnya) Karena mereka melampaui batas. Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka (QS. Al-Syams [91]: 1-12).

2.Sajak Mutharraf, yaitu sajak yang huruf terakhir dari setiap lariknya mempunyai seragam dalam huruf rowiyy, namun matranya berbeda, seperti dalam ayat-ayat di bawah ini:

«مَا لَکُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا »

«وَقَدْ خَلَقَکُمْ أَطْوَارًا »

(1) «وَالصُّبْحِ إِذَا أَسْفَرَ »

«إِنَّهَا لَإِحْدَی الْکُبَرِ »

«نَذِیرًا لِلْبَشَرِ »

«لِمَنْ شَاءَ مِنْکُمْ أَنْ یَتَقَدَّمَ أَوْ یَتَأَخَّرَ» (2) «أَلَمْ تَرَ کَیْفَ فَعَلَ رَبُّکَ بِأَصْحَابِ الْفِیلِ »

«أَلَمْ یَجْعَلْ کَیْدَهُمْ فِی تَضْلِیلٍ »

«وَأَرْسَلَ عَلَیْهِمْ طَیْرًا أَبَابِیلَ »

«تَرْمِیهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّیلٍ» (3) 3. Sajak Mutawazin, yaitu sajak kata-kata terakhir dari setiap lariknya seragam dalam matra, namun berbeda dalam huruf rowiyy, seperti syarif dan karîm. Berikut ini beberapa contoh sajak mutawazin dalam Al-Qur'an:

«وَآتَیْنَاهُمَا الْکِتَابَ الْمُسْتَبِینَ »

«وَهَدَیْنَاهُمَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِیمَ »

«وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ »

«وَمَا أَدْرَاکَ مَا الطَّارِقُ »

p: 233


1- 50. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tahap kejadian (QS. Nuh [71]: 13-14).
2- 51. Dan subuh apabila mulai terang. Sesungguhnya saqar itu adalah salah satu bencana yang amat besar. Sebagai ancaman bagi manusia. (Yaitu) bagi siapa di antaramu yang berkehendak akan maju atau mundur (QS. Al-Muddats- tsir [74]: 34-37).
3- 52. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? Dan dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar (QS. Al-Fil [105]: 1-4).

«النَّجْمُ الثَّاقِبُ »

«إِنْ کُلُّ نَفْسٍ لَمَّا عَلَیْهَا حَافِظٌ »

(1) «وَالطُّورِ » «وَکِتَابٍ مَسْطُورٍ »

«فِی رَقٍّ مَنْشُورٍ »

«وَالْبَیْتِ الْمَعْمُورِ»

«وَالسَّقْفِ الْمَرْفُوعِ »

(2) Dalam beragam frasa surah terakhir ini, irama khas redaksi mengalir secara utuh dan teraba, sekalipun rangkaian frasa itu berbeda-beda. Keistimewaan ini juga tampak pekat dalam ayat- ayat dan surah-surah yang lain, hingga tampillah makna-makna yang sepadu dengan fonem, huruf, kata, irama dan intonasi, bahkan sanggup menghanyutkan ruang kesadaran pendengar.

Keutuhan dan keterabaan ini tetap terjaga sekalipun dalam konteks pembebanan tanggung jawab dan kewajiban:

«یَا بُنَیَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْکَرِ وَاصْبِرْ عَلَی مَا أَصَابَکَ إِنَّ ذَلِکَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ » (3) Atau dalam konteks berargumentasi dan menyanggah anggapan keliru:

«یَا أَیُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِینَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ یَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ

p: 234


1- 54. Demi langit dan yang datang pada malam hari. Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (Yaitu) bintang yang cahayanya menembus. Tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya (QS. Al-Thariq [86]: 1-4).
2- 55. Demi bukit. Dan Kitab yang ditulis. Pada lembaran yang terbuka. Dan demi Baitul Mamur. Dan atap yang ditinggikan (langit). Dan laut yang di dalam tanahnya ada api (QS. Al-Thur [52]: 1-5).
3- 56. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah) (QS. Lukman [31]: 17).

یَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَیْئًا لَا یَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ » (1) Atau dalam konteks memberi kabar bahagia dan persuasi:

«وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِینَ غَیْرَ بَعِیدٍ »

«هَذَا مَا تُوعَدُونَ لِکُلِّ أَوَّابٍ حَفِیظٍ »

«مَنْ خَشِیَ الرَّحْمَنَ بِالْغَیْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِیبٍ »

«ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ ذَلِکَ یَوْمُ الْخُلُودِ »

«لَهُمْ مَا یَشَاءُونَ فِیهَا وَلَدَیْنَا مَزِیدٌ » (2) Atau dalam konteks memberi peringatan dan ancaman:

«مَتَاعًا لَکُمْ وَلِأَنْعَامِکُمْ ...«تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ » (3) Atau dalam konteks menggambarkan keindahan pola hidup para nabi as:

«قَالَ إِنِّی عَبْدُ اللَّهِ آتَانِیَ الْکِتَابَ وَجَعَلَنِی نَبِیًّا ....«وَبَرًّا بِوَالِدَتِی وَلَمْ یَجْعَلْنِی جَبَّارًا شَقِیًّا »

(4) Rekonstruksi fashilah-fashilah bisa ditelaah dalam sebagian karya tulis dengan metode lain dari penyusunan.(5) Selain seni fashilah, ada juga sekian banyak inovasi yang benar-benar khas dan baru dalam seni ungkapan Al-Qur'an; realitas yang menampilkan nilai keagungan komposisi dan kons- truksi kitab samawi ini sedemikian mencolok dan memukau jiwa pendengarnya. Satu di antaranya ialah jinas yang dalam dirinya sendiri terdapat macam-macamnya. Dalam ilmu badi, jinas atau

p: 235


1- 57. Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah (QS. Al-Hajj [22]: 73).
2- 58. Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat. Masukilah surga itu dengan aman. Itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami ada tambahannya (QS. Qaf [50]: 31-35).
3- 59. Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua ... Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka (QS. Abasa [80]: 32-41).
4- 60. Berkata Isa, “Sesungguhnya aku Ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi ... Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka” (QS.Maryam [19]: 30-32).
5- 61. Abbas Arabi Hasyimi, Nadzm-e Oyot-e Elohi dar Negoresy, jld. 29 30.

kesejenisan adalah ungkapan yang mengandung dua kata yang dalam partikulasinya sama atau sejenis satu sama lainnya, tetapi berbeda dalam maknanya, seperti:

Behram sang pemburu zebra sepanjang hayatnya lihatlah bagaimana dia terperangkap dalam kubur.

Jinas Sempurna (jinas tamm) yuitu suatu jinas yang huruf- huruf sejenis sama dalam artikulasi dan penulisan (yakni, huruf dan harakat/tanda baca), akan tetapi berbeda dalam makna, seperti kata 'ayn. Contoh jinas ini dapat disimak dalam ayat berikut ini, tepatnya pada kata ah:

«وَیَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ یُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَیْرَ سَاعَةٍ کَذَلِکَ کَانُوا یُؤْفَکُونَ » (1) Jinas Kurang (jinas naqish) yaitu suatu jinas yang unit-unit (huruf-huruf)-nya sama dalam huruf, namun berbeda dalam harakat dan tanda baca, seperti yang dapat diamati dalam ayat ini:

«وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا فِیهِمْ مُنْذِرِینَ »

«فَانْظُرْ کَیْفَ کَانَ عَاقِبَةُ الْمُنْذَرِینَ »

Jinas Lebih (jinas za’id) yaitu suatu jinas yang pada salah satu dari dua katanya terdapat kelebihan huruf. Kelebihan huruf ini adakalanya terjadi di awal kata, seperti selisih huruf 'Ain antara kata tâba dan 'itâb, atau di akhir kata, seperti selisih huruf hâ' antara kata jâm dan jâmah, atau adakalanya pula di tengah kata,

p: 236


1- 62. Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa, “Mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)”. Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran) (QS. Al-Rum [30]: 55).

seperti selisih kata alif antara kata qâmat dan qiyâmat. berikut sekelumit contoh dari Jinas Lebih ini dalam Al-Qur'an:

«کَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِیَ »

«وَقِیلَ مَنْ رَاقٍ »

«وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ »

«وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ »

«إِلَی رَبِّکَ یَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ » (1) Jinas Aksara (jinas khath), adalah suatu jinas yang unit-unit (huruf-huruf)-nya sama dalam penulisan, namun berbeda dalam artikulasi (pelafalan) dan peletakan titik. Contoh konkret dari puncak seni dan keindahan jinas ini dapat disimak dalam ayat berikut:

«الَّذِی خَلَقَنِی فَهُوَ یَهْدِینِ »

«وَالَّذِی هُوَ یُطْعِمُنِی وَیَسْقِینِ »

«وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ یَشْفِینِ »

«وَالَّذِی یُمِیتُنِی ثُمَّ یُحْیِینِ » (2) Jinas Serupa (jinas mudhari) yaitu suatu jinas yang dua unit (huruf): awalnya atau tengahnya, berbeda. Jadi, bila fonem dua huruf, yakni bunyi artikulasi mereka bermiripan, kalangan pakar sastra Arab menyebutnya sebagai jinas Serupa, seperti huruf ra' dan lam, atau b dan p (dalam Latin). Jinas ini juga turut menaburkan keindahan beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya:

p: 237


1- 64.Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan. Dan dikatakan (kepadanya), “Siapakah yang dapat menyembuhkan?” Dan dia yakin bahwa sesungguhnya Itulah waktu perpisahan (dengan dunia). Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan). Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau (QS. Al-Qiyamah [75]: 26-30).
2- 65. (Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku. Dan Tuhanku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaku. Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku. Dan yang akan mematikan aku. Kemudian akan menghidupkan aku (kembali) (QS. Al- Syu'ara [26]: 78-81).

«وَهُمْ یَنْهَوْنَ عَنْهُ وَیَنْأَوْنَ عَنْهُ وَإِنْ یُهْلِکُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا یَشْعُرُونَ » (1)

«ذَلِکُمْ بِمَا کُنْتُمْ تَفْرَحُونَ فِی الْأَرْضِ بِغَیْرِ الْحَقِّ وَبِمَا کُنْتُمْ » (2) «وَإِنَّهُ عَلَی ذَلِکَ لَشَهِیدٌ »

«وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَیْرِ لَشَدِیدٌ » (3) Jinas Literal (jinas lafzdi) adalah suatu jinas yang sama dalam artikulasi, namun berbeda dalam makna dan penulisan, seperti kata khawâr dan khâr, atau kata nâdhirah dan nâzdirah demikian termaktub dalam ayat berikut:

«وُجُوهٌ یَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ »

«إِلَی رَبِّهَا نَاظِرَةٌ » (4) Jinas Terbalik (jinas qalbi) yaitu suatu jinas yang huruf- hurufnya berbalikan, seperti kata syâri' dan syâ'ir. Jinas ini terdapat dalam sebuah ayat pendek nan indah:

«قُمْ فَأَنْذِرْ » (5) Jinas Pecahan (jinas istiqaqi) atau Semipecahan yaitu merangkai, dalam puisi ataupun prosa, kata-kata yang huruf- hurufnya bermiripan serupa satu sama lain, apakah itu berasal dari satu akar kata seperti: rasûldan rasâ'il, atau tidak berasal dari satu kata, tetapi huruf-hurufnya sangat mirip sehingga selintas terlihat seperti berakar sama, seperti kata zamân dan zamîn. Dua ayat di bawah ini menapilkan keindahan Jinas Pecahan:

p: 238


1- 66. Dan mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Qur'an dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya (QS. Al-An'am [6]: 26).
2- 67. Yang demikian itu disebabkan karena kamu bersuka ria di muka bumi dengan tidak benar dan karena kamu selalubersuka ria (dalam kemaksiatan) (QS. Al-Mu'min [40]: 75).
3- 68. Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya. Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta (QS. Al-`Adiyat [100]: 7-8).
4- 69. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri- seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat (QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23).
5- 70. Dan Tuhanmu agungkanlah! (QS. Al-Muddatstsir [74]: 2).

«وَتَوَلَّی عَنْهُمْ وَقَالَ یَا أَسَفَی عَلَی یُوسُفَ وَابْیَضَّتْ عَیْنَاهُ مِنَ الْحُزْنِ فَهُوَ کَظِیمٌ » (1) «أَأَنْتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الْخَالِقُونَ » (2) Jinas Gabungan (jinas thibaqi) yaitu suatu jinas yang.

menggabungkan kata-kata saling bertentangan seperti dalam ayat berikut:

«لِکَیْلَا تَأْسَوْا عَلَی مَا فَاتَکُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاکُمْ وَاللَّهُ لَا یُحِبُّ کُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ » (3) «لَا یُکَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا کَسَبَتْ وَعَلَیْهَا مَا اکْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِینَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَیْنَا إِصْرًا کَمَا حَمَلْتَهُ عَلَی الَّذِینَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَی الْقَوْمِ الْکَافِرِینَ » (4) «وَتَحْسَبُهُمْ أَیْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ » (5) Jinas Kesesuaian (jinas tanasubi) yaitu suatu jinas yang diaplikasikan untuk menambah cita rasa bahasa pada ayat berikut ini:

«الَّذِینَ یَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِیَّ الْأُمِّیَّ الَّذِی یَجِدُونَهُ مَکْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِی التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِیلِ یَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَیَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْکَرِ وَیُحِلُّ لَهُمُ الطَّیِّبَاتِ وَیُحَرِّمُ عَلَیْهِمُ الْخَبَائِثَ وَیَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِی

p: 239


1- 71. Dan Yaqub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”. Dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya) (QS. Yusuf [12]: 84).
2- 72. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?! (QS. Al-Waqi'ah [56]: 59).
3- 73. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan- Nya kepadamu (QS. Al-Hadid [57]: 23).
4- 74. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya (QS. Al-Baqarah [2]: 286).
5- 75. Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur (QS. Al-Kahf [18]: 18).

کَانَتْ عَلَیْهِمْ فَالَّذِینَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِی أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِکَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ » (1) Jinas Musyakalah yaitu suatu jinas yang nilai artistiknya tampak dalam ayat berikut ini:

«وَمَکَرُوا وَمَکَرَ اللَّهُ وَاللَّهُ خَیْرُ الْمَاکِرِینَ » (2) Jinas Perbalikan dan Pergantian (aks wa tabdîl) juga tampak dalam ayat berikut:

«وَلَا تَطْرُدِ الَّذِینَ یَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِیِّ یُرِیدُونَ وَجْهَهُ مَا عَلَیْکَ مِنْ حِسَابِهِمْ مِنْ شَیْءٍ وَمَا مِنْ حِسَابِکَ عَلَیْهِمْ مِنْ شَیْءٍ فَتَطْرُدَهُمْ فَتَکُونَ مِنَ الظَّالِمِینَ » (3) Jinas Tarik Ulang (tashdir) yaitu menarik kembali akhir perkataan ke awal. Berikut contohnya dalam ayat berikut:

«رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَیْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْکَ رَحْمَةً إِنَّکَ أَنْتَ الْوَهَّابُ » (4) Jinas Muraat Nadzir juga melipatgandakan keindahan ayat berikut:

«أَفَلَا یَنْظُرُونَ إِلَی الْإِبِلِ کَیْفَ خُلِقَتْ »

«وَإِلَی السَّمَاءِ کَیْفَ رُفِعَتْ » (5) Seni Ilustrasi Telah dibahas sebelumnya bahwa keindahan irama Al-Qur'an memiliki hubungan yang sangat kuat dengan maknanya. Variabel

p: 240


1- 76. Yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (QS. Al-A'raf [7]: 157).
2- 77. Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya (QS. Al Imran [3]: 54).
3- 78. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu (QS. Al-An'am [6]: 52).
4- 79. Dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; Karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)(QS. Al Imran [3]: 8).
5- 80. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (QS. Al-Ghasyiah [88]: 17-18).

(Kemegahan tiada tara Kitab Suci ini terletak pada apa yang dicatat dan sesuai dengan teori Lirik (nazdm) Abdul Qahir, yaitu tiap-tiap unit kata tertata cermat secara berkorespondensi dengan makna, dan kedua unsur (unit-unit kata dan makna) ini pada gilirannya juga harus berkorensp ondensi tepat dengan realitas objektif.) fonetis, silabis, dan fonem bersenyawa utuh dengan variabel semantis dan makna.

Tanda baca konsonantal dan vokal (harakat dan sukun), fonasi (makhraj) huruf, bacaan Allamah Thabath abai panjang, tebal, dan dengung, balok-balok suara, kesatuan rangkaian sistem baca, titik beda geometris kosakata, mekanisme hermeneutis ayat-ayat, dan alunan melodius- nya akan berubah-ubah seiring dengan rangkaian makna dan muatan konstruksi ungkapan bahasa.

Bagaimana pun, ini bukanlah totalitas keagungan Al-Qur'an. Kemegahan tiada tara Kitab Suci ini terletak pada apa yang dicatat Allamah Thabathabai dan sesuai dengan teori Lirik (nazdm) Abdul Qahir, yaitu tiap-tiap unit kata tertata cermat secara berkorespondensi dengan makna, dan kedua unsur (unit-unit kata dan makna) ini pada gilirannya juga harus berkorenspondensi tepat dengan realitas objektif. Karena itu, tutur bahasa yang terunggul dan terbaik ialah teks dan retorik yang mengombinasikan seutuhnya kesegaran kata, kekokohan gaya dan stilitas, kenyataan makna dan kejelasan realitas objektif; tidak terjadi inkonsistensi apa pun di antara unit-unitnya.(1) Inilah yang senyatanya menampilkan kemegahan estetika Al-Qur'an.

Al-Qur'an adalah transliterasi hakikat absolut dan transendental; bukan stensilan pembangkit fantasi dan emosi.

Teks ini merepresentasikan keutuhan fakta konkret dan, dalam

p: 241


1- 81. Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur'ân, jld. 1, hlm. 71.

menguraikan hakikat, sedemikian cermat memanfaatkan dekorasi bahasa yang memikat dan ornamentasi yang memesona:

membuat audiensi tanpa sadar hanyut sampai kedalaman makna, memeragakan objektifitas makna di hadapan pembaca, menggugah ketajaman indra luar dan meng-gairahkan kelembut- an intuisi mereka.

Thayyibi, seorang pakar bahasa abad VIII, sepanjang catat- annya mengenai ayat, “Maka runtuhlah pada mereka atap dari atas mereka” (QS. Al-Nahl [16]: 26), membubuhkan:

Dalam ayat ini, penguraian (ithnâb) kalimat dengan frasa “dari atas mereka” yang kelihatannya eksesif dengan adanya kata “atap”, terlaksana dalam rangka menggambarkan kedahsyatan keadaan mencekam.(1) Ayat “Maka dia berada di dalam kota dalam keadaan takut sambil mengintai-intai” (QS. Al-Qashash [28]: 18) dengan pola deskriptif yang sarat emosi, menayangkan situasi-kondisi psikologis tokoh utama kisah. Al-Qur’an mempresentasikan suasana ini sedemikian lembut dan cermat dengan fonasi, diksi, komposisi unik kata-kata, warna bunyi, riuh rendah intonasi yang terdapat dalam ayat itu. Tentang hal ini, Bakri Syaikh Amin menulis:

Kata-kata akan membangkitkan dalam imajinasimu sebuah forma konsep secara teraba dan menjelma, tanpa perlu merujuk kamus bahasa

p: 242


1- 82. Al-Tibyân fi Tafsir Al-Qur'ân, hlm. 159.

Pada hemat Ahmad Ahmad Badawi, seni ilustrasi Al-Qur'an dalam ayat berikut sangatlah mencolok:

Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan (QS. Al- Insan [76]: 10).

Dia mencatat bahwa dalam ayat ini, beratnya Hari Akhir terasa dari tiap-tiap unit katanya, dan klimaks kondisi itu tercapai emosi pada Thâ'; huruf yang berfonem berat dan pekat.(1) Sekaitan dengan ini, Dr. Shubhi Shaleh menyatakan, “Di hadapan Al-Qur'an, kita akan menyaksikan sebuah kenyataan yang tinggi; melampaui lapisan kata dan kaidah sastra bahasanya. Tipe teks dalam Al-Qur'an, emanasi kata-kata, ilustrasi warna naratif kisah-kisah, adegan-adegan, alur-alurnya, mengungkapkan rangkaian realitas objektif yang hidup dengan segenap fragmentasi peristiwa di dalamnya; menempatkan dirimu tidak ubahnya tokoh pahlawan peristiwa yang masih belum meninggalkan pentas kehidupan”. (2) Dalam mengilustrasikan hakikat transendental, memeragakan makna metafisisnya, dan menginstalasikannya dalam ruang pemahaman manusia, Al-Qur’an banyak menyajikan analogi dan perumpamaan dari contoh-contoh konkret, mengoptimalkan anasir majaz, figurasi, dan metonim. Dengan begitu, selain menampilkan keindahan dan kemegahannya, ia juga berfungsi

p: 243


1- 83. Min Balaghat Al-Qur’ân, hlm. 99.
2- 84. Mubabits f Ulâm Al-Quần, hlm. 129.

sebagai kanal yang tepat untuk meloloskan hakikat transenden itu ke dalam ruang pemahaman insani.

Analogi adalah membandingsamakan sesuatu dengan yang lain dari segi sifat atau kualitas. Di dalamnya terdapat empat anasir:

a. Objek I (musyabbah): yaitu seseorang atau apa saja yang yang dalam sifat tertentu diserupakan dengan yang lain.

b. Objek II (musyabbah-bih): yaitu seseorang atau apa saja yang dengannya, objek I itu diserupakan; C. Aspek (wajh syibh): yaitu sifat atau kualitas yang merupakan kesamaan antara musyabbah dan musyabbah-bih; dan d. Instrumen (adât tasybih): yaitu kata-kata yang menunjukkan keserupaan tersebut. Sebagai contoh:

Wajah kekasih bersinar laksana matahari. Empat anasir di atas tadi bisa diuraikan dari ungkapan analogis ini demikian:

wajah kekasih (objek I) laksana (instrumen) matahari (objek II) bersinar (aspek) Tujuan utama analogi ialah menggambarkan suatu makna yang diinginkan penutur dan memeragakannya hingga terjelma di hadapan indra pendengar.

Akan halnya analisis Sakkaki menjaring sejumlah tujuan seni analogi pada hal-hal berikut: pertama, mengeksplanasi kemungkinan objek I; kedua, mengeksplanasi objek I menyandang

p: 244

kualitas tertentu; ketiga, menerangkan derajat kualitas itu dari segi kekasaran dan kelembutan, seperti penyerupaan hati orang sesat yang berkeras kepala dengan batu, “Maka dia seperti batu atau lebih keras lagi” (QS. Al-Baqarah [2]: 74); keempat, analogi diaplikasikan untuk menegaskan keadaan objek I dalam kemuliaan atau kehinaan.(1) Kalangan pakar bahasa menyadari bahwa analogi-analogi Al-Qur'an begitu cermat, kokoh, dan terindah dari jenis analogi dalam bahasa Arab. Ibnu Atsir dalam analogi antarkata meng- ajukan ayat ini, “Dan Kami telah menjadikan malam sebagai busana” (QS. Al-Naba' [78]: 10). Dalam ayat ini, Allah meng- analogikan malam dengan busana (libâs) karena kedudukannya sebagai sarana penutup untuk memisahkan orang-orang, lari dari musuh, menyembunyikan hal-ihwal yang tidak ingin diketahui orang lain. Ibnu Atsir mengatidakan, “Ini adalah salah satu analogi yang benar-benar milik khas Al-Qur'an.” Demikian pula dalam ayat, “Mereka (istri-istri) itu adalah busana bagi kalian, dan kalian pun busana bagi mereka” (QS.

Al-Baqarah [2]: 187). Masing-masing pasangan (suami dan istri) dianalogikan dengan busana (libâs), karena busana adalah dasar perhiasan dan kecantikan, rasa malu dan kesucian, keterjagaan dari jangkauan tangan asing.(2) Perbuatan orang yang kehilangan nilai-nilai ketuhanan dan terputus dari Sumber Realitas dianalogikan dengan sarang laba-laba: begitu rapuh dan rentan guncangan hanya dengan semilir angin pagi:

p: 245


1- 85. Miftâh Al-'Ulûm, hlm. 162.
2- 86. Al-Mitsâl Al-Sâ’ir, jld. 2, hlm. 133.

Perumpamaan orang-orang kafir yang mengambil perlindungan selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahui (QS. al-Ankabut [29]: 41).

Perilaku orang kafir dianalogikan dengan seperti fatamorgana yang palsu dan mengecoh:

Dan orang Dan orang-orang yang kafir, perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga ... (QS. al-Nur [24]: 39) Kekokohan dan ketegaran orang beriman dianalogikan dengan bangunan yang tegak di atas kerangka baja yang menjulang tinggi, atau dengan tumbuhan yang segar:

Meraka seakan-akan seperti bangunan yang tersusun kokoh ... (QS. al-Shaff [61]: 4) ... Seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemu- dian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya .... (QS. al-Fath [48]: 29) Neraka digambarkan seolah makhluk hidup yang bisa memekikkan teriakan dan pekik yang mengerikan:

p: 246

Sama sekali tidak, sungguh neraka itu adalah api yang bergejolak, yang mengelupas kulit kepala. Yang memanggil orang yang membelakangi dan yang berpaling (dari agama) (QS. Al-Ma'arij [70]: 17) Apabila ia (neraka) melihat mereka dari kejauhan, mereka mendengar suaranya yang bergemuruh karena kemarahan (QS. Al-Furqan [25]: 12) Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya mereka mendengar suara neraka yang mengerikan, sedang neraka itu membara dan hampir meledak karena kemarahan. (QS. Al-Mulk [67]: 7-8).

Perumpamaan (Tamtsil) Hebat Al-Quran Seni ini merupakan bentuk lain dari analogi yang memiliki pengaruh dan kesan yang luar biasa.

> Pada-Nyalah perumpamaan tertinggi (QS. Al-Ruum [30]: 27).

Dalam tafsirannya mengenai ayat 17-20 dari surah Al- Baqarah, “Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api; acapkali api itu menyala ...”, pengarang tafsir Al-Kasysyâf, Zamakhsyari, mengatakan:

Dalam rangka menyingkapkan sifat-sifat kaum munafik, Allah SWT membawakan perumpamaan, karena perumpamaan sangat efektif dalam orang yang menerangkan makna dan menyingkapkan hakikat;

p: 247

("Dan itulah perumpamaan- perumpamaan yang Kami berikan kepada manusia, dan tidak akan memahaminya kecuali orang- orang yang mengerti sedemikian rupa hingga subjek-subjek abstrak tampak sebagai perkara objektif dan konkret.(1) Demikian pula peneliti lain seperti Suyuthi.

Seraya menukil dari para peneliti sebelum- nya, ia mengatakan bahwa di antara tujuan di balik perumpamaan Al-Qur'an adalah mendekatkan subjek yang dimaksud dalam bentuk yang terindra.(2) Allamah Thabathabai dalam mendefinisikan ‘perumpamaan’ mengatakan:

Perumpamaan ialah sebuah sarana yang digunakan untuk menjelaskan maksud dan mendekatkan maksud utama pada pemahaman audiens melalui permisalan dan analogi.(3) Menurut Allamah Thabathabai, perumpamaan itu digunakan dalam Al-Qur'an mengingat kapasitasnya sebagai teknik paling mudah dalam menerangkan hakikat dan rahasia maksud; apakah awam ataupun cendekia, pada level yang berbeda, sama-sama menimba manfaat darinya.(4) Masih menurut Allamah Thabathabai, bahasa perumpamaan mampu menjelaskan makna-makna asing dengan apa yang sudah jelas dan lazim bagi pemahaman umum. Mengingat hidayah Al-Qur'an, dari satu sisi, bersifat menyeluruh, tidak khusus untuk

p: 248


1- 87. Al-Kasysyâf, jld. 1, hlm. 72.
2- 88. Al-Itqân, jld. 2, bab Nau.
3- 89. Al-Mizân fi Tafsir Al-Qur'ân, jld. 13, hlm. 202.
4- 90. Ibid., jld. 15, hlm. 125.

kalangan tertentu, dan tetap memerhatikan taraf pemikiran masyarakat umum, dan dari sisi lain, pemahaman umum manusia yang tidak melampaui lapisan indrawi alam materi, maka teknik perumpamaan itu diperlukan guna memahamkan makna abstrak kepada masyarakat umum.(1) Ketelitian Allamah Thabathabai tampak lebih tajam lagi tatkala ia menafsirkan ayat, “Dan itulah perumpamaan- perumpamaan yang Kami berikan kepada manusia, dan tidak akan memahaminya kecuali orang-orang yang mengerti” (QS.

Al-`Ankabut [29: 43). Di sana ia menuliskan:

Benar bahwa perumpamaan Al-Qur'an adalah umum dan untuk masyarakat umum. Akan tetapi, sebagaimana kandungan ayat di atas, menguasai hakikat makna dan inti maksudnya adalah kekhusus- an bagi pengemban ilmu dan kaum bijak bestari.

Mereka mampu mencapai hakikat realitas dan inti makna dengan cara kontemplasi dan penalaran terhadap perumpamaan setelah melintasi jalur jumud makna literal.(2) Isti'arah Secara leksikal, isti’arah (figurasi) ialah mencari pinjaman. Para ahli kesusastraan mendefinisikan isti’arah sebagai penggunaan sebuah kata pada selain makna konvensionalnya lantaran ada semacam relevansi (keserupaan). Dengan kata lain, isti’arah adalah satu bentuk majâz mursal. Di dalamnya terdapat satu dari dua

p: 249


1- 91. Ibid., jld. 3, hlm. 63.
2- 92. Ibid., jld. 16, hlm. 132.

elemen tasybih. Selain nilai artistik dan estetiknya, penggunaan seni sastra bahasa ini dapat meringankan bobot makna dan menyederhanakan maksud transenden yang melampaui iklim pemikiran manusia dan tidak tertuang dalam kata.

Misalnya, kehidupan diisti’arahkan dengan ilmu dan hidayah:

>> Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan .... (QS. Al-An'am [6]: 122).

Air sebagai sumber kehidupan materiil diisti’arahkan untuk syariat sebagai sumber kehidupan ruhani:

Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, Maka arus itu membawa buih yang mengambang. dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan- perumpamaan (QS. Al-Ra'd [13]: 17).

Perniagaan diisti’arahkan untuk sikap berpaling dari hidayah dan mengambil jalan kesesatan:

p: 250

Mereka Itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk (QS. Al- Baqarah [2]: 16).

Kinayah Secara etimologis, kinayah (metonim) berarti pembicaraan yang tidak tampak. Akan tetapi secara terminologis, ia berarti suatu ucapan yang mengandung dua makna dekat sekaligus jauh, namun di antara keduanya terdapat korelasi yang kuat. Seseorang akan mengungkapkan perkataan kinayah agar penyimak atau pendengar dapat memahami makna yang jauh/asing melalui makna yang dekat/akrab. Misalnya, tangan panjang adalah kinayah untuk tindakan merampas hak orang lain. Demikian pula “menghadapkan wajah ke orang lain” dan “membelakangi kiblat” dalam bait berikut ini adalah satu bentuk kinayah tentang hipokrasi:

Sufi-sufi hadapkan wajah ke publik kala shalat belakangi kiblat.

Dalam Al-Qur’an pun terdapat kinayah. Ia menggunakan teknik ini, misalnya, dalam menjelaskan hubungan seksual dengan kata-kata seperti: menyentuh, meraba dan bergaul:

Atau kamu telah menyentuh istri .... (QS. Al-Nisa' [4]: 43).

p: 251

Begitu pula dalam menjelaskan kisah Zulaiha dan Nabi Yusuf as, Al-Qur’an menggunakan kata murâwadah (berjalan lalu-lalang). Bahkan tanpa menyinggung keindahan paras sang nabi, Al-Qur'an sekilas saja menerangkannya dengan kinayah:

Maka tatkala wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepadanya, dan mereka melukai (jari) ta- ngannya dan berkata, "Mabasempurna Allah, ini bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang mulia” (QS. Yusuf [12]: 31).

Duduk di atas singgasana merupakan kinayah dari kekuasaan, ketuanan dan kerajaan. Sebagaimana 'tangan’ juga sebentuk kinayah dari kebesaran dan keagungan kudrah Allah SWT.:

(Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas 'Arsy (QS. Thaba [20]: 5).

Di Tangan-Nyalah kekuasaan .... (QS. Al-Mulk [67]: 1).

Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya (QS. Al- Zumar [39]: 67).

Dalam menafisrkan ayat di atas, Zamakhsyari menuliskan:

Dengan ungkapan ini, kebesaran Tuhan menjadi begitu jelas menjelma di hadapan kita, dan dengan

p: 252

ungkapan itu pula Dia menyadarkan manusia akan kebesaran diri-Nya. Sebab, dalam perkara besar dan dahsyat, pikiran dan pemahaman manusia seakan berada dalam kebingungan, belum lagi ketajaman akal sebegitu mudah luluh menjangkaunya. Maka, mereka mau tidak mau harus menuangkan perkara tersebut ke dalam kata kalimat melalui teknik penyerupaan dan ilustrasi. Ini yang kemudian ditelaah dalam sebuah cabang sastra Arab, yaitu ilmu Bayan. Meski begitu, sejak dahulu sudah banyak langkah terjebak dalam proses penuangan itu. Karena tidak cermat dan kurang mengkaji, sebagian orang mengamalkan pemahaman keliru terhadap ayat dan riwayat. (1) Demikian pula Tabarsi mengatakan:

Ungkapan kinayah ini sudah biasa dipergunakan dalam proses komunikasi dan interaksi kita dan sesuai dengan percakapan bahasa keseharian kita.(2) Dengan teknik kinayah, Al-Qur’an mendekatkan kondisi kebahagiaan tinggi spiritual alam akhirat dan bencana pedih di sana dengan kebahagiaan dan penderitaan yang dirasakan di dunia ini:

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas

p: 253


1- 93. Al-Kasysyâf, jld. 4, hlm. 243.
2- 94. Majma' Al-Bayân, jld. 7-8, hlm. 508.

langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertidakwa (QS. Al Imran [3]: 133).

Dalam tafsiran terhadap ayat di atas ini, Allamah Thabathabai mengatakan:

Ungkapan ini seolah-olah kinayah dari hamparan yang luas hingga di luar bayangan manusia.(1) Hal serupa juga diuraikan oleh Tabarsi, misalnya dalam menaf-sirkan ayat: “Ingatlah suatu hari dimana betis kaki- kaki telanjang (karena rasa takut)” (QS. Al-Qalam [68]: 42).

Ia menuliskan:

Kalimat ini adalah kinayah dari dahysatnya cekaman kondisi pada saat itu.(2) Sementara itu, Zamakhsyari menyatakan:

Ayat ini adalah sebuah sebuah perumpamaan untuk menerangkan betapa keras dan dahsyatnya pengalaman itu. Sebagaimana dalam kondisi sukar, perempuan mengangkat bagian bawah pakaiannya sambil lari hingga tampak betis kakinya, sekalipun kenyataannya di hari itu memang tidak ada perkara betis atau mengingkap betis.(3)

p: 254


1- 95. Al-Mîzân fi Tafsîr Al-Qur'ân, jld. 4, hlm. 18.
2- 96. Majma Al-Bayân, jld. 9-10, hlm. 339.
3- 97. Al-Kasysyâf, jld. 2, hlm. 593.

Dalam menjelaskan keterikatan kuat orang-orang yang berorientasi pada materialisme, keduniaan dan menjauh dari spiritualitas, Al-Qur'an menggunakan tsaql ‘berat, sebuah kata yang sanggup menerangkan betapa beban keterpurukan dan hasrat dunia mereka menyesaki kedalaman emosi penyimaknya:

mereka bagaikan beban berat yang menghunjam bumi hingga tidak lagi berkutik:

Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu, "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah", lalu kamu merasa berat di atas bumi .... (QS. Al-Taubah [9]: 38).

Pernyataan Al-Qur'an sekaitan dengan kecil dan remehnya kematian orang-orang sombong terasa begitu indah dan memikat: seolah-olah kematian mereka tidak meninggalkan getaran apa pun di permukaan air:

Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan mereka pun tidak diberi tangguh (QS. Al-Du- kban [44]: 29).

2. Pengetahuan Nabi yang Ummi

Semua karya tulis adalah produk intelektual dan kejeniusan otak manusia, dan pada saat yang sama, menunjukkan ruang lingkup pengetahuan dan wawasan yang terbatas. Sebuah buku menjadi indikasi atas pengetahuan yang relatif dan terbatas

p: 255

para penciptanya. Hingga kini, tidak ada satu pengalaman sejarah manusia yang melaporkan bahwa proses kejeniusan mental seorang manusia adalah penguasaan intelektualnya terhadap segenap rahasia alam realitas. Seorang jenius bukanlah manusia yang memegang kata pamungkas dalam setiap bidang pengetahuan. Justru sebaliknya, setiap pakar mengakui kekurang- an pada ilmu pengetahuan dan keterbatasan mereka dalam menjangkau hamparan luas bidang-bidang yang masih misterius.

Walaupun demikian, masih ada sebuah kitab di dunia ini yang menjadi pusat perputaran tidak berhingga, keluasan dan ragam subjeknya yang tidak terliput. Itulah Al-Qur'an yang mulia. Sang pencipta manusia telah menurunkannya ke dalam hati seorang utusan yang buta aksara (ummi) hingga ia bisa memanfaatkannya. Di dalamnya tidak ada satu noktah yang tertinggal untuk umat manusia agar beramal dan menempuh tujuan hidupnya:

Dan Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) sebagai penjelas segala sesuatu (QS.

Al-Nahl [16]: 89).

Sang ummi berkata dengan bahasa fasih Dari huruf Alif Adam dan Mim Masih Nidzami

p: 256

Al-Qur'an sebuah paket lengkap yang kaya akan pengetahuan yang dibutuhkan umat manusia dalam berbagai bidang pemikir- an, kepercayaan, pandangan dunia seputar awal dan akhir alam, manusia, sistem perilaku dari berbagai dimensi kehidupan individu, sosial, materi, ruhani, dunia dan akhirat. Tentu saja, sekadar menggali kandungan dan menyusun subjek yang terdapat dalam Al-Qur'an di luar dari kemampuan seorang manusia.

Dewasa ini, setelah sekian abad dari sejarah penurunan Al- Qur’an, ada perkembangan dan kemajuan pesat budaya dan ilmu pengetahuan di berbagai bidang, disertai dengan pembentukan aneka asosiasi raksasa intelektual dan sains di sekian cabang ilmu teologi, humaniora, dan fisika. Mereka senantiasa melakukan telaah secara ekstensif dengan fasilitas yang sangat memadai dan kerjasama dengan berbagai pusat. Akan tetapi, mereka sendiri menyadari bahwa produk intelektual dan sains mereka tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan keagungan ilmu Al-Qur'an. Kemukjizatan Al-Qur'an dalam hal ini ialah menerangkan ragam pengetahuan, mengetengahkan ilmu yang tidak tertandingi, sumber hidayah dan pembinaan. Kekayaan ini tidak dapat diraih manusia hanya dengan mengandalkan dasar-dasar pengetahuannya.

... Dia mengajarkan kalian apa-apa yang tidak kalian ketahui (QS. Al-Baqarah [2]: 151).

p: 257

Tuhan dalam Pandangan Al-Qur'an Dalam perbandingan dengan segenap kontemplasi dan kedalam- an jelajah pengetahuan manusia seputar sumber kejadian alam semesta, Tuhan alam dalam perspektif Al-Qur’an memiliki keistimewaan yang sangat menonjol. Tuhan quranik adalah Zat Satu Yang Kaya akan segenap kesempurnaan eksistensial, Yang Suci dari pelbagai kekura-ngan dan segi-segi makhluk yang mungkin.

Dan bagi Allahlah nama-nama terbaik (QS. al- A’raf [7]: 180).

Walaupun memiliki kedekatan eksistensial dan peliputan emanatif, Dia jauh lebih unggul dari daya minim khayal manusia.

Dia pencipta sekaligus pengelola segenap alam wujud. Sementara alam wujud senantiasa bergantung keberadaannya pada Wujud- Nya, “Setiap hari, Dia dalam perkara.” Hai segenap wujud, dari-Mu semua ada tanah lemah darimulah menjadi kuat.

Semua makhluk bertahan di bawah naungan-Mu dengan-Mu kami ada, karna Engkaulah ada dengan Sendiri.

Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya

p: 258

melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya (QS.

Al-Ruum [30]: 8).

Dan sesungguhnya karunia Tuhanmu tidak pernah terputus (QS. Al-Irsa' [17]: 20).

Inti kekuasaan adalah rahmat dan berkah hakikat mentari adalah kecemerlangan.

Syahreyar Tauhid menurut Al-Qur'an adalah mengesakan Allah dalam penciptaan, pengaturan dan penyembahan. Tingkatan tauhid ini tidak dapat dipecah-pecah. Dalam rangka menunjukkan jalan menuju pengenalan Allah, Al-Qur’an memperkenalkan semua jalan alam luar dan jalan jiwa, yaitu penyucian dan rasionalitas mendalam, kepada umat manusia.

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda- tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (QS. Fush-shilat [41]: 53).

Apakah tentang Allah terdapat keraguan?! Dialah pencipta langit dan bumi ... (QS. Ibrahim [14]: 10).

p: 259

Al-Qur’an mengakui tauhid sebagai sebuah prinsip yang sesuai dengan akal demonstratif yang bertabur nilai-nilai fitrah naluriah insani. Sementara syirik digolongkan sebagai bayi kelahiran tidaklid dan semata-mata praduga.

> Dia menciptidakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan dia meletidakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu, dan memperkembangbiakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptidakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata (QS. Luqman [31]: 10-11).

Ayat ini hanyalah satu dari sekian ayat yang berbicara tentang hal ini. Setelah menyinggung tindakan eksklusif Allah di hamparan alam wujud, ayat di atas secara tegas menyatidakan bahwa tindakan penciptaan itu adalah seni kreatif Tuhan yang Maha Esa. Ayat ini juga menuntut agar diajukan tuhan-tuhan yang diklaim orang sebagai sumber seni yang sama.

Tuhan dalam Al-Qur'an adalah Tuhan akal dan kebijakan; Tuhan cinta dan kerinduan; Tuhan estetika dan keindahan. Tiap elemen dan unsur alam hanyut dalam daya tarik-Nya; bergerak menuju-Nya; dan semua terikat mutlak Nya.

p: 260

Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan yang Maha Pemurah selaku seorang hamba (QS. Maryam [19]: 93).

Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan (QS. Al Imran [3]: 83).

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tidak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya dia adalah Maha Pe- nyantun lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Irsaa' [17]: 44).

Kami mendengar, melihat dan sigap kami redup diam dengan kalian yang asing.

Semua menuntut penuntun, apakah yang sadar atau mabuk semua pengorban jiwa cinta, apakah masjid atau kanisat.

Gambaran Manusia dalam Al-Qur'an Interpretasi perihal manusia, kehidupan luas dan tidak terbatas- nya serta pengenalan tentang alam akhirat adalah bentuk lain dari keagungan dan mukjizat Al-Qur'an. Sekian fokus perhatian seperti ragam dimensi badan, ruh, akal, awal, akhir, jalan dan agenda kerja manusia, atau persoalan-persoalan tentang dari

p: 261

mana kita datang, akan ke mana kita pergi, di mana kita berada, cita-cita apa yang kita kejar, bagaimana kita seharusnya dan apa yang harus kita lakukan, bahkan penjelasan tentang seluk beluk dan tahapan penciptaan janin dan kelahirannya ke dunia; semua ini merupakan tanda bukti yang menakjubkan dari keagungan Al-Qur’an di tengah studi luas tentang manusia dari sudut pandang empiris, filosofis dan mistis (irfan).

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik. Kemudian, sesudah itu, Sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di bari kiamat (QS. Al-Mukminun [23]: 12-16).

Meskipun ada ajaran dari teks agama yang telah mengalami distorsi sebelumnya, namun pada hemat Al-Qur’an, manusia tidak diciptakan dengan berlumuran kotoran bawaan; akan tetapi ia justru diperkenalkan sebagai makhluk multidimensi:

insani dan ilahi. Di samping kapasitasnya sebagai benda padat,

p: 262

makhluk tumbuh dan binatang perasa, manusia juga memiliki daya kognitif dan daya pilih. Dua unsur dasar inilah yang membuatnya berpotensi sebagai anak balig di alam, khalifah dan kepercayaan Allah serta pelukis kanvas kodrat hidupnya.

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir (QS. Al-Insan [76]: 3).

Atas dasar perspektif ini, kodrat setiap orang adalah turunan dari kehendak Ilahi yang transenden sekaligus sebagai sumber hasrat keduniaan yang terbelakang. Dengan demikian, dia bebas untuk menjatuhkan pilihannya: ke manakah akan melangkahkan kakinya.

Ada dua gema berlawanan di dunia agar kau siap memilih yang mana.

Yang satu menggema perjumpaan para petakwa yang lain menggema muslihat kaum celaka.

Jalaluddin Rumi Dan jiva ѕеrtа репуетри пааппуа (сірtааnnуа).

Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya ber- untunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguh- nya merugilah orang yang mengotorinya (QS. Al- Syams [91]: 7-10).

p: 263

Mengingat penciptaan alam semesta dan manusia berlangsung atas dasar tujuan dan Kebijaksanaan Ilahi, alam ini adalah domain aksi dan reaksi. Lebih dari alam akhirat, di dunia ini pun setiap orang akan mendapatkan hasil usaha dan dampak dari perbuatan baik atau buruk serta motifnya.

(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya) (QS. Al-Najm [53]: 38-40).

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, Maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri (QS. Al-Isra' [17]: 7).

Karna kau berbuat buruk jangan merasa aman dari derita.

Sebab alam telah dipastikan hanyalah balasan.

Tameng adalah cermin keadilan dan mungkin Dia akan tampilkan apa yang terlihat dari dirimu.

Berbeda dengan kitab-kitab suci agama dan karya tulis manusia: dimana telah mengabaikan atau bahkan tidak memberikan tempat yang selayaknya untuk bagian utama dari kehidupan manusia, yaitu Hari Kebangkitan. Penjelasan kehidupan abadi dan Hari Kebangkitan dalam Al-Qur'an menemukan keunikannya yang khas. Bahkan, hampir sepertiga

p: 264

ayatnya terfokus khusus pada subjek penting ini. Atas dasar keabadian ruh dan ketidakpunahan jiwa manusia, pentas kehidupan barzakh dan kebangkitannya ditata sedemikian mencengangkan, sementara aktor-aktor dan penata pentas komedi yang bergairah atau tragedi memilukan tidak ubahnya dengan adegan yang memberikan peringatan dan penantian.

Begitu fenomenal hingga tidak akan dijumpai skenario serupa sepanjang sejarah.

Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat). Dan bumi telah mengeluarkan beban- beban berat (yang dikandung)nya. Dan manusia bertanya, "Mengapa bumi (menjadi begini)?" Pada hari itu, bumi menceritidakan beritanya. Karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya. Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrabpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (QS. Al-Zilzalah [99]: 1-8).

Kenabian dalam Perspektif Al-Qur'an Kenabian juga menjadi bagian khas lain dari subjek penting Al- Qur'an. Prinsip ini adalah karunia Ilahi bagi umat manusia. Jika merujuk model yang dibawakan Perjanjian Lama dan Perjanjian

p: 265

Baru, sebagaimana penganutnya mengklaim komitmen pada hak Allah sebagai tuhan sembahan, ternyata kenabian dan proses penerimaan wahyu bukanlah suatu keistimewaan. Peramalan, perdukunan, sihir dikategorikan sebagai bagian dari ragam derivatif dari proses penerimaan wahyu.

Dalam sistem kepercayaan ini, para nabi dan agen penerima wahyu menemukan statusnya sebagai manusia yang benar-benar biasa saja; tercemari maksiat dan dosa, pelaku perbuatan amoral dan pelanggar kehormatan diri dan martabat orang lain!(1) Tipu muslihat, bohong dan kemunafikan bahkan menjadi nilai biasa dalam pekerjaan mereka.(2) Digambarkan, adakalanya mereka saling mengutuk pada saat mereka sama-sama mengklaim sebagai nabi atau rasul!(3) Mereka itu pula yang punya latar belakang kelam dan bejat dalam membunuh dan menganiaya orang lain, lalu tiba-tiba saja mereka memperoleh rahasia hakikat dan menerima derajat kenabian!(4) Semua ini merupakan cerminan dari sebuah doktrin tentang kenabian dan risalah Ilahi yang disinggung secara umum dan tanpa menyinggung masalah-masalah parsial. Ini berbeda kontras dengan persepsi Al-Qur'an: para nabi itu diutus sebagai juru penyelamat yang memberikan petunjuk kepada manusia menuju kesempurnaan insani dan mengaktualisasikan semua potensi manusia, oleh karena itu, mereka terjaga dari segala bentuk ketidaklayakan. Pada hemat Al-Qur'an, kenabian adalah karunia Ilahi yang dikhususkan bagi orang-orang berpotensi paling unggul. Dalam pandangan ini, kenabian dan penerimaan wahyu bergantung pada serangkaian kriteria substansial. Yang terutama

p: 266


1- 98. Kejadian 9: 20-27; Kejadian 19: 30-38; 49.
2- 99. Kejadian 27, 2; Samuel 11, 13, 18; Raja-raja 13; Yeremia2: 8; 23: 12.
3- 100. Markus 14: 71; Matius 16: 13, 19.
4- 101. Kisah Para Rasul 7:9.

di antaranya adalah kemaksuman dalam menerima, menjaga dan menyampaikan wahyu Ilahi secara penuh dan utuh. Selain itu, berdasarkan hukum akal dan agama, adalah kemaksuman dalam konteks pengamalan tugas-tugas pribadi.

(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada Rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga- penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah me- nyampaikan risalah-risalah Tuhannya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu per satu (QS. Al-Jin [72]: 26-28).

Gambaran Al-Qur'an tentang pola hidup intelektual (teoretis) dan praktis para utusan Tuhan menjabarkan kualitas diri mereka sebagai manusia terbaik, tersuci dan terpercaya.2 Merekalah para ksatria sejati yang mengukuhkan retorika dan tindakannya sebagai simbol tauhid dan manifestasi sifat-sifat Tuhan:

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, "Bahwasanya tidak ada Tuban (yang bak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku olehmu sekalian" (QS. Al- Anbiya' [21]: 25}.

p: 267

Berbekal kesempurnaan akal, fitrah, ketulusan, kejujur- an, dan kesucian, para rasul adalah manusia-manusia yang paling berperihati dan penuh kasih terhadap umatnya, figur serta keteladanan seutuhnya pengetahuan dan upaya dalam memakmurkan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat.

Tidak ada kata-kata dan perilaku dari mereka selain kebenaran dan amal kebaikan:

Dan Kami telah memberikan kepada-Nya (Ibrahim) Ishak dan Ya'qub, sebagai suatu anugerah (daripada Kami). dan masing-masingnya Kami jadikan orang- orang yang saleb. Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah (QS. Al- Anbiya' [21]: 72-73} Manusia insani, dialah manusia ilahi seperti Haq, melampau di atas keutamaan Makrifat Tuhan, karna itu, jangan lewat manusia sebab mereka hadir selayak panji makrifat Razi Syirazi

p: 268

Dalam mengemban amanat tauhid dan demi keridhaan Allah, mereka telah siap menanggung banyaknya beban berat segala macam tekanan, pengusiran, hujatan, dan aneka kesulitan.

Ya, mereka inilah yang layak menerima wahyu dan pelaksana amanah yang hak:

Allah Maha Mengetahui di mana Dia akan menetapkan risalah-Nya (QS. Al-An'am [6]: 124}.

Ilmu Al-Qur'an dan Rahasia Penciptaan Mengenal alam dan isyarat-isyarat ilmiah Al-Qur'an menyangkut misteri dan rahasia yang tersembunyi dalam jantung ciptaan adalah sudut lain dari keagungannya yang luar biasa. Ia adalah kitab suci yang diturunkan untuk memberi hidayah dan mendidik manusia. Ya, Al-Qur'an adalah anggaran dasar pendidikan insani; ia bukan buku untuk mengenal alam. Akan tetapi, mengingat penciptanya adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui rahasia dan misteri alam semesta, sudah tentu butir-butir hakikat di medan realitas sesuai subjek yang terkait bertaburan dalam kalam-Nya sebagai akuarium rahasia tata cipta kehidupan:

Katakanlah, "Al-Qur'an itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Furqan [25]: 6}.

p: 269

Lembaran rahasia cipta kehidupan yang labil Berkat kekuatan-Nya ‘kan kokoh stabil.

Telaah atas sejumlah contoh ayat di atas akan menjadi fokus tadabur. Tentang keluasan alam semesta, Allah berfirman:

Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (QS. Al-Anbiya' [21]: 30}.

Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguh-nya Kami benar-benar berkuasa (QS. Al-Dzari- yat [51]: 47}.

va541:30}.

Tentang daya gravitasi universal alam:

Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat (QS. Al-Ra'd [13]: 2).

Tentang sistem umum perpasangan:

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan (QS. Al-Dza-riyat [51]: 49}.

Dan yang menciptakan semua yang berpasang-pa- sangan (QS. Al-Zukh-ruf [43]: 12}.

p: 270

Dia ciptakan alam lebih dari pasangan Yang tidak terwujud lebih dari satu pasangan.

Setiap ciptaan niscaya tercipta berpasangan Dia mencipta terkuaklah rahasia terpendam.

Firdausi Tentang pusat pembentukan nutfah laki-laki dan perempuan:

Maka hendaklah manusia memerhatikan: dari apakah dia diciptakan. Dia diciptakan dari air yang dipancarkan. Yang keluar dari antara tulang sulbi (laki-laki) dan tulang dada (perempuan) (QS. Al-Thariq [86]: 5-7}.

Bila engkau pencemar kesucian bagai setetes air bertemu tanah.

Attar Naisyaburi Al-Qur'an dan Filsafat Sejarah Studi sejarah, penelitian filsafatnya, dan hukum yang dominan atas kehidupan sosial manusia, juga bagian dari keindahan Al-Qur'an. Kitab suci ini juga menampilkan sekian rahasia terpendam di ruang redup sejarah berbagai bangsa dan kaum terdahulu, pentas-pentas misterius pengalaman masa silam seperti: gelinjang pikiran Yusuf di dalam sumur dan penjara, aneka lembaran dialog serba tertutup Ashabul Kahfi, Musa dan

p: 271

Hidhir, Ibrahim dan Ismail, hingga Adam dan Hawa. Ini semua dalam rangka menanamkan nilai pembinaan dan pelajaran:

Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesung-guhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertidakwa (QS. Hud [11]: 49}.

Dari titik sebaliknya, Al-Qur'an juga memperperbaiki fakta sejarah yang dijungkirbalikkan: mendekonstruksi dan meluruskan banyak distorsi yang diguratkan tangan kekuasaan busuk di atas dahi manusia-manusia suci:

Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik (QS.

Al Imran [3]: 67).

Dan (Ingatlah) ketika Allah berfirman, “Hai Isa putra Maryam! Ada-kah kamu mengatakan kepada manusia, 'Ja- dikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?' Isa menjawab, “Mahasuci Engkau, tidaklah perlu bagiku menga- takan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan, tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada

p: 272

diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui per- kara-perkara yang gaib'" (QS. Al-Maidah [5]: 116}.

Studi sejarah dalam Al-Qur'an adalah gambaran tentang kehidupan manusia-manusia mulia dan orang-orang kotor, keterangan tentang perlbagai sikap dan pendirian, rekomendasi figur-figur baik dan buruk. Ia bukan kisah tentang keturunan dan kelahiran orang-orang serta penguasa.

Perspektif kesejarahan Al-Qur'an telah membuka ufuk baru, terfokus pada hukum-hukum pasti dalam alur filsafat sejarah, faktor jatuh-bangunnya peradaban, kepunahan masyarakat, dan kemenangan abadi pejuang kebenaran atas kekuatan zalim. Inilah ufuk yang tidak terjangkau ketajaman laboratorium ilmuwan ataupun ketelitian analisis sosiolog. Atas dasar inilah Nabi SAW memberi kabar baik tentang kemenangan atas kekuatan dan keperkasaan musuh:

Atau apakah mereka mengatakan, “Kami adalah satu golongan yang bersatu yang pasti menang." Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang (QS. Al-Qamar [54]: 44-45}.

Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya- Nya, walau orang-orang kafir membencinya. Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas seluruh agama meskipun orang musyrik membenci (QS. Al-Shaff [61]: 8-9).

p: 273

(Kitab dan mukji-zatmu kutinggi kan Kucegah penambah dan pengurang Qur- an. Siapa coba mengurangi dan menambahn dari Aku, Sang Penjaga,jangan coba cari ampunan).

Sebuah pelita yang dinyalakan Tuhan membakar jenggot yang meniupnya.

Sesungguhnya Kami pasti menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat) (QS. Al-Ghafir [40]: 51}.

Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. adapun buih . itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi (QS. Al-Ra'd [13]: 17}.

Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguh-nya Kami benar-benar memeliharanya (QS. Al-Hijr [15]: 9}.

Kitab dan mukjizatmu kutinggikan Kucegah penambah dan pengurang Quran.

Siapa coba mengurangi dan menambahkan dari Aku, Sang Penjaga, jangan coba cari ampunan.

Sesungguhnya bumi (ini) milik Allah, dipusakakan- Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba- hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al-A'raf [7]: 128}.

p: 274

Nilai-nilai Agung dan Luhur Sistem nilai Al-Qur'an pada gilirannya juga manifestasi lain dari ajaran yang kokoh, menjulang dan tidak tergantikan. Sejarah dan kehidupan manusia di muka bumi telah menyaksikan sebegitu banyak aliran dan ideologi bangkit: masing-masing merumuskan teori dan pandangan semata-mata teoretis, akan tetapi kehilangan anggaran praktis dan sistem nilai yang koheren, progresif, unggul dan energis dalam berinteraksi dengan tuntutan dan kebutuhan hidup yang rasional.

Sesuai kodrat alami, keterbatasan esensial dan ketidakmampuannya menjangkau rahasia dan detail kehidupan, manusia tidak akan sanggup mengelola agenda kehidupannya secara menyeluruh. Lebih dari itu, kekurangan substansial, kecenderungan subjektif pribadi, keluarga, etnis, dan lain-lain juga menjadi kendala serius dalam merancang sebuah sistem yang adil yang mengatur interaksi kehidupan. Akan halnya Al-Qur’an adalah kitab petunjuk dan undang-undang praktis yang menuntun manusia bagaimana menyelenggarakan berbagai interaksi dengan diri sendiri, Tuhan, dan sejenisnya serta semua individu masyarakat. Seni kitab Ilahi ialah mengakomodasi segenap gejala interaktif kehidupan manusia dalam sebuah paradigma yang holistik dan koheren.

Berbagai sistem moral dan hukum yang berhubungan dengan kehidupan individu, sosial, ekonomi, politik, atau bidang-bidang lain dikelola Al-Qur’an. Ini karena kapasitas- nya yang menjangkau seluruh medan kehidupan rasional manusia; tidak ada satu lini yang lepas dari fokusnya. Fakta

p: 275

ini menempatkan posisinya di titik sentral sekian banyak entri telaah dan subjek utama dalam penyusunan jumlah besar buku di bidang-bidang tersebut. Undang-undang praktis Al-Qur'an, selain bersifat universal, juga memerhatikan kemaslahatan hakiki segenap manusia, apakah mereka itu lelaki atau perempuan, tua atau muda pria dan wanita, bahkan anak-anak, dari balik sudut pandang yang adil dan realistis.

Di samping semua di atas, ada sebuah poin yang tidak bisa begitu saja diabaikan, bahwa dalam sistem undang-undang Al-Qur’an, tinjauan spiritual dan konsentrasi pada kehadiran Tuhan dalam aspek kehidupan individu dan sosial, demikian pula kesadaran responsi-bilitas yang terus menerus senantiasa menjadi dasar perhatian paling utama: hal yang terbengkalai dalam pembuatan undang-undang positif manusia. Berbagai tema tentang kesucian, shalat, zakat, khumus, puasa, haji, itikaf, jihad, perdamaian, amar makruf dan nahi munkar, waris, peradilan, kesaksian, hukum pidana, sanksi, qishash, syuf'ah, ghasab, menggarap tanah mati (yang tidak bertuan], makanan, minuman, perniagaan, penggadaian, hak kuasa, jaminan, sarikat, investasi, pertanian, pengairan, pertitipan, perpinjaman, persewaan, perwakilan, wakaf, hibah, perlombaan, wasiat, pernikahan, perceraian, li’ân ‘perlaknatan’, perbudakan, persumpahan, perikraran, nazar, dan tema-tema lain yang berlaku umum dalam pranata hukum Islam: semua ini bukti konkret atas keagungan dan paradigma yang secara komprehensif mencakup segala aspek kehidupan manusia, dari sejak masih bayi dan

p: 276

bahkan sebelum fase itu, memilih pasangan hidup, berumah tangga, sampai kehidupan abadi pascakematian.

Kenyataan ini juga terdukung kuat sejenak saja mencermati tema-tema moral dan sumber-sumber akhlak Islam yang berbasis pada Al-Qur'an dan Sunah. Sebagai contoh, setiap golongan dan jenis audiensi apakah pria atau wanita, anak-anak, tua atau muda: mereka semua mendapatkan perhatian secara imbang dan adil. Terlebih lagi, dalam sistem undang-undang Al-Qur'an, tinjauan spiritual dan konsentrasi pada kehadiran Tuhan dalam aspek kehidupan individu dan sosial, demikian pula kesadaran responsibilitas yang terus menerus senantiasa menjadi dasar perhatian paling utama: hal yang terbengkalai dalam pembuatan undang-undang positif manusia.

Beberapa Model dari Nilai Luhur Al-Qur'an Berikut ini sebagian contoh dari nilai-nilai agung Al-Qur'an untuk manusia, sekaligus peringatannya terhadap perilaku anti nilai:

Seruan agar berbuat bajik dan menghindari perbuatan buruk:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelang-garan. dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa- Nya (QS. Al-Maidah [5]: 2).

p: 277

Seruan agar berbuat adil dan bajik Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan, dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS. Al-Nabl [16]: 90).

Seruan agar menjalani hidup yang mulia dan kekal Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (QS. Al-Anfal [8]: 24).

Seruan agar berpikir dan merenungi Demikianlah Kami mengurai ayat-ayat untuk kaum yang berpikir (QS. Yunus (10): 24).

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepa- damu penuh dengan berkah supaya mereka memerhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (QS. Shad [38]: 29).

p: 278

Penekanan akan kesabaran dan ketegaran dalam menghadapi rintangan ) Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari peng- ikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh).

Allah menyukai orang-orang yang sabar (QS. Al Imran [3]: 146).

Seruan agar bertawakal dan percaya pada Allah SWT Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah." Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS.

Fushshilat [41]: 30) Dan apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawa- kallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang bertawakal kepada-Nya (QS. Al Imran [3]: 159).

p: 279

Seruan agar berharap, bersemangat dan tidak putus asa Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Al-Zumar [39]: 53).

Pesan untuk awas dan kendali-diri, serta tidak lalai:

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.

Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan (QS. Al-Maidah [5]: 105}.

Seruan agar bekerja, berusaha, dan memanfaatkan potensi diri:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah

p: 280

menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik (QS. Al-Hasyr [59]: 18-19}.

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya) (QS. Al-Najm [53]: 39-40}.

Amanat yang kuat untuk berbuat baik kepada orang tua:

Dan Tubanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baik- nya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasibilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil" (QS. Al-Isra' [17]: 23-24}.

Seruan agar menjaga keseimbangan dalam ekonomi dan kehidupan hari:

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lebermu dan janganlah kamu terlalu

p: 281

mengulurkannya karena itu, kamu menjadi tercela dan me- nyesal (QS. Al-Isra' [17]: 29}.

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembe- lanjaan itu) tengah-tengah di antara yang demikian (QS.

Al-Furqan [25]: 67}.

Pesan agar tidak berbicara tanpa pengetahuan Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya (QS. Al-Isra' [17]: 36}.

Seruan untuk berdoa dan berhubungan selalu dengan Allah yang Maha Esa Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), “Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu. (Tetapi bagaimana kamu ber- ibadah kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendus- takan-Nya? Oleh karena itu, kelak (azab) pasti (menimpamu)" (QS. Al-Furqan [25]: 77}.

p: 282

Seruan untuk beribadah, menyembah Allah yang Maha Esa dan berpaling dari setan Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu, hai bani Adam, supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus (QS. Yasin (36]: 60-61}.

Ciri-ciri Khas Kandungan Al-Qur'an Pengetahuan Al-Qur'an, baik kaitannya dengan sistem keyakinan dasar dan pemikiran ataupun dengan sistem nilai dan arahan- arahan normatif, memiliki serangkaian keistimewaan yang mengunggulkan kitab suci ini di atas produk intelektual manusia dan bahkan kitab suci lain yang dinisbatkan pada agama-agama.

Di antaranya:

Pertama: Rasional dan Membina Akal Prinsip-prinsip pengetahuan dan konsep Al-Qur’an tegak kokoh di atas akal dan logika yang milik bersama semua manusia. Asas doktrin Islam, selain melawan antikebodohan, antirasionalitas, (1) antitaklid, (2) antipraduga, juga bergerak di garis produksi ilmu pengetahuan:(3) Tauhid atau kepercayaan akan keesaan Tuhan merupakan basis utama dan inti dakwah para nabi dan agama samawi. Prinsip ini sekaligus efisien sebagai eksplanasi rasional dan fondasi peng- okoh segenap sistem nilai dan tata hukum Al-Qur'an. Seluruh

p: 283


1- Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakkannya,jika ialah yang kamu hendak sembah (QS. Fushshilat [41]:37; Yunus [10]: 100).
2- Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang- orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (QS. Al-Nahl [16]: 43).
3- Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (QS. Al-An'am [6]: 116; al-Mujadalah[58]: 11)

kewajiban dan tanggung jawab yang dilahirkan sistem nilai dan menjadi subjek penelitian dalam Filsafat Moral dan Filsafat Hukum, hanya akan berarti tangguh dan tidak tergugurkan asas-asasnya manakala dibangun di atas prinsip Tauhid dan kepercayaan bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah.

Kedua: Sesuai Fitrah dan Kodrat manusia Ini juga ciri khas lain dari kandungan dan pengetahuan Al-Qur'an, yakni kesesuaian, keseutuhan dan koherensinya dengan kodrat alamiah, naluri dan fitrah karuniawi seluruh manusia. Atas dasar inilah pengetahuannya memiliki cakupan dan komprehensivitas tertentu dalam menjawab kebutuhan permanen ataupun dinamis semua orang dari berbagai ras, warna kulit, perbedaan ruang dan masa. Ia adalah hakikat universal, abadi, tetap utuh di manapun:

>> Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. Al-Rum [30]: 30).

Ketiga: Realis dan Seimbang Di tengah rentang antara ideologi-ideologi Idealisme Murni dan Materialisme Radikal, Al-Qur'an memperlihatkan kompetensinya melalui paradigma pola pandang realis terhadap

p: 284

(Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenar-nya kehidupan,kalau mereka mengetahui (QS. Al-Anka- but [29]: 64).).

hakikat manusia dan nasib panjangnya, yaitu menata tujuan hidupnya dalam sebuah klasifikasi sistematis: awal, menengah, dan akhir. Dengan demikian, Al-Qur’an mengembangkan segenap potensi esensialnya dan memenuhi hasrat eksis- tensialnya secara moderat dan proposional.

Inilah paradigma realis yang menolak pendirian antidunia, kecenderungan naturalistik dan materialistik:

Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katidakanlah, “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah Kami menjelaskan ayat- ayat itu bagi orang-orang yang mengerti (QS. Al-A'raf [7]: 32) Paradigma Al-Qur'an ini juga menghujat cinta dunia dan keterikatan jiwa kepadanya, karena gejala ini merupakan faktor penyimpangan manusia dari tujuan utama dan abadinya:

Dan tiadalah kebidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main, dan sesungguhnya akhirat

p: 285

(Semua bunyi suara ini dari Sang Raja walau keluar dari rongga budak Allah.) itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui (QS. Al-Ankabut [29]: 64).

Dalam evaluasi Al-Qur’an tentang dunia dan akhirat, seluruh fenomena dan barang dunia dipandang sebagai tanda kebesaran Tuhan dan alat efisien yang menguntungkan manusia. Dunia, menurutnya, adalah sekolah pendidikan dan lalu lintas; bukan status dan tujuan hidup.(1) Demikianlah Al-Qur'an menampilkan wajah sebuah umat yang moderat, realis, dan intelektual selayaknya figur dan kriteria bagi yang lain:

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), umat yang adil agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian (QS.

Al-Baqarah [2]: 143) Benar, semua ini dengan berbagai keunggulan keistimewaan itu telah diajarkan kepada masyarakat oleh seorang manusia yang, dalam usia demikian singkat dan sarat pengalaman, tidak pernah barang sesaat belajar di manapun pada siapa pun; tidak pernah sebaris pun menulis aksara apalagi merangkai sepenggal bait puisi:

p: 286


1- 105. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang bendoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang bendoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”. Mereka itulah orang-orang yang mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya (QS. Al-Baqarah [2]: 200-202).

Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al- Qur'an) sesuatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu; andai saja (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu) (QS. Al-Ankabut [29]: 48).

Lukisan aku yang tidak belajar dan menulis aksara laksana guru masalah seratus guru.

Karena itu, setiap yang berakal, dengan menelaah, akan mengambil arah sampai pada konklusi bahwa kalam dan kata- kata itu adalah firman Allah.

Semua bunyi suara ini dari Sang Raja walau keluar dari rongga budak Allah.

3. Utuh dari Inkonsistensi dan kontradiksi

Sejarah peradaban dan ilmu pengetahuan mencatat jumlah tidak terhitung karya ilmiah dan spektakuler sebagai produk dari kontemplasi rasional dan eksperimentasi manusia. Banyak cerdik cendekia seperti Socrates, Plato, Aristoteles, Plotemius, Pytagoras, Agustinus, Ibnu Sina, Ghazali, Farabi, Galileo, Copernicus, Newton, Einstein, dan nama-nama lain telah menancapkan kaki mereka di dunia kreatif ini sampai menghasilkan banyak karya cipta yang sangat berharga di bidang Logika, Filsafat, Astronomi, Geometrika, Matematika dan Fisika. Namun sebaliknya, setiap

p: 287

mahakarya ilmiah mereka justru menandakan kelemahan dan keterbatasan pengetahuan masing-masing pengarang.

Inilah kenyataan yang pada gilirannya diakui mereka sendiri dengan berbagai cara dan gaya ekspresi akan ketidak-lengkap- an, keterbatasan, dan kerapuhan data dan temuan mereka.

Hanya ada sebuah karya yang mengklaim komprehensivitas, kelengkapan, dan kebenaran seluruh muatannya, apakah itu berupa pernyataan deskriptif, kepercayaan demonstratif, data historis, proposisi empirik, ataupun statemen normatif:

Itukah Kitab yang tidak ada keraguan padanya (QS. Al-Baqarah [2]: 2).

Dan dengan kebenaran Kami telah menurunkannya, dan dengan kebenaran (kitab) itu telah turun (QS.

Al-Isra' [17]: 105).

Tidak ada ragu dan ubah dalam Kalam-Nya ayat-Nya tidak kuasa takwil.

Karya itu tidak lain adalah Al-Qur'an: kitab suci yang meskipun telah diturunkan lebih dari 14 abad yang silam, para ilmuwan, cerdik cendekia dunia terpukau di depan keunggulan dan kedahsyatannya. Semakin berlalunya masa dan kian canggihnya ilmu pengetahuan manusia hanya mengaksentuasi kebenaran dan kredibilitas klaim itu. Fakta ini telah diuraikan Al-Qur'an dalam salah satu ayatnya:

p: 288

Maka apakah mereka tidak memerhatikan Al- Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya (QS. Al-Nisa' [4]: 82).

Bagaimana pun, manusia juga sama seperti makhluk lain di alam ini: tumbuh dan berkembang dan menyempurna secara bertahap, dan memperoleh pengalaman serta kecakapan lebih matang dengan berlalunya masa. Yakni, evolusi gradual.

Walaupun demikian, tidak akan ditemukan satu manusia hingga mampu menguasai segenap cakrawala dan totalitas ilmu pengetahuan. Tidak sekedar itu, eksistensi dirinya akan selalu menyertai aneka misteri yang tidak terhingga (keterbatasan dan kekurangan).

Karena keterbatasannya di alam natural, manusia secara tanpa ikhtiar jatuh di bawah pengaruh berbagai kondisi lingkungan hidupnya. Ada dan tidaknya dukungan faktor-faktor lingkung- an, kemudahan dan kesusahan, kebugaran dan penderitaan, kecukupan dan kekurangan, kedamaian dan konflik, ... masing- masing efek ini meninggalkan kesan khas pada kejiwaan dan pemikiran seseorang. Yakni, realita keterpengaruhan.

Kemudian, jika kita menjumpai seseorang yang, sepanjang 23 tahun dari masa hidupnya, mengalami dalam berbagai gelombang siksa kesendirian, pelecehan, gangguan fisik, tekanan mental, pengasingan, embargo ekonomi, kemiskinan, peperangan, kekalahan, terbunuhnya kawan dan kekasih,

p: 289

lalu kemenangan, pembentukan rezim yang berdaulat dan terhormat; pada saat yang sama tuturan dan pernyataannya senantiasa konsisten, kokoh, kohesif, dan cemerlang, tentu saja kekayaan pengalaman manusia demikian merupakan bukti bahwa semua perkataannya bukan produk pikiran dan rekayasa kehendak pribadinya.

Bangsa manusia misi terakhir pengembannya rahmat semesta.

Di sepanjang lintasan luas waktu dan aneka ragam kondisi sosial, Al-Qur'an hadir dan diakses. Dari sisi lain, kitab samawi ini berbivara tentang medan tanpa batas proses kesempurnaan hidup manusia. walaupun demikian, dua tonggak penegak substansi teks ini, yaitu konstruksi bahasa, gaya ekspresi ayat dan surah, isi yang mendalam dan anasir literal yang kaya dan terpadu utuh, koherensi, kohesi, serta nilai estetisnya: semua kualitas dan kriteria ini terpelihara tetap murni.

Konsistensi gaya bahasa, isi kandungan, resistensinya terhadap situasi-kondisi eksternal, keutuhan dari pertentangan dan kekacauan, adalah bukti bahwa pesan kalam ini merupakan wahyu Tuhan, bukan ucapan manusia. Inilah ciri khas ketiga dari kalam Ilahi dan dimensi lain dari kemukjizatan dan penantangan Al-Qur'an.

p: 290

MUKJIZAT DALAM LINTASAN SEJARAH Abad XIV Abad ini bisa dikatakan sebagai periode paling produktif dan semarak dalam menggelar berbagai topik pembahasan seputar mukjizat. Topik ini lebih banyak mengemuka berkat kebangkitan kaum Muslimin, kemunculan isu-isu baru, dan aneka tantangan serius antara ilmu dan agama di masa itu. Dalam situasi seperti ini, setiap Muslim yang berpikir progresif berusaha keras mempresentasikan keunggulan dan superioritas Quran.

Tentu saja, ada juga sekelompok dari mereka yang berusaha hingga, menurut hemat mereka, meyakinkan keagungan Al-Qur'an tanpa memasang tema ‘mukjizat', yaitu dengan cara membuktikan kesesuaian antara ilmu modern dan kandungan Al-Qur'an. Ini seperti yang dilakukan oleh Abdullah Fikri Pasha dalam memadukan ilmu Astronomi Modern dengan Al-Qur'an, Mahmud Shadiqi dalam Durûs Sunan Al-Kâ'inât, Thanthawi dalam Al-Jawahir fi Tafsîr Al-Qur’ân, Ali Fikri dalam Al-Qur'ân Yanbû” Ulûm Al-Irfân, Mahdi Istanbuli dalam Dîn Al- Ghad dan Mu'jizat Al-Qur’ân fi Al-'Ilm Al-Siyâsah wa Al- Ijtimâ, Maurice Bucaille, dan nama-nama pakar lainnya.

Semua peneliti Al-Qur’an abad ini tidak seragam dalam menempuh metode penelitian. Sebagian mereka melangkah secara ekstrem, namun sebagian yang lain konsisten pada logika dan argumentasi ilmiah. Ada pula

p: 291

sekelompok dari mereka yang mengkaji mukjizat dari berbagai sisi dengan metode baru, dan mempelajari ayat-ayat Al-Qur'an dari pola pandang analitis, serta memperlihatkan nilai-nilai keagungannya, seperti Shadiq Rafi'i, Amin Khuli, Sayyid Hibatuddin Syahristani, Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, Allamah Murtadha Muthahhari, Sayyid Quthub, Dr.

Abdullah Darraz, Dr. Muhammad Said Ramadhan Buthi dan Ayatullah rifat.

Musthafa Shadiq Rafi’i (1323 H) dalam karyanya tentang kemukjizatan Al-Qur'an, yaitu Ijaz Al-Qur’an wa Al-Balaghah Al-Nabawiyyah,(1) memandang bahwa lirik melodius, irama musikal kata-kata dan kemukjizat- an ilmiah adalah fokus perhatian Al-Qur’an.(2) Dia mengatakan, “Orang-orang Arab terbiasa saling mengajak beradu puisi kasidah dan retorika. Demikian pula Al- Qur'an menantang mereka dengan cara-cara seperti itu untuk mendatangkan serupa kitab suci ini atau sebagian darinya, kemudian memberitahukan bahwa mereka tidak akan mampu melakukannya dan mengancam mereka dengan azab yang pedih karena keras kepala dan pendirian membatu mereka terhadap kebenaran.

Kemudian kaum musyrikin mengangkat pedang dan mengumumkan perang ketika menyaksikan kemampuan dan ambisi diri mereka ternyata tidak menjangkau ketinggian ufuk Al-Qur'an. Mereka juga tidak berdaya ketika dihadapkan dengan gaya bahasa Al-Qur'an yang

p: 292


1- 106. Beirut, Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1393 H.
2- 107. Ijaz Al-Qurần, hlm. 222.

menggunakan huruf dan kata yang tidak asing baginya dan menyaksikan kehinaan para sastrawannya. Jajaran elite sastrawan Arab menjadi benar-benar putus asa untuk mendatangkan yang sebanding Al-Qur’an tatkala menyaksikan kualitas bahasanya sebegitu rupa hingga menguasai hati dan pikiran.

Kenapa demikian? Apa rahasia kemukjizatan Al- Qur’an? Pada dasarnya, rahasia kemukjizatan Al-Qur'an tidak dapat dengan mudah dijelaskan begitu saja, karena kitab samawi ini simbol kehidupan dan keabadian. Salah satu dari rahasia-rahasia kemukjizatan Al-Qur'an adalah lirik (nazdm) dan gaya bahasa (uslûb).

Suatu tuturan bahasa akan tersusun dari tiga unsur:

huruf-huruf yang tersusun dari warna bunyi (morfem), kata yang terdiri dari huruf-huruf, dan kalimat yang merupakan keutuhan bahasa. Ketika Al-Qur’an dikete- ngahkan kepada orang-orang Arab, huruf, kata dan kalimatnya memiliki sejenis bunyi melodius, koherensi, kepaduan dan pengaruh pada jiwa; kenyataan yang tidak mereka temukan tutur bahasa yang sederajat dengan kepaduan irama itu. Kemudian Rafi'i menguraikan ciri- ciri khas huruf-huruf dan aneka warna bunyinya serta metode komposisinya.

Di bagian lain dari pernyataanya, Rafi'i menjelaskan aktualitas Al-Qur'an yang tidak pernah usang; ia tidak akan menjadi kuno. Poin inilah yang lalu diyakininya

p: 293

berasal dari lirik prosa Al-Qur'an, karakter musikal, koherensi dan komposisi huruf-hurufnya.(1) Bagian fundamental dari penjelasan Rafi'i terletidak pada pengaruh luar biasa Al-Qur’an terhadap hati dan akal pikiran manusia. Keagungan serbadahsyat Al-Qur'an ditandai dengan kekuatannya menyelami kedalam jiwa.

Tentu saja, pemikiran seperti ini telah banyak dipaparkan sebelum Rafi'i, baik dari kalangan orang-orang yang mengimaninya maupun dari kalangan mereka-mereka yang menantang Al-Qur'an, dengan beragam bahasa dan aksentuasi.

Demikian pula setelah zaman Rafi'i, ada sejumlah nama peneliti seperti: Farid Wajdi, yang menelaah lebih mendalam pemikirannya. Dalam penelitiannya, Wajdi berusaha mengungkap bahwa seindah apa pun suatu tutur bahasa pasti akan kehilangan pengaruh dan kesegaran awalnya ketika diulang. Namun, apa gerangan yang membuat Al-Qur'an senantiasa kuasa meluluhkan hati dan memukau akal pikiran para pembacanya? Ya, itu karena Al-Qur'an adalah kalam Tuhan dan suatu ruh yang diturunkan atas perintahnya.

Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu rub (Al-Qur'an) dengan perintah Kami (QS.

Al-Syura [42]: 52).

p: 294


1- 108. Ijaz Al-Qurân, hlm. 209.

Keruhanian inilah yang mampu menaklukkan hati, menguasai segenap sudut kehidupan, emosi dan jiwa manusia, menciptakannya sebagai sosok baru. Ini sebagaimana Al-Qur'an juga, dengan ruh dan spirit baru dan kaya, telah mengangkat ke puncak piramida kehidupan orang-orang Arab yang sebelumnya beku dan terbelakang. (1) Allamah Syekh Muhammad Husain Kasyif Githa’ (1373 H) adalah seorang ulama besar Syi'ah yang memiliki interpretasi yang perlu dicermati khusus tentang kemukjizatan Al-Qur'an. Sebelum menjelaskan kemukjizatan Al-Qur'an dan tahaddî (penantangannya), dia mengidentifikasi kefasihan, keindahan sastra yang luar biasa, lirik, gaya bahasa yang tidak tertandingi, berita gaib tentang masa silam dan akan datang sebagai dimensi-dimensi kemukjizatan Al-Qur'an.(2) Sayyid Quthub (1386 H) seorang penulis dan peng- arang tafsir terkenal, Fî Zdilâl Al-Qur’ân, juga dalam dua karyanya, Al-Tashwîr Al-Fannî fi Al-Qur'an dan Masyâhid Al-Qiyâmah fi Al-Qur'ân, mengurai kemukjizatan bahasa Al-Qur’an dengan eksplanasi yang terbilang baru dan sarat emosi yang meluapkan cinta. Indah dan menarik untuk dibaca. Dia menyimpulkan bahwa Al-Qur'an seolah- olah berdialog dengan hati manusia. Keunikan ini yang kemudian dia digambarkan dengan berbagai ungkapan seperti: “Itu adalah model deskripsi dan presentasi melalui imajinasi dan ilustrasi”.(3)

p: 295


1- 109. Dâ'irah Al-Ma'arif Al-Qur'ân Al-'Isyrîn, jld. 7, hlm. 977, kata kepala a.
2- 110. Al-Dîn wa Al-Islâm, jld. 2, hlm. 53.
3- 111. Al-Tashwîr Al-Fannî fi Al-Qur'ân, hlm. 193.

Pada hemat Sayyid Quthub, nilai seni dalam Al-Qur'an adalah pilar dan fondasi kemukjizatannya, sedangkan inovasi, demonstrasi, keindahan dan kekokoh- an merupakan bagian dari karakter istimewa kitab suci in.(1) Ketiga karakter khas ini terbentuk dari daya cipta artistiknya dan sumber pengaruh magnetisnya.(2) Beliau mengatakan, “Adalah fakta yang tidak bisa disepelekan begitu saja bahwa Al-Qur’an mengandung pengetahuan Ilahi, kesempurnaan akurasi, kelengkapan dan keagungan.” Akan tetapi menurut keyakinannya, poin yang perlu diperhatikan dalam Quran adalah metode pengungkapannya: bagaimana dengannya ia mengetengah-kan kandungan dan tujuannya.

Keistimewaan metode ini yaitu semua makna mental dan kondisi kejiwaan tertuang ke dalam relung emosi.

Dalam presentasi Al-Qur'an, sekian hakikat yang agung, fenomena alam, peristiwa lampau, aneka kisah, peristiwa kiamat, nikmat, azab dan lain-lain: semua ini tampak jelas menjelma dan menyatu dengan jiwa manusia.

Keunggulan metode ini terlihat menonjol manakala hakikat-hakikat pengetahuan tidak semata-mata beralih dalam bentuk abstrak (intizân) dan representasional (dzihnî) ke dalam mental dan pusat pengetahuan manusia, tetapi juga memengaruhi emosi dan nurani seseorang dan mengalir sepanjang kanal-kanal jiwanya. Metode Al-Qur'an ini sanggup menaklukkan hati dan fitrah manusia melalui perasaan, daya imajinasi dan inteligensi

p: 296


1- 112. Masyahid Al-Qiyamah fi Al-Qur'an, hlm. 235.
2- 113. Al-Tashwîr Al-Fannî fi Al-Qur’ân, hlm. 17.

manusia, serta dengan cahaya dan warna khasnya. Inilah “seni” menggugah nurani dan mencipta rasa.

Dalam beberapa bagian dari tafsirnya, Sayyid Quthub juga kerap berusaha menjabarkan ketidaktertandingan Al-Qur'an dalam konteks metode pengungkapannya.

Walau demikian, kita tidak dapat meng-anggapnya sebagai orang pertama yang menyingkap keindahan artistik dan penggambaran imajiner. Ini sebagaimana dia dengan besar hati mengisyaratkan bahwa sebelumnya, Amin Khuli telah memaparkan sudut pandang itu sebagai bagian dari kemukjizatan Al-Qur’an.(1) Lebih dari itu, dia bahkan menjelaskan bahwa para pendahulu abad-abad sebelumnya, seperti Zamakhsyari dalam tafsir surah Al-Fatihah dan ayat wa lammâ sakata “an mûsâ al-ghadhab (QS. Al-A'raf [7]: 154), serta Abdul Qahir telah menggali beberapa lapis dari dimensi seni imajiner Al-Qur'an.(2) Namun, betapa pun itu, keutamaan mereka sama sekali tidak mengurangi nilai riset dan metode baru Sayyid Quthub.

Sayyid Hibatuddin Syahristani (1386 H), dalam rangka mem-bela martabat mulia Al-Qur'an, mengarang sebuah buku berjudul Al-Mu'jizah Al-Khâlidah. Di dalamnya dia menuliskan bahwa Al-Qur'an, walaupun tersusun dari huruf-huruf yang digunakan manusia, tetap memiliki keunggulan dan ciri-ciri khas yang benar-benar tidak tergantikan seperti:

p: 297


1- 114. Ibid., hlm. 111.
2- 115. Ibid., hlm. 27-31.

Kefasihan kata-kata yang memadai segenap per- syaratan kefasihan bahasa.

Balaghah, keindahan sastra bahasa, dan memerhatikan segenap segi tuntutan keadaan dan konteks.

Keluhuran tujuan dan kandungan.

Berita-berita tentang hal-ihwal gaib dan rahasia pengetahuan tentang realitas.

Hukum-hukum yang bijaksana dan kokoh.

Kemurnian dari inkonsistensi dan kontradiksi.

Kompatabilitas dengan dinamika sejarah dan zaman.

Kekuatan argumentasi dan keunggulan dalil.

Mengandung simbol yang menakjubkan dan sandi yang mengagumkan.

Daya tarik, pesona, dan pengaruhnya atas jiwa.

- Namun pada akhirnya, Syahristani sendiri memilih poin kesepuluh sebagai pendapatnya, yaitu pengaruh Al- Qur’an pada jiwa plus nilai keindahan sastra bahasanya.

Dia menambahkan bahwa pengaruh itu adalah sebuah realitas yang dapat dicecap oleh setiap manusia yang ber- akal dengan segenap perberadaan bahasa dan kepercayaan, karena bahasa Al-Qur'an adalah bahwa wahyu Tuhan Sang Pencipta manusia. (1) Musthafa Mahmud, salah seorang pakar terkenal, juga mengkaji khusus tentang irama batin dan melodi intrinsik Al-Qur'an. Dia menyatakan bahwa ada perbedaan yang amat jauh antara irama lahiriah yang tercipta dari rima,

p: 298


1- 116. Al-Mu'jizah Al-Khalidah, hlm. 8.

matra dan elemen-elemen lainnya, dengan irama batin yang, sekalipun tanpa rangkaian elemen tadi, akan tercipta bahkan dari sekedar segelintir kata. Sebagai contoh, ketika kita membaca ayat “wa al-dhuha, wa al-lail idza sajà”,(1) alunan melodi dan irama musikal dari setiap huruf ayat mengalir deras. Ini berbeda sekali dengan bait-bait penyair kawakan seperti: Umar bin Rabiah, yang syairnya terkenal dengan irama musikalnya: tidak akan tampak benar-benar musikal dan melodius bila saja kehilangan elemen rima, matra dalam puisinya. Perbedaan ini tidak lain adalah rahasia yang bersumber dari Sang Pencipta Al-Qur'an.

Maka dari sudut ini, tidak akan ditemukan satu komposisi karya sastra pun yang menandinginya.

Ketika kita menyimak ungkapan Al-Qur'an, Innahu ma ya'ti Robbahu mujriman fa inna lahu jahannama lâ yamûtu fiha wa lê yahya,(2) maka dari berbagai sisi, baik dalam maupun luar kata-katanya, ayat ini mengalunkan irama musikal yang begitu menakjubkan hingga tidak tergambarkan dengan bahasa.

Demikian pula ketika Al-Qur'an menukil kisah Nabi Musa as: bagaimana ia dengan metode terampil memeragakan sebuah simfoni yang meluluhkan pikiran dan perasaan:

p: 299


1- 117. Demi waktu matahari naik sepenggalan. Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap) (al-Dhuha, 2)
2- 118. Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka Jahannam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup (QS. Thahaa [20]: 74).

«وَلَقَدْ أَوْحَیْنَا إِلَی مُوسَی أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِی فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِیقًا فِی الْبَحْرِ یَبَسًا لَا تَخَافُ دَرَکًا وَلَا تَخْشَی »

«فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ بِجُنُودِهِ فَغَشِیَهُمْ مِنَ الْیَمِّ مَا غَشِیَهُمْ » «وَأَضَلَّ فِرْعَوْنُ قَوْمَهُ وَمَا هَدَی »

Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa, "Pergilah kamu dengan bamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering dilaut itu, kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut akan tenggelam. Maka Fir'aun dengan bala tentaranya mengejar mereka, lalu mereka ditutup oleh laut yang menenggelamkan mereka.

Dan Fir'aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi petunjuk” (QS. Thabaa [20]: 77-79).

Dalam tiga ayat ini, beberapa kalimat terangkai secara indah menghalun, seakan kata-kata melebur dalam kekuatan Penciptanya, struktur bahasanya terbangun kokoh, erat, tidak teruraikan dalam sebuah sistem melodius yang terlampau unik, hingga tidak menyisakan lagi ruang untuk syair dan prosa Arab, sebelum dan sesudahnya. Keagungannya tetap terjaga utuh di atas eksistensi banyaknya musuh.

Namun, menurut Mustafa Mahmud, irama musikal batin ini bukanlah totalitas karakteristik Al-Qur’an, akan tetapi di samping itu adalah keagungan dan kebesarannya yang dirasakan. Sebagai contoh, dalam peristiwa badai

p: 300

besar Nabi Nuh, perintah surutnya air sebagai akhir dari peristiwa itu diungkapkan demikian:

«وَقِیلَ یَا أَرْضُ ابْلَعِی مَاءَکِ وَیَا سَمَاءُ أَقْلِعِی وَغِیضَ الْمَاءُ وَقُضِیَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَی الْجُودِیِّ وَقِیلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِینَ »

Dan difirmankan, "Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan, perintah pun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatidakan, "Binasalah orang-orang yang zalim” (QS. Huud [11]: 44).

Setiap kata dalam ayat ini turun laksana beratnya gunung dan pekikan halilintar, lalu melukiskan betapa kesunyian dan kedamaian alam serta akhir dari peristiwa dunia makrokosmis. Dalam ungkapan di atas, manusia berada di hadapan sebuah adegan supramanusia yang tidak terwakili oleh sepatah kata bahkan huruf sekalipun.

Pada saat yang sama, ia tidak kehilangan irama melodius dan pengaruh yang diciptakannya. Keagungan dahsyat inilah yang membuat musuh Al-Qur'an, betapa pun hebat dia, tidak dapat menyembunyikan rasa kagumnya. Oleh karena itu,lah mereka menyebutnya sebagai kekuatan sihir yang memperdaya ruh manusia. (1) Dr. Abdullah Darraz dalam karyanya yang bagus juga berusaha merekonstruksi keindahan dan daya pikat Al- Qur’an. Dia meyakini bahwa Allah Yang Mahabijaksana

p: 301


1- 119. Al-Qur'ân, Muhâwalah li Fahm Ashriy, Mesir, Dar al- Ma’arif, hlm. 12.

dan Mahaindah menyembunyikan mutiara-mutiara mulia kandungan Al-Qur'an dalam tempurung kerang yang sangat memesona, membuat setiap pemilik cita rasa bahasa suka atau tidak akan terpedaya dengan kekuatan magnetis kalimat-kalimatnya dan menyeretnya terendam dalam makna-maknanya. Keindahan dan cita rasa inilah bagian dari faktor utama keunggulan Al-Qur'an di hadapan kekuatan musuh-musuhnya.(1) Lebih dari itu, poin penting lain yang menjadi perhatian Dr. Darraz dalam karyanya yang bagus itu adalah kesatuan tema (maudhứ) dalam Al-Qur'an dan dalam setiap surahnya, walaupun ayat-ayatnya turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu lebih dari 20 tahun. Ia berusaha membuktikan kesatuan tema ini dalam surah yang paling panjang, yaitu surah Baqarah:

Perihal ajaib lain yang menunjukkan betapa Al-Qur’an benar-benar mukjizat penakluk dan datang dari Allah SWT ialah mekanisme penurunan dan penghimpunannya. Al-Qur'an tekah diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang muncul. Ada sekelompok ayat yang diletidakkan di bagian sebuah surah tertentu tanpa lagi mengacu pada gugusan sejarah penurunannya. Ada juga sekelompok ayat yang turun belakangan lalu diletidakkan sebelum kelompok ayat yang

p: 302


1- 120. Al-Naba'Al-Azdîm: Nadhorât Jadîdah fi Al-Qur'ân, hlm. 95.

turun terlebih dahulu. Dan peristiwa-peris- tiwa itu tidak terjadi kecuali secara seketika, tidak juga dikenal umum atau direncanakan kejadiannya kecuali oleh Allah Sang Pencipta segala sesuatu. Maka, bagaimana dari rangkaian semua kolompok ayat itu dengan mekanisme demikian akan tercipta surah-surah yang saling menyempurnakan makna satu sama lain dan koheren dalam asas, tanpa terjadi inkonsis- tensi di dalamnya, tanpa terjadi pergeseran posisi di dalamnya, atau terjadi peninjauan ulang terhadapnya?! Sungguh ini tidak akan berlangsung kecuali di tangan Zat yang telah menurunkan Al-Qur'an dan menentukan posisi untuk masing-masing kelompok ayat:

Dialah Pencipta segenap alam dan Penentu seluruh gejala.

Syekh Muhammad Jawad Balaghi, seorang pakar yang handal dan pengarang tafsir AlaAl-Rahmân, juga membahas kemuk-jizatan Al-Qur'an. Dia mengurai dimensi kemukjizatan Al-Qur'an sebagai berikut.

- Penjelasannya yang akurat tentang kejadian dan peristiwa sejarah yang, dalam kitab-kitab agama terdahulu, telah mengalami distorsi.

Argumentasinya yang jelas dan rasional hingga membedakan kebenaran dari kebatilan.

p: 303

Kekokohannya dalam pemaparan dan keterjagaannya dari inkonsistensi dan kontradiksi. Meski luasnya pengetahuannya tentang berbagai tema ketuhanan, etika, hukum sosial, sistem pengelolaan masyarakat, dan bidang-bidang yang lain, Al-Qur'an menjelaskan semuanya dengan metode yang paling cermat, kokoh, dan indah.

Kemukjizatannya dalam konteks penetapan hukum dan undang-undang yang adil dan sistem sosial yang progresif.

Kekayaannya hingga mencakup keutamaan-ke- utamaan moral dan prinsip-prinsip tata perilaku mulia.

Pemberitaannya tentang hal ihwal gaib dan keunggul- an agama yang benar dan kejayaan kalimat Allah di muka bumi.(1) Teosof dan mufasir kontemporer, Allamah Thabathaba’i, pengarang tafsir Al-Mîzân fî Tafsîr Al- Qur’ân, juga membubuhkan catatan penting dan berharga sepanjang membahas kemukjizatan Al-Qur'an dan deng- an seksama mempelajari keistimewaannya. Dia percaya bahwa tantangan Al-Qur'an dan seruannya agar umat manusia bersaing dengan kekuatannya tidak terbatas pada dimensi balaghah “keindahan sastra”, tidak juga terbatas hanya pada salah satu dari kekhususannya, tetapi justru mencakup seluruh dimensinya. Al-Qur'an adalah tanda

p: 304


1- 121. Tafsîr “Âla Al-Rahmân, hlm. 3.

kebesaran estetika sastra Ilahi bagi para sastrawan hebat, tanda kedalaman hakikat ilmu bagi kaum bijak, tanda pengetahuan bagi kalangan elite ilmuwan, dan tanda kecermatan legislasi bagi ahli hukum, tanda keagungan bagi segenap pakar di seluruh bidang ilmu pengetahuan.

Al-Qur’an adalah bukti kebesaran dalam setiap perkara yang tidak dapat dikuasai mereka secara penuh dan sempurna, seperti pemberitaan hal gaib, pengetahuan akan segala perkara yang nyata, uraian ekspresif dan tidak adanya inkonsistensi.

Allamah Thabathabai menambahkan, apakah orang yang berakal akan berani mengajukan sebuah buku dan mengklaimnya sebagai petunjuk seluruh manusia, pedoman berita-berita gaib dan mencakup segala macam pengetahuan, tanpa inkonsistensi dan kotradiksi? Tidak akan ada seorang ahli pun yang meragukan bila semua nilai unggul ini seutuhnya melampaui kemampuan manusia. Dia meyakini unsur tahaddî Al-Qur'an berlaku dalam berbagai aspek. Pada hematnya, terkadang Al- Qur’an menantang aspek keluasan ilmu pengetahuan:

Dan Kami turunkan kepadamu Kitab (Al- Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu (QS. Al-Nahl [16]: 89).

p: 305

Terkadang ia menantang penerima wahyu itu sendiri.

Katakanlah, “Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu." Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka apakah kamu tidak memikirkannya?" (QS. Yunus [10]: 16).

Adakalanya Al-Qur'an menantang dengan membawakan berita-berita gaib.

Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini” (QS. Huud [11]: 49).

Atau menantang dengan kemurniannya dari inkonsistensi dan ketiadaan ikhtilaf:

Maka apakah mereka tidak memerhatikan Al-Qur'an? Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya (QS. Al-Nisa' [4]: 82).

p: 306

Al-Qur'an juga menantang dengan dimensi keindah- an sastra bahasanya:

Babkan mereka mengatakan, “Dia (Muhammad) telah membuat-buat Al-Qur'an itu." Katakanlah, “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surah yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.” Jika mereka yang kamu seru itu tidak memenuhi seruanmu itu, maka ketahuilah Al-Qur'an itu se-sungguhnya diturunkan dengan ilmu Allah (QS. Huud [11]: 13-14).

Ayatullah Sayyid Abul Qasim Khu’i dalam karyanya, Al-Bayân fi Tafsir Al-Qur’an, dengan cermat memaparkan topik mukjizat. Di dalamnya dia mengajukan pendapat yang mirip dengan pandangan Allamah Thabathabai.

Khu’i menulis:

Dari segi keindahan sastra dan gaya bahasa, Al- Qur’an adalah mukjizat Ilahi, sebagaimana dari sisi yang lain juga mukjizat Tuhan dan bukti kebenaran kenabian, dari aspek-aspek seperti mencakup pengetahuan-pengetahuan hakiki, murni dari praduga dan khurafat, kokoh dalam penjelasan, utuh dari inkonsistensi dengan skala

p: 307

luas dan banyaknya topik, sistem pembuatan hukum yang bijak, sarat makna yang cermat dan asas yang kuat, berita-berita gaib, rahasia penciptaan, dan sistem alam semesta serta peristiwa di luar pengetahuan manusia.(1) Murtadha Muthahari, seorang ulama intelektual kontempo-rer Syi'ah, termasuk dari jajaran pakar yang punya kepedulian tinggi terhadap kemukjizatan Al- Qur’an. Dalam sejumlah karya, dia mengupasnya secara relatif terperinci, tepatnya di sepanjang tema kenabian.

Mula-mula dia membangun beberapa premis yang amat berharga dalam pembahasan mukjizat di tingkat konsep (definisi), inferensi (argumen) dan identifikasi (divisi), dia lalu mengatakan, “Al-Qur’an tidak dapat dibatasi hanya pada satu dimensi, apa pun itu. Namun kemukjizatannya dapat diuraikan dalam dua dimensi: teks dan makna.

Selain sebagai tanda kebesaran dari segi estetika dan seni, ‘Lapisan luarnya begitu indah’, Al-Qur'an juga bukti keagungan dari segi intelektualitas dan ilmu pengetahuan, ‘Dan lapisan dalamnya begitu dalam’. Dari segi estetika sastra, gaya bahasa Al-Qur'an tidak ada tandingan sebelum dan sesudahnya; tidak akan ada seorang pun yang mampu mendatangkan sepertinya.” Dari dampak dan kesan gaya bahasa demikian inilah kita bisa mencermati irama musikal Al-Qur'an. Hal yang justru tidak ditemukan pada karya seni sastra biasa, tidak

p: 308


1- 122. Al-Bayân fi Tafsir Al-Qur’ân, hlm. 43.

juga dapat dibaca dengan alunan nada dan melodi. Akan halnya Al-Qur’an berirama sesuai dengan tema-temanya yang bermacam-macam: irama bahagia, sedih, tinggi, halus dan lembut, sampai-sampai disabdakan, “Bacalah Al-Qur'an dengan suara yang indah! Salah satu dari keistimewaan yang hanya dan hanya dimiliki Al-Qur'an adalah kesan manis dan pesonanya.

Kesan dan pesona kuat ini bersumber dari keindahan sastra, logika yang kokoh, dan keseutuhannya dengan jiwa manusia hingga menaklukkan hati dan berada di bawah pengaruhnya. Sejak duhulu hingga sekarang para sastrawan seperti Michael Naghimeh, Gibran Khalil Gibran, George Jordack dan nama-nama besar lainnya, adalah orang-orang yang terpikat dengan pesona Al- Qur’an, padahal kitab suci ini senantiasa mengang-kat tantangannya kepada para penentangnya.

Sementara dari dimensi makna dan kandungan, Al-Qur'an juga dengan mengajukan berbagai pemikiran dan makna-makna yang tinggi dalam berbagai bidang ontologi, teologi, etika, edukasi, perundang-undangan, dan bidang-bidang yang lain, benar-benar tidak tertandingi oleh apa pun sebelum dan sesudahnya, tidak pula terlibat dalam rangkaian mata rantai dari proses evolusi ilmu pengetahuan. Berbeda dengan produk dan pencapaian ilmiah orang-orang jenius pasti berada dalam gugusan sejarah ilmu pengetahuan, misalnya penemuan hukum Newton mau tidak mau sesuai dengan

p: 309

proses perjalanan ilmu empiris. Artinya, manusia dalam upaya-upaya intelektual dan keilmuwanan memijakkan kakinya di suatu ruas jalan yang harus dia tempuh untuk mencapai titik tertentu hingga ia menemukan hukum ini. Akan tetapi, penjelasan berbagai pengetahuan Al- Qur’an oleh seorang buta aksara (ummi) dengan lingkup kondisi keilmuwanan masa itu, bahkan dalam konteks kekinian sekalipun, juga tidak berada di atas ruas proses perkembangan ilmu manusia.

Demikian pula tuntunan Al-Qur'an bagi intelektualitas manusia dalam kerangka yang benar, dengan memfasilitasi logika material untuk meng- antisipasi kekeliruan berpikir, merupakan satu dari sekian keunggulannya yang unik dan fenomenal. Beberapa gejala seperti ikut prasangka, taklid kepada orang terdahulu, ketergesaan dalam menilai, turut pada keinginan nafsu, tunduk buta pada nama-nama besar dan ikut kebanyakan orang, semua ini dianggap Al-Qur'an sebagai unsur-unsur pencemaran berpikir jernih, tepatnya ketika tidak ada seorang pun menyinggungnya. Barulah setelah sekian abad, lahir sejumlah tokoh seperti: Francis Bacon, Rene Descartes, merumuskan jumlah kecil dari anasir logika material untuk mengantisipasi kekeliruan berpikir, selain tentunya mengemukakan logika formal dan kerangka berpikir sahih.

Ayatullah Muhammad Hadi Makrifat, seorang peneliti Al-Qur'an di era kontemporer, telah melakukan

p: 310

riset berharga di bidang Ulumul Quran. Dalam Al- Tamhîd fi Ulûm Al-Qur’ân,(1) terutama pada jilid IV dan V, dia secara khusus menjelaskan kemukjizatan Al-Qur'an.

Berangkat dari sudut pandang sejarah, dia mengemukakan berbagai pandangan para ulama klasik dan kontemporer seputar kemukjizatan Al-Qur'an. Selain membawakan sekian kesaksian dari para pakar asing atas keagungan Al-Qur'an, Hadi Makrifat juga mengetengahkan sejumlah contoh dari karya-karya tandingan. Sampai pada akhirnya dia menjelaskan tiga dimensi dari kemukjizatan Al-Qur'an yang sesuai dengan pandangannya, yaitu kemukjizatan bahasa (i jâz bayânî), kemukjizatan ilmu (ijâz‘ilmî), dan kemukjizatan hukum (ijâz tasyrîî). Akan tetapi, dari ketiga dimensi tersebut, ia lebih banyak menguraikan kemukjizatan bahasa secara terperinci.

Maurice Bucaille, seorang pakar kontemporer dari dunia Barat, menulis sebuah karya yang melakukan studi komparatif antara kitab-kitab samawi.(2) Di dalamnya, dia membahas kandungan ilmiah Al-Qur'an dan membandingkannya dengan teori-teori ilmiah modern dari kalangan ilmuwan, hingga dengan cara itulah dia lalu menyimpulkan kebenaran wahyu Al-Qur'an.

Penjelasan singkatnya, Al-Qur'an selain memiliki sanad dasar penukilan yang qath’i (pasti benar), menurut Bucaille, dari sisi kandungannya juga mengajak manusia pada ilmu, nalar, kecerdasan, di samping tentunya me- nyinggung sejumlah persoalan yang, sekali pun beresensi

p: 311


1- 123. Al-Tamhîd fi Ulûm Al-Qur’ân, cet. Jami'ah Mudarrisin, Qom.
2- 124. Karya ini berjudul Muqoyeseh’i Miyon-e Taurot, Injil, Qur'on va Elm, cet. Farhang Islami; Dirâsah Al-Kutub Al- Muqaddasah fi Dhaw’Al-Mđârif Al-Hadîtsah, cet. Dar arif.

teologis dan dogmatis, membuka dimensi pencerahan intelektual, seperti keterangannya tentang penciptaan alam materi, sistem alam semesta, tahapan-tahapan evolusi janin, dan lain sebagainya telah dijelaskan dalam Al-Qur'an. Semua ini telah dikemukakan di masa-masa ketika ilmu pengetahuan manusia membutuh-kan kon- tribusi ilmiah demikian, itu pun bukan dari mulut seorang yang buta aksara (ummi). Dari sisi lain, ajaran-ajaran Al-Qur’an itu tidak bertentangan dengan temuan dan prestasi ilmu pengetahuan. Fakta ini mendesak siapa pun untuk mengakui bahwa kitab suci ini adalah kalam Tuhan Pencipta Yang Maha Mengetahui rahasia alam semesta.

Dewasa ini, Abdul Razak Naufal dalam karyanya, Al-Ijaz Al-Adadî li Al-Qur'ân Al-Karîm, mengamati kemukjizatan angka-angka dalam Al-Qur'an. Di sana dia mengklaim bahwa kata-kata Al-Qur'an merepresentasikan sebuah koherensi bilangan tertentu. Misalnya, kata “dunia” dan “akhirat” terulang sebanyak 115 kali dalam Al-Qur'an, kebaikan (naf) dan kerusakan (fasád) seserta derivasi mereka sebanyak 50 kali, hari (yaum) dalam bentuk tunggalnya sebanyak 365 kali yang sesuai dengan jumlah hari dalam setahun, dan bulan (syahr) sebanyak 12 kali yang bertepatan dengan jumlah bulan. Demikian pula halnya dengan kata maut (kematian), hayâh (kehidupan), syayâtîn (setan), malâikah (malaikat), dll.

p: 312

Hanya pada hakikatnya, penilaian objektif dan ilmiah mengenai konklusi-konklusi semacam ini masih memerlukan analisis lebih mendalam, dan nilai epis- temologis data-data yang kurang dapat menyulitkan kita membuat kesimpulan ilmiah seputar kemukjizatan.

Rasyad Khalifah, seorang peneliti Mesir yang berdomisili di Amerika, juga melakukan analisis statistis terhadap huruf-huruf muqaththa’ah Al-Qur'an dan mengemukakan laporan statistikanya dengan bantuan teknologi komputer. Ia meyakini bahwa jika suatu surah memuat huruf-huruf muqaththa'ah, maka huruf-huruf ini lebih banyak dipergunakan di dalamnya daripada huruf yang lain. Jika, misalnya, dalam surah Al-Baqarah ada huruf muqaththa’ah, yaitu Alif Lam Mim, maka tiga huruf ini lebih banyak dipergunakan daripada huruf yang lain. Demikian pula huruf Alif lebih banyak diperguna- kan daripada huruf Lam, begitu pula huruf Lam bila dibandingkan dengan huruf Mim.

Rasyad Khalifah percaya bahwa kunci pembuka misteri kemukjizatan itu ada dalam kalimat Bis- millâhirrahmânirrahîm: jumlah huruf di dalamnya sebanyak 19. Angka ini, pada hematnya, adalah basis yang sama bagi seluruh sistem matematis Al-Qur'an.

Ada beberapa bukti yang dia rujuk untuk memastikan klaimnya ini, di antaranya: ayat pertama dari Al-Qur'an adalah kalimat Bismillahirrah-mânirrahîm yang terdiri dari 19 huruf, jumlah surah (114 surah) yakni 19 x 6,

p: 313

jumlah seluruh ayat (6346 ayat) sama dengan 19 x 334, dan kalimat Bismillahirrahmânirrahîm sendiri terulang sebanyak 114 kali dalam Al-Qur'an, yakni sama dengan 19 x 6.(1) Hanya saja, apakah bukti-bukti induktif ini sudah memadai untuk menetapkan keumuman klaim tersebut? Karya lain yang sangat bermanfaat tentang kemujizat- an Al-Qur'an adalah hasil penelitian Ayatullah Jaʼfar Subhani, seorang pakar kontemporer Syi'ah yang memiliki banyak karya tulis, di antaranya: Burhân Risâlat. Dalam buku ini, pertama-tama dia menganalisis definisi mukjizat, lalu mengidentifikasi kemukjizatan Al-Qur'an dalam dimensi kefasihan, keindahan sastra (balaghah), konsistensi gaya bahasa, koherensi kandung- an, kemukjizatan dari sudut pandang sejarah, perundang- undangan, berita gaib, ilmu-ilmu modern, dan dari sudut pandang pengetahuan rasional.

Shalah Abdul Fatah Khalidi, seorang pakar Jordania, juga menulis buku tentang kemukjizatan Al-Qur'an dengan judul Al-Bayân fî I'jâz Al-Qur'ân. Meskipun tidak ada inovasi baru dalam karyanya, dia menjelaskan berbagai dimensi kemukjizatan Al-Qur'an.

Husain Dhiyauddin Atar, seorang penulis kontemporer Arab yang memiliki karya karya tulis di bidang Ulumul Quran, juga mengarang buku khusus mengenai kemukjizatan Al-Qur'an, yaitu Bayyinât Al- Mu'jizah Al-Khâlidah. Usai membedah arti konseptual

p: 314


1- 125. Tarjumeh-e Qurân, Behruz Mufidi Syirazi, Apendiks no. 1.

mukjizat, dia menguraikan titik-titik perbedaan antara mukjizat dengan peristiwa luar biasa yang lain, macam- macam mukjizat, dalil-dalil mukjizat, dan dengan metode penyampaian yang tepat memaparkan berbagai sisi kemukjizatan Al-Qur'an seperti: kefasihan, keindahan sastra, gaya bahasa, berita gaib, kemukjizatan ilmiah, kemukjizatan pribadi dan sosial Al-Qur'an. Sampai pada akhirnya, dia menyanggah gelombang kritik yang datang dari kaum orientalis seputar Al-Qur'an.

Muhammad Abu Zahra adalah salah seorang pakar kontemporer peneliti Al-Qur'an berkebangsaan Mesir. Dalam karyanya, Al-Mu'jizah Al-Kubrâ, dia juga menyoroti sejumlah tema penting seperti: rahasia kemukjizatan Al-Qur'an, dimensi kemukjizatan, gaya bahasa Al-Qur’an, makna literal (haqîqî), analogi dan figurasi, sistematika, jarak antarayat, berita gaib, dan tema-tema lainnya.

Hanafi Muhammad Syaraf, dalam Ijaz Al-Qur'an Al- Bayânî baina Al-Nadhariyyah wa Al-Tathbîq, membahas tentang kemukjizatan bahasa Al-Qur'an dan, selain mendeskripsikan pandangan para ulama, juga meneliti dimensi-dimensi seperti: keindahan sastra, makna-makna, ungkapan ilustratif, dan lirik Al-Qur'an.

Dr. A’isyah Binti Shathi adalah penulis, sastrawan kontem-porer dan guru besar Ulumul Quran. Dia juga, dalam Al-Ijaz Al-Bayânî wa Al-Masâ’il Ibn Arzaq,

p: 315

dengan baik menjelaskan kemukjiza-tan retorika dan gaya bahasa Al-Qur'an.

Dr. Munir Sulthan juga menulis buku yang berjudul I'jaz Al-Qur’ân baina Al-Mu'tazilah wa Al-Asy'ariyyah.

Di dalamnya dia membahas pandangan dua mazhab:

Muktazilah dan Asy'ariyah, serta mengkasifikasi perselisih- an mereka seputar masalah mukjizat.

Ali Mahdi Zaitun, seorang penulis kontemporer, dalam karya-nya Ijâz Al-Qur’ân wa Âtsâruh fi Tathawwur Al-Naqd Al-'Arabî,(1)membongkar pengaruh dahsyat Al-Qur'an terhadap sastra dan seni bahasa Arab. Di dalamnya, dia juga mengkaji berbagai pandangan dari ulama dan para sastrawan mutakhir seputar masalah tersebut. Darinya lahirlah sebuah karyanya yang bagus, mirip dengan sebuah buku yang terkenal dengan judul Âtsâr Al-Qur’an fi Tathawwur Al-Naqd Al-'Arabî(2) karya Dr. Muhammad Zaglul Salam.

Selain nama-nama di atas, perlu juga kiranya menyinggung beberapa karya yang tergolong sebagai referensi tentang kemukjizatan Al-Qur'an, seperti karya tulis Dr. Ali Syawakh Ishak dengan judul Mu'jam Mush- annafật Al-Qur'an Al-Karîm.(3) Demikian pula Abdul Jabar Rifa'i, seorang penulis kontemporer, dalam karyanya Mu'jam Al-Dirasah

p: 316


1- 126. I'jâz Al-Qur’an wa Âtsâruh fi Tathawwur Al-Naqd Al-Arabî, cet. Beirut, Dar Al-Masyriq, 1992.
2- 127. Âtsâr Al-Qur’an fi Tathawwur Al-Naqd Al-'Arabî, cet. Dar Al-Ma'arif, Kairo.
3- 128. Mu'jam Mushannafât Al-Qur’ân Al-Karîm, cet. Dar Al-Rifa', 1403, dalam 4 jilid, Riyadh.

Al-Qur’aniyah,(1) memperkenalkan hampir 700 makalah ilmiah tentang kemukjizatan Al-Qur'an.

Ibtisam Marhun Shafar juga dalam Mu'jam Al- Dirâsât Al-Qur’aniyyah mendata berbagai karya yang berhubungan dengan studi Al-Qur’an.

Naim Himsha, seorang penulis Arab kontemporer, juga mem-perkenalkan referensi yang berhubungan dengan kemukjizatan Al-Qur'an dalam karyanya, Fikrat I jaz Al-Qurần.(2) Dr. Yusuf Abdurrahman Mar’asyili dan rekan-rekan sepenelitian dalam telaah mereka yang berharga terhadap Al-Burhân fi 'Ulüm Al-Qur'ân(3) karya Zarkasyi, mengurut berbagai referensi penting, apakah itu berupa buku atau makalah, tentang kemukjizatan Al-Qur'an.

Muhammad Ali Ridha Kermani dalam tesisnya menitikberatkan subjeknya pada referensi kemukjizatan, Kitabsyenasi Ijaz Quran, dalam rangka itu pula dia mengumpulkan daftar pustaka yang berhubungan dengan kemukjizatan Al-Qur'an.

***

p: 317


1- 129. Mu'jam Al-Dirâsât Al-Qur'âniyyah, Daftar Tabligat Islami, Hauzah Ilmiyah, Qom.
2- 130. Fikrat I'jâz Al-Qur'an, Damaskus, 1955.
3- 131. Al-Burhân fi Ulûm Al-Qur'ân, cet. Dar Al-Ma'arif, Beirut.

photo

p: 318

Daftar Pustaka A’rabi Hasyimi, Abbas: Nazdm-e Oyot-e Elohi dar Negoresy.

Abdul Jabbar, Qadhi: Syarh Ushûl Khomsah.

Abu Ubaidah, Muammar bin Mutsanna: Majâzân.

Abu Zahrah, Muhammad: Al-Mu'jizat Kubrâ.

Ahmad Badawi, Ahmad: Min Balaghat an.

Amadi, Saifuddin: Ghâyat Marâm.

_: Guror Al-Hikam wa Durar Al-Kalim Amin Ahmadi, Muhammad: Tanoqudhnamo ya Ghaibnamo.

Andalusi, Ali bin Muhammad: Al-Fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwâ’ wa Nihal.

Andalusi, Ibnu Athiyah, Al-Muharrir Wajíz.

Aquinas, Thomas: Falsafeh-e Nazdari, terj. Munochehr Buzughmehr.

Asy'ari, Abul Hasan: Maqâlât Al-Islâmiyyîn wa Ikhtilâf Mushallin.

Aththar Naisyaburi, Fariduddin: Divon.

Ayati, Abdul Muhammad: Mu’allaqat Sab? Baghdadi, Abdul Qadir bin Thahir: Al-Farq bain Firaq.

Bahar, Malak Syu'ara: Divon.

Bahrani, Ibnu Maitsam: Qawa'id Al-Marôm fî Ilm Kalâm.

Bakri, Syaikh Amin: Al-Ta’bîr Al-Fannî fi ân.

p: 319

Balaghi, Muhammad Jawad: Tafsîr Âlâ’ Rohmân.

Baqilani, Abu Bakar Muhammad: I'jâzân.

Barbour, Ian: Elm va Din, terj. Bahauddin Khoramshahi.

Bazargan, Mahdi: Majmu’eh Otsor.

Bintu Syathi, Aisyah: Al-Ijaz Bayânî.

Bucaille, Maurice: Muqoyeseh-i Miyon-e Taurot, Injil, Qur'on, va Elm.

Carrel, Alexis: Insôn Mavjûd-e Nosyenokhteh.

Darraz, Abdullah: Al-Naba Al-Azdim: Nazdarất Jadidas ân.

Dehkhuda, Ali Akbar: Lughatnomeh.

Farabi, Abu Nashr: Syarh Fushûsh Hikmah.

Farra, Yahya Abu Zakaria Daylami: Maânî ân.

Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad: Ihyâ’ 'Ulûm Dîn.

Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad:

Maqashid Falâsifah.

: Tahâfut Falasifah.

Gilson, Etiene: Rûh-e Falsafeh dar Qurûn-e Vustô, terj.

Syahram Pajuki.

Goldziher: Al-'Aqîdah wa Al-Syari'ah fi Al-Islâm, Muhammad Yusuf Musa, Ali Hasan Abdul Qadir, Abdul Aziz.

Haji, Khalifah: Kasyf Zdunûn.

Hamzah Alawi, Amir Yahya: Al-Thirâz Al-Mutadhammin li Asrâr Al-Balaghah wa 'Ulûm Haqā'iq jâz.

Hanafi, Muhammad Syaraf: I'jaz Al-Qur'an Al-Bayânî bain Al-Nazdariyyah wa Tathbîq.

Haspers, John: Falsafeh-e Din.

p: 320

Hick, John: Falsafeh-e Din, terj. Behram Rad.

Hindi, Sir Sayyid Ahmad Khan: Tafsîr Bayân Furqân.

Husain, Thaha: Mir’ât Islam.

Ibnu Abi Asba', Abdul Azhim: Al-Badî.

Ibnu Ahmad, Qadhi Abduljabbar: Al-Mughnî fi Abwâb Al- Tawhîd wa Al-Adl.

Ibnu Faris, Ahmad: Maqâyîs Lughah.

Ibnu Hisyam, Abdul Malik: Al-Sîrah Nabawiyyah.

Ibnu Khaldun, Abdurrahman: Muqaddimah.

Ibnu Qutaibah, Abdullah bin Muslim: Thuoil Muskil ân.

Iqbal Lahore: Divon.

Iransyahr, Kazhim Zadeh: Tadovi-e Rühi.

Isfahani, Raghib: Mufradât.

Isfarayini, Yaqub bin Ishaq: Al-Tabshîr fi Dîn.

Itir, Hasan Dhiyauddin: Bayyinât Al-Mu'jizat Khalidah.

Jahizd, Amr bin Bahar: Al-Bayân wa Tabyîn.

_: Hayawân.

James, Hacks: Qomûs-e Kitob-e Muqaddas.

James, William: Din va Ravon, terj. Mahdi Qaini.

Jawadi Amuli, Abdullah: Vahy va Rahbari.

Jidam, Ali: Al-Balaghah Wadhihah.

Jurjani, Abdul Qahir: Dalâ'il I'jâz ân.

Jurjani, Sayyid Syarifuddin Ali bin Muhammad: rîfât.

_: Syarh Mawâqif.

Juwaini Imam Haramain, Abdul Malik: Luma' Al-Adillah fî Qawâ’id Ahl Al-Sunnah wa ah.

Juwaini, Abdul Malik: Irsyad.

p: 321

Kakaie, Qasim: Khudomehvari.

Karami Nejad, Mustafa: Dar Kui bi Nesyonho.

Kasyif Ghitha, Syaikh Muhammad Husain: Al-Dîn wa Islâm.

Khalidi, Shalah Abdul Fattah: Al-Bayân fi I'jaz ân.

Khalifah, Rasyad: Tarjumeh-e Qur'on, terj. Behruz Mufidi.

Khui, Sayyid Abul Qasim: Al-Bayân fi Tafsîr ân.

Kisravi, Ahmad: Shûfigari.

Kulaini, Muhammad bin Yaqub: Kâfi.

Magrifat, Muhammad Hadi: Al-Tambid f Ulâm ân.

Mahmud, Mustafa: Al-Qur’an Muhâwalah li Fahm Ashriy.

Majlisi, Muhammad Taqi: Bihâr Anwâr.

Malakiyan, Mustafa: Durûs-e Maso’il Jadid Kalomi (diktat).

Marhun Shaffar, Ibtisam: Mu'jam Al-Dirâsât âniyyah.

Maulawi, Jalaluddin Rumi: Matsnavi-e navi.

Misbah Yazdi, Muhammad Taqi: Omûzesy-e Falsafeh.

: Rohnamosyenosi.

Muthahari, Murtadha: Majmû’eh-e Otsor.

Na'im Hima: Fikrah Ijaz ân.

Naufal, Abdul Razzaq: l'joz-e 'Adadi dar Quran, terj.

Mustafa Husaini.

Nizhami, Gajnavi: Makhzan Asrâr.

Nikbin, Nasrullah: Eslom az Didgoh-e Donesymandon-e Gharb.

Quthub, Sayyid: Al-Tashwîr Al-Fannî fi ân.

Rafi'ie, Shadiq: l'jâz Al-Qur’ân wa Al-Balaghah Nabawiyyah.

Rasyid Ridha, Muhammad: Tafsir Manâr.

Rawandi, Quthbuddin: Al-Kharâ’ij wa ih.

Razi, Abu Hatim: A'lâm Nubuwwah.

p: 322

Razi, Fakhruddin: Barâhîn.

_: Al-Mabahits Al-Masyriqiyyah fî Ilm Al-Ilahiyyât wa iyyât.

_: Al-Mathalib Al-'Âliyah.

_: Al-Sirr Maknûn.

: Al-Tafsîr Kabîr.

_: Talkhîsh Muhashshal.

Razkan, Muhammad Shaleh: Fakhruddîn Al-Rózî wa Ârâ’uh Al-Kalâmiyyah wa Falsafiyyah.

Ridhai Kermani, Muhammad Ali: Kitobsyenosi-e jâz.

Rummani, Khathabi, Abdul Qahir: Tsalâts Rasâ’il fi l'jâzân.

Saidi, Sayyid Ghulam Ridha: Taqshir be Pisygoh-e Muhammad va on.

Sayyid Quthub: Masyâhid Al-Qiyamah fi ân.

Shaduq, Muhammad bin Ali: 'Uyûn Akhbâr Ridhâ.

Shaduq, Muhammad bin Babaweih: Amâlî.

Sina, Abu Ali: Najât.

_: Ilahiyyât Al-Syifa' Subhani, Ja'far: Ilahiyyât.

_: Burhon-e Resolat.

Suhrawardi, Syihabuddin: Majmû’eh-e Mushonnafot.

Sultan, Munir: 'jâz Al-Qur'ân bain Al-Mu'tazilah wa irah.

Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman: Al-Itaân f Ulàm ân.

2: Mutarak Al-Aqrân f Ijaz ân.

Syafi'ie, Hasan: Al-Âmadi wa Ârâ’uh Kalâmiyyah.

Syahristani, Sayyid Hibatullah: Al-Milal wa Nihal.

Syawah, Ali: Mu'jam Mushannafat Al-Qur'an Karim.

p: 323

Syubbar, Sayyid Abdullah: Haqq Al-Yaqîn fi Ma'rifah Ushûl Dîn.

Tabarsi, Aminullah: Majma' Bayân.

Thabari, Muhammad bin Jarir: Tafsîr Thabari.

Thabathabai, Sayyid Muhammad Husain: Al-Mizan fi Tafsîr ân.

Thusi, Abu Jaʼfar Muhammad Hasan: Al-Iqtishâd fi Ushûl tiqâd.

Thusi, Khwajah Nashiruddin: Syarh Al-Isyârât wa Tanbîhât.

Thusi, Muhammad bin Hasan: Kasyf Al-Murôd fi Syarh Tajrîd tiqâd.

: Tamhîd Al-Ushûl fi 'Ilm Kalâm.

Tsa’alibi: Al-Ijaz wa ſjâz.

Wajdi, Farid: Dâ'irah Al-Ma'arif Al-Qur'an Al-'Isyrîn.

Zaghlul Salam, Muhammad: Âtsâr Al-Qur’an fi Tathawwur Al-Naqd Adabî.

Zamakhsyari, Mahmud bin Umar: Al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq Al-Tanzîl wa 'Uyûn Al-Aqâwîl fi Wujûh wîl.

Zamalkani, Kamaluddin Abdul Wahid: Al-Burhân Al-Kâsyif'an l'jâzân.

Zarkasyi, Badruddin: Al-Burbân f Ulâm ân.

Zidane, George: Târîkh Al-Tamaddun Islâmî.

***

p: 324

Catatan Akhir

Bab 1

1. Ibnu Faris: Maqâyîs Al-Lughoh, jld. 4, hlm. 232.

2. Rujuk sumber-sumber Teologi, tema kenabian; sumber-

sumber Ulumul Al-Qur'an, tema mukjizat. Beberapa di

antaranya adalah Al-Ta'rîfât, hlm. 96; Syarh Al-Ushûl Al-

Khamsah, hlm. 568; Al-Milâl wa Al-Nihal, jld. 1, hlm. 102;

Talkhîsh Al-Muhashshal, hlm. 350; Al-Irsyâd karya Juwaini,

hlm. 308; Nihâyat Al-Aqdâm, hlm. 423; Al-Iqtishâd karya

Ghazali, hlm. 174.

3. Al-Nukat fi I'jâz Al-Qur'ân, “Tsalats Rasâ’il”, hlm. 111,

diteliti oleh Muhammad Halafullah dan Muhammad

Zaghlul Salam.

4. Bayan Ijaz Al-Qur'an, “Tsalats Rasa'il, hlm. 20.

5. Ijaz Al-Qur'an, hlm. 230.

6. Al-Risalah Al-Syâfiyah; “Tsalats Rasā'il”, hlm. 123.

7. Al-Itqân fi Ulûm Al-Qur'ân, jld. 2, hlm. 4.

8. Kasyf Al-Murââd fi Syarh Tajrîd Al-I'tiqâd, hlm. 227.

9. Al-Bayân fi Tafsîr Al-Qur'ân, hlm. 33.

p: 325

10. Dalam Lughatnômeh Dehkhudo, jld. 8, cet. Danesygah, sihir

didefinisikan sebagai usaha mengecoh dan merancukan

akal seseorang, apakah dengan ucapan atau tindakan; dan

apa saja yang sumbernya benar-benar halus dan rumit.

Namun secara ringkas sihir dapat dideskripsikan sebagai

tindakan yang luar biasa yang menyebabkan munculnya

kesan-kesan tertentu pada pihak yang bersangkutan. Ini

adakalanya dilakukan dengan hanya mengecoh penglihatan

mata, bermain sulap, dan adakalanya hingga menyentuh

lapisan mental dan psikis. Sihir punya pengalaman sejarah

yang sangat panjang dalam sejrah manusia. Oleh karena

itu, Al-Qur'an menyatakan, “Demikianlah tidak seorang

rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum

mereka, melainkan mereka mengatakan, 'Dia adalah seorang

tukang sihir atau seorang gila.” (QS. Al-Dzariyat [51]: 52).

Dalam Al-Qur'an, terdapat sekurang-kurangnya lima puluh

kata sihr dan bentuk-bentuk derivatifnya. Dan sejumlah

riwayat juga tampak jelas betapa pengaruh sihir itu sekadar

pengecohan pandangan mata, imajiner dan penipuan.

“Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka,

terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat,

lantaran sihir mereka ... maka tatkala mereka melemparkan

(tali-tali itu), mereka telah menyihir mata orang-orang dan

membuat mereka ketakutan.”(QS. Thaha [20]: 66). Dari sisi

lain, dari sekian ayat juga dapat disimpulkan bahwa peng-

aruh sihir itu benar-benar nyata, “Maka mereka mempelajari

dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka

p: 326

dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya”

(QS. Al-Baqarah [2]: 102). Maksud dari kahanah ialah

hubungan arwah manusia dengan arwah abstrak seperti:

jin dan setan, dan hasilnya ialah mendapatkan berita dari

arwah tersebut tentang peristiwa dan kasus tertentu yang

terjadi di kemudian hari di alam materi ini. Kahầnah

atau perdukunan ini lebih popular di lingkungan bangsa

Arab. Di antara mereka, terdapat nama-nama besar dari

kalangan dukun seperti: Syaq dan Suthaih. Kisah-kisah

mereka bahkan dicatat dalam buku sejarah, khususnya

dalam A'lâm Al-Nubuwwah karya Mawardi. Akan tetapi,

pascakemunculan Islam dan Nabi SAW., dukun-dukun itu

tidak lagi memperoleh berita tentang hal-hal gaib lantaran

kekuatan cahaya kenabian yang sangat dominan. Berdasar

sebagian riwayat, setelah kemunculan Nabi SAW, kalangan

dukun itu bahkan punah. Menurut laporan Sirr Al-Maknûn

karya Fakhru Razi, ada dua jenis perdukunan. Jenis pertama

adalah dari jiwa-jiwa yang khusus. Jenis ini nonswakarsa

dan karuniawi. Jenis kedua dihasilkan dengan pengorbanan

dan bantuan dari makhluk-makhluk orbital ... Menempuh

jalur kedua dua ini haram dalam syariat Islam, dan karena

itu pula menjadi kewajiban menghindari usaha memper-

olehnya. Adapun jenis pertama masuk dalam kategori ilmu

Al-Arafah (Kasyf Al-Zdunûn, jld. 2, hlm. 1524).

Jit adalah sebuah nama lain dari jenis perdukunan.

Sedangkan thaghut adalah nama apa saja yang disembah

p: 327

selain Tuhan (Lughatnomeh Dehkhudo, jld. 11, cet.

Danesygah).

Hipnotisme adalah sebuah ilmu yang mempelajari

hipnotis, yakni tidur magnetis, dan pola-polanya. Hipnotis-

me semacam tidur buatan atau nonnatural atau magnetis

yang terjadi lantaran pengaruh kekuatan seseorang atas

yang lain. Jelas, orang yang lantas tidur tersirap berada di

bawah kendali dan kehendak hipnotisor.

Maynatisme, magnetisme, kekuatan pemikat tubuh

manusia, atau magnet insan adalah sebuah kekuatan yang

berada pada badan manusia atau pada sebagian binatang.

Zat dan substansinya tidak tampak, tetapi dapat dikenali

melalui kesan-kesan dan efek-efeknya. Ia semacam

gelombang atau aliran yang keluar dari tubuh manusia lalu

berkesan pada yang lain, dan pada kondisi tertentu menjadi

daya tarik dan daya tolak. Poros kekuatannya lebih terfokus

pada mata. Seseorang yang memiliki kekuatan ini mampu

mempengaruhi orang lain dan mengendalikan dirinya atau

menyirapnya tertidur. Banyak analisis seputar profesi ini.

11. Syarh Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, jld. 3, hlm. 417.

12. Ghâyat Al-Marâm, hlm. 332. Saifuddin Amadi menukilnya

dari Dr. Hasan Syafi'i: Al-Âmadi wa Ârâ’uh Al-Kalâmiyyah,

hlm. 487.

13. Al-Mughnî, jld. 15, hlm. 274.

14. Syarh Al-Thahâwiyyah, hlm. 67, dikutip dari Al-Âmadi wa

Ârâ’uh Al-Kalâmiyyah, hlm. 487.

15. Al-Kâfi, jld. 2, hlm. 352, riwayat 7.

p: 328

16. Yaitu Ashif bin Barkhiya.

17. Ibid., jld. 1, hlm. 229, riwayat 5.

18. Rahnamosyenosi, hlm. 211.

19. Rujuk: Thomas Aquinas, Falsafeh-e Nadzari, jld. 1, hlm. 79.

20. Rujuk: R.F. Holland, American Philosophical Quarterly, 1965.

21. Makalah Dar bâreh Mu'jizat, terj. Muhammad

Amin Ahmadi.

22. Richard G. Swinburne (26 Desember 1934) adalah seorang

Profesor Emeritus Filsafat di University of Oxford. Selama

50 tahun terakhir, ia pendukung Teologi Alam yang sangat

berpengaruh, yaitu argumen filosofis bagi eksistensi Tuhan.

Kontribusi filosofisnya terutama dalam Filsafat Agama dan

Filsafat Ilmu. Ia memunculkan banyak diskusi dengan karya

awalnya dalam bidang Filsafat Agama, sebuah buku trilogi

yang terdiri dari The Coherence Teism, The Existence of

God, dan Faith and Reason. Karyanya yang berjudul Miracle

terbit pada tahun peny.

23. Richard Swinburne, Miracle, hlm. 8.

24. Paul Tillich, Revelation and Miracle, hlm. 74.

25. Fikrah Ijaz Al-Qur'ân, hlm. 55.

26. Tauoil Musykil Al-Qurân, hlm. 61.

27. Bintu Syathi: I'jâz Bayâni.

28. Rafºie: Ijaz Al-Qur ân, hlm. 153.

29. Salah satu dari tiga risalah dalam Tsalâts Rasâ'il fi I'jâzân.

30. Fikrah I'jâz Al-Qur'ân, hlm. 60.

31. Tsalâts Rasâ’il fi I jâz Al-Qur'ân, Risalah I, hlm. 10.

p: 329

Bab 2

1. Uraian dalam bab ini mengacu pada pembahasan Murtadha

Muthahhari seputar tema kenabian dalam Majmûeh-e Otsor,

jld. 4, hlm. 427.

2. Dar Kûy-e- bi Nesyonho, hlm. 100.

3. Nama lengkapnya adalah Jean-François Champollion (23

Desember 1790-4 Maret 1832), seorang sarjana klasik,

filolog, orientalis asal Prancis, dan ahli hieroglif Mesir.

Champollion memecahkan hieroglif-hieroglif setelah

Thomas Young. Ia menerjemahkan bagian Rosetta Stone

(sebuah artefak kuno dari Mesir) tahun 1822, yang

menunjukkan bahwa sistem tulisan Mesir adalah kombinasi

dari tanda-tanda fonetik dan peny.

4. Yang dimaksud adalah Raymond Lodge (1889-1915),

putra ketujuh Sir Oliver Lodge yang terbunuh pada

Perang Dunia II (1915). Lihat: en.wikipedia.org/wiki/

Oliver_Joseph_LodgeLife—peny

Tentang masalah ini, ada banyak karya yang bisa dijadikan

sebagai referensi, di antaranya: 28 jilid Prusidnick, yang

merupakan referensi paling besar dan muktabar di antara

buku-buku terkait; 17 jilid tentang berita harian; dan

25 jilid tentang catatan tahunan dari gerakan-gerakan

organisasi kebatinan yang kesemuanya bernilai ilmiah.

6. Vahy va Nubuvat, hlm. 101.

7. Dîn va Ravon, terj. Mahdi Qaini, hlm. 43.

8. Falsafeh-e-Din, terj. Murad Farhad Pur, hlm. 260.

5.

p: 330

9. Dinukil dari Fakhru Razi: Al-Mathalib Al-'Aliyah, jld. 8,

hlm. 127, juga dinukil dari Syarh Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât,

jld. 3, hlm. 371, dengan sedikit perbedaan redaksi.

10. Majmueh-e-Musannafât Syaikh Isyrâq, editor: Henry

Corbin, jld. 3, hlm. 447.

11. Ringkasan dari Al-Mizan fî Tafsir Al-Qur'ân, jld. 6,

hlm. 194.

12. Syarh Nahj Al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jld. 11, hlm. 176.

13. Bihâr Al-Anwâr, jld. 70, hlm. 179.

14. Amâlî Al-Shadûq, hlm. 293.

15. Ghuror Al-Hikam wa Durar Al-Kalim, Amadi.

16. Ibid.

17. Jaspers, Falsafeh Din, hlm. 82.

18. Murtadha Muthahari, Majmueh-e Âtsâr, jld. 4, hlm. 427.

19. Attiene Gilson, Ruh-e Falsafeh dar Qurûn-e Vustho,

hlm. 571.

20. Majmû’eh-e-Otsor-e Bozargon, jld. 1, hlm. 89.

21. Khudomehvari, hlm. 271.

22. Sayid Ahmad Khan Hindi Dar Tafsîr.

23. R.F. Hollond, “The Miraculous”, in Miracles, edited:

Richard Swinburne, 53.

24. Diringkas dari Ilm va Din, Khuramsyahi, hlm. 165.

25. Rujuk: Iji, Syarh Al-Mawaqif, jld. 8, hlm. 158.

26. Muhammad Ghazali, Tahâfut Al-Falâsifah, Topik ke-17,

hlm. 236.

27. Shứfigari, hlm. 81.

28. QS. Al-Anbiya' [221]: 69.

p: 331

29. QS. Al-'Araf [7]: 106.

30. QS. Al-Maidah [5]: 110.

31. QS. Huud [11]: 19.

32. QS. Al-'Araf [7]: 73.

33. Tanoqudhnamo yo Ghaybnamo, hlm. 101, dinukil dari Ri-

chard Swinburne, Miracles, “Violation of Law Nature”, 18.

34. Peterson and others: Reason and Religious Belief, hlm.

158-159.

35. Muthahari, Majmueh-e Âtsâr, jld. 4, Bab I'jâz; Qasim

Kakaie: Khudamehvari, hlm. 270.

36. Rujuk: Kazhim Zadeh Iransahr: Tadovi-e Rühi.

37. Al-Mathâlib Al-'Aliyah, jld. 8 dan 9, hlm. 127.

38. Syarh Fushûsh Al-Hikmah, Muhammad Taqi Ustur Abadi,

hlm. 281.

39. Târîkh Fikrah 'jaz ân.

40. I'jâz Al-Qur'an, editor: Ahmad Shafar, Dar Al-Ma'arif,

Mesir, hlm. 3.

41. Ibid., hlm. 204.

42. Ibid., hlm. 300.

43. Ijaz Al-Qur’an, editor: Ahmad Shafar, Dar Al-Ma'arif,

Mesir, hlm. 75.

44. Syarh Al-Ushûl Al-Khamsah, komentar Ahmad bin Husain

bin Abi Hasyim, diteliti dan diintroduksi oleh Abdulkarim

Utsman, Mesir, hlm. 586 - 594.

45. Ibid., hlm. 327.

46. Al- Iqtishâd fi Ushûl Al-Itiqâd, hlm. 166.

p: 332

47. Dalâ'il Al-I'jâz fî Al-Qur’ân, 196. Karya ini telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Persia oleh Dr. Sayyid

Muhammad Radmanesy dan diterbitkan Astan

Quds Radhawi.

48. Muqaddimeh-e Tafsîr, hlm. 104.

49. Al-Mufradât li Alfâzh Al-Qur’ân, bagian pendahuluan.

50. Ihyâ’Al-'Ulûm, bab 40 Tentang Memahami Al-Qur'an.

51. Al-Muharrir Al-Wajíz, jld. 1, hlm. 71

52. Majma'Al-Bayân, bagian pendahuluan.

53. Ibid., jld. 1, hlm. 62.

54. Al-Kharâ’ij wa Al-Jarâ’ih, jld. 3, hlm. 971; Bibâr Al-Anwâr,

jld. 89, hlm. 131.

Bab 3

1. Al-Mizân fi Tafsîr Al-Qur'an, jil 1, hlm. 82.

2. Falsafeh-e Din, hlm. 82 dan seterusnya.

3. Syarh Al-Ushûl Al-Khamsah, 152.

4. Manâhij Al-Adillah fi Agâ’id Ahl Al-Millah, 126.

5. Al-Tabshîr fi Al-Dîn, 155.

Luma' Al-Adillah fi Qawa'id Aqaid Ahl Al-Sunnah wa

Al-Jamâ’ah, hlm.111.

7. Al-Mathalib Al-'Âliyah, jld. 8 dan 9, hlm. 123.

8. Talkhîsh Al-Muhashshal, hlm. 351; Al-Fakhr Al-Râzî wa

Ârâ’uhu Al-Kalâmiyyah wa Al-Falsafiyyah, hlm. 566.

9. Ilahiyyât Al-Syifa', hlm. 435; Al-Najât (Ilahiyat), hlm.299;

Maqashid Al-Falâ sifah, hlm.383, dengan menukil

p: 333

pandangan-pandangan teologi Fakhru Razi, Majalah

Ma’arif, No 1, tahun 1365 S.

10. Fakhr Al-Dîn Ar-Râzî Wa Ârâ’uhu Al-Kalâmiyyah, hlm. 572.

11. Khajeh Nashiruddin Thusi, Talkhîsh Al-Muhashshal,

dikenal dengan Naqd Al-Muhashshal, hlm.94; Al-

Mathalib Al-Aliyah, jld. 8 9, hlm. 61 dengan beberapa

perbedaan redaksi.

12. Charles Brawd, dinukil oleh Mustafa Milikiyan dalam diktat

Maso’el-e Jadid e Kalomi, unit 23. Yang mengherankan,

kritik seperti juga dapat ditemukan dalam tulisan atau

karya sebagian para cendekiawan Muslim. Rujuk: Syibli

Nu’mani, Ilm-e Kalom-e Jadid, jld. 2, hlm. 62.

13. Richard. I. Purtill, “Miracles: What if they Happen?”

dalam Miracles, disunting oleh Richard Swinburne, hlm.

202 (Dinukil oleh Amin Ahmadi, Tanaqudhnamo yo

Ghaibnamo, hlm. 336).

14. Habibullah Paiman, Falsafeh-e Torikh az Didgoh-e

Qur’on, 16.

15. Ali Syariati, Eslomsyenosi, hlm. 506.

16. Inferensi konvensional (dalâlah wadhi) yang berasal dari

konvensi dan peletakan berdasar pada peletakan atau

pengetahuan akan korelasi yang terjadi akibat konvensi

seperti inferensi kata terhadap makna tertentu. Inferensi

natural ialah inferensi yang berdasarkan kodrat alami,

kita mengetahui keadaan atau sifat natural sesuatu dari

kesan-kesan eksternalnya seperti memerahnya raut muka

sebagai implikasi dari keadaan malu. Hanya cukup jelas

p: 334

bahwa korelasi ini tidaklah niscaya. Inferensi rasional ialah

inferensi yang di antara dua aspeknya terdapat korelasi yang

hakiki, riil, dan menyingkapkannya bersandar pada akal

seperti korelasi antara sebab dan akibat yang merupakan

keniscayaan yang tidak terurai.

17. Tanaqudh Nama ya Ghaib Namun, hlm.354, dinukil dari:

Richard Swinburne: “Miracles and Revelation”, dalam

Philosophy of Religion and Anthology, P. Pojman, hlm. 299.

18. Ja'far Subhani, Al-Ilahiyyât, jld. 4, hlm. 89, “Allah SWT

adalah Mahabijaksana, dan Yang Mahabijaksana tidak

akan menjadikan alam atau sebagiannya itu dikuasai oleh

manusia pembohong ... tetapi, pada prinsipnya, pengaku

nabi itu menguasai alam ini, karena itu, dia bukan manusia

pembohong”.

19. Ibid., hlm. 92.

20. Allamah Thabathabai, Al-Mizân fi Tafsir Al-Qur'ân, jld. 1,

hlm. 84; Jawadi Amuli, Vahy wa Rahbari, hlm. 18; Misbah

Yazdi, Omúzesy-e "Aqo’id, jld. 2, Bab 27.

21. Ungkapan-ungkapan ini kami nukil banyak lewat karyanya,

Al-Mathâlib Al-'Aliyah.

22. Al-Tafsîr Al-Kabîr, jld. 2, hlm. 115; Nihâyat Al-Îjaz fi

Dirâyat Al-jaz.

23. Miftâh Al-'Ulâm, hlm. 176, 216,416, dinukil dari Zarkasyi:

Al-Burhân, jld. 2, tema Kemukjizatan Al-Qur'an, dengan

sedikit perubahan redaksial.

24. Diteliti oleh Hafni Muhammad Syaraf dan dicetak di Mesir.

Karya ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.

p: 335

25. Qawâ'id Al-Marâm fi Ilm Al-Kalâm, hlm. 132.

26. Al-Burhân Al-Kâsyif ‘an Ijaz Al-Qur'ân, hlm. 53.

27. Al-Thirâz Al-Mutadhammin li Asrâr Al-Balaghah wa 'Ulûm

Haqâ’iq Al-Ijaz, jld. 3, hlm. 367.

3.

Bab 4

1. Abu Hatim Razi: A’lâm Al-Nubuwwah, hlm. 191.

2. Bibâr Al-Anwâr, jld. 11, hlm. 70.

Lihat: Târîkh Adab Al-Arabiyyah, jld. 1, hlm. 195; George

Zidane, Târîkh Al-Tamaddun Al-Islâmî, jld. 1, hlm. 37.

4. Syarh Al-Isyârât wa Al-Tanbîhât, jld. 3, hlm. 371.

5. Mukadimah Keenam dari Muqaddimah Târîkh Ibn Khaldûn.

6. Mukaddimah Tafsîr, hlm. 102, dinukil dari Al-Tamhîd fi

Ulâm Al-Quân, jld. 4, hlm. 19.

7. Al-Bayân fi Tafsîr Al-Qur’an, hlm. 43.

8. Al-Mughnî, jld. 16, hlm. 152 167.

9. Majma' Al-Bayân, jld. 16, hlm. 236.

10. Al-Mughnî, jld. 16, hlm. 236.

11. Tamhîd Al-Ushûl, hlm. 334, dinukil dari Dâ’irat Al-Mđârif

Tasyayyu, jld. 2, hlm. 266.

12. Al-Bayân fi Tafsir Al-Qur'an, bagian Mukadimah.

13. Yaitu teori yang menyatakan bahwa pada dasarnya, manusia

mampu membuat semisal Al-Qur'an, hanya saja Allah

SWT sharf'memalingkan’ kekuatannya.

14. Bintu Syathi, Aisyah: Al-Ijâz Al-Bayâni, hlm. 65.

15. Al-Fashl fi Al-Milal wa Al-Ahwâ’ wa Al-Nihal, jld. 2,

hlm. 211.

p: 336

16. Rujuk: Jurjani, Syarh Al-Mawâqif, jld. 3, hlm. 112; Al-

Jahizd, Al-Hayawân, jld. 4, hlm. 31; Maqâlât Al-Islâmiyyîn,

hlm. 296; Rafi'ie, l'jaz Al-Qur'ân, hlm. 144; Syahristani,

Al-Mu'jizah Al-Khâlidah, hlm. 97.

17. Rujuk: Abu Bakar Baqilani, Akfår Al-Mutá’awwilîn; Shadiq

Rafi'ie, Ijaz Al-Qur’ân; Hadi Makrifat, Al-Tamhîd fi 'Ulûm

Al-Qur'ân, jld. 4.

18. Tafsîr Al-Thabari, jld. 2, hlm. 98.

19. Rafi'ie, I'jaz Al-Qur’ân; Al-Tamhîd fi Ulûm Al-Qur’ân, jld.

4, hlm. 228.

20. Karya ini diterbitkan dengan penelitian Ali Muhammad

Bajawi oleh Penerbit Dar Al-Fikr, Kairo.

21. Al-Itqân fi 'Ulûm Al-Qur’ân, berbagai tema kesusastraan

bahasa Al-Qur'an, dan juga bagian khusus tentang mukjizat.

22. Haqq Al-Yaqîn fi Ma'rifah Ushûl Al-Din, jld. 1, hlm. 112.

Bab 5

1. Sesungguhnya pada Allah-lah nama-nama terbaik (QS.

Al-A'raf [7]: 180).

Mirât Al-Islâm, hal 144.

3. Salah satu pasar di era Arab Jahiliah yang berlangsung

setiap tahun selama dua puluh hari, tepatnya dalam bulan

Dzul dah.

4. Amru Qais, Abu Haris Hunduj bin Hijir Al-Kindi, adalah

seorang penyair gazal ternama di era Jahiliah; sepertinya lahir

pada tahun 500 M dan wafat pada tahun 540 M. Ayahnya

adalah seorang pemimpin kaum Asad. Lantaran ayahnya

p: 337

tewas dibunuh, dia bangkit berontak untuk merebut posisi

kepemimpinannya, akan tetapi dia [kalah] dan melarikan

diri dari Munzir bin Maussama’, lalu meminta perlindung-

an kepada Samuel bin Adiya, seorang Yahudi yang memiliki

status terpandang di kalangan masyarakat Arab. Dia juga

meminta pertolongan dari kaisar Romawi. Sebaliknya, sang

kaisar juga sangat menghormatinya hingga mempercayakan

negeri Palestina kepadanya. Namun, tidak lama setelah itu,

penyair ini menderita penyakit hilang ingatan, dan dalam

keadaan itulah dia lalu meninggal dunia. Koleksium syair

Amru Qois untuk pertama kalinya dicetak di Paris pada

1877. Yang paling terkenal dari syairnya adalah bait-bait

yang dipasang di dinding Ka'bah, dibuka dengan bait:

Duhai musafir, barang sesaat berhentilah

tuk mengingat sang penjamu dan kekasih

Di hadapan rumahnya di antara pepasiran

menangislah dengan penuh kesabaran

Tharfa bin Abdu bin Sofyan bin Saad adalah seorang

penyair ternama Jahiliyah, berasal dari keturunan bangsa-

wan. Lahir di Bahrain pada 543 M dan meninggal dunia

pada 569 M. Setelah kehilangan seluruh kekayaannya, dia

berkhidmat kepada raja Hirah, Amr bin Hind. Sebagai

penyair, Tharfa melantunkan pujian-pujian untuk sang raja.

Namun, tidak lama berselang, sang raja murka kepadanya

hingga tewas dibunuh pada usia dua puluh enam tahun.

p: 338

Syairnya yang dipampang di dinding Ka'bah dibuka

dengan bait:

Di sahara yang penuh krikil Tsahmad

terhiasi aneka kemah-kemah

Seperti indahnya butir-butir tahi lalat

yang menghiasi telapak tangan

Zuhair bin Abi Salma Muzani adalah seorang penyair

Arab Jahiliah yang hidup antara tahun 530 dan 627 M.

Hampir semua orang dari kabilahnya adalah penyair

hebat. Zuhair sendiri juga seorang lelaki yang pandai,

berjiwa bersih, cinta kedamaian dan ketenangan, maka

dia pun selalu menghindari peperangan. Oleh karena

itu, dia menyanjung Haram bin Sinan Dzubyani karena

usahanya dalam memprakarsai perjanjian damai antara

Abs dan Dzubyan. Di dalam syair Zuhair bertaburan

butir-butir nilai kebijakan dan nasihat. Itulah sebabnya dia

lalu dikenal sebagai sang pujangga bijak. Untuk pertama

kalinya, koleksium syairnya dipublikasikan di London pada

1870. Bait pertama syairnya yang terpampang di dinding

Ka'bah adalah:

Apakah di tanah luas Darraj dan Mutatsallim ini

tidak ada petunjuk di mana rumah Ummu Aufa

Tidak adakah teman kasihku

sehingga dengannya bercakap

p: 339

Labid bin Rabiah Amiri adalah seorang penyair

Jahiliah. Ayahnya bernama Rabiah Muktarrin, termasuk

orang Arab yang sangat dermawan. Paman dari garis

ibunya bernama Mulaib Assinah yang terkenal sebagai

pemberani kabilahnya. Lubaid mewarisi kewibawaan

dan kemurahan hati dari ayahnya dan keberanian dari

pamannya. Dia hidup semasa Rasulullah; bersama kaum

Amir datang menemuinya lalu beriman kepadanya sehingga

memutuskan untuk meninggalkan syair-syair Jahiliah dan

beralih ke pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Dia wafat

pada 41 H di masa awal kekuasaan dinasti Bani Umayyah.

Syair termasyhurnya adalah bait-bait yang terpampang di

dinding Ka'bah yang dibuka dengan bait:

Pabila Rumah seorang kekasih

terlewati setapak dan lamban

*Tuk dicapai ‘kan jadi hancur

salam pisah bagimu, hai tanah Mina!

Kala tlah sampai di kaki gunung Ghawl dan Rujam

tentangnya hilangkan segala kenangan

Amr bin Kultsum Malik Taghli adalah penyair ternama

lain di era Jahiliah yang termasuk dalam tujuh penyair yang

syair mereka dipampang di dinding Ka'bah. Dia menjadi

pemimpin kabilah pada usia lima belas tahunan. Karena

kegagalannya dalam menuntaskan perkara pertikaian

antara Taghlib dan Bakr di hadapan Amr bin Hind, dia

p: 340

keluar dari sidang dalam keadaan marah sampai akhirnya

dia membunuh Amr bin Hind dalam suatu majelis karena

orang ini telah menghina ibunya. Syair termasyhurnya

dibuka dengan bait:

Wahai pemberi air, pagi telah tiba,

bangkitlah dari tidur dan penuhilah

Kendi airmu yang jernih dan segar

jangan pisahkan kami dari minuman

Antarah bin Syidad Absi adalah penyair ulung Jahiliah

yang, menurut sebuah riwayat, lahir pada 525 M dan wafat

pada 615 M. Ibunya seorang budak dari Habasyah, dan

ayahnya bangsawan Bani Abs. Karena ibunya berstatus

budak, ayahnya tidak mengakuinya sebagai anak kandung-

nya, lalu dia diperlakukan layaknya budak oleh ayahnya

sendiri. Antarah juga seorang pemberani dan pujangga

yang sangat terampil. Diriwayatkan suatu hari, Bani Abs

diserang kelompok asing. Ayahnya berteriak padanya, “Hai

Antarah! Seranglah mereka!” Dia menjawab, “Aku hanyalah

seorang budak: tidak ada budak yang akan menyerang

musuh!" Sang ayah berkata, “Mulai saat ini, engkau aku

bebaskan!”. Setelah itu, dia menyerang musuh sampai

berhasil memukul mundur mereka dan mengambil harta

rampasan perang. Dalam hidupnya, Antarah jatuh cinta

pada putri pamannya yang bernama Ablah. Bait-bait syair

p: 341

yang tercipta darinya adalah luapan kecintaannya pada sang

kekasih. Salah satu bait pertama dari syairnya berbunyi:

Masihkah tersisa selirik syair

lantunan dari adiluhung syair

Hai penyair, telahkah kau temui

rumah kekasihmu usai perjalanan panjangmu?

Haris bin Hillizah Yasyakruya Bakri juga seorang pe-

nyair terkemuka Jahiliah. Syair terbaiknya adalah bait-bait

yang menembus deretan syair yang dipampang di dinding

Ka'bah. Bait-bait itu dicipta untuk menjawab syair Amr

bin Kultsum di hadapan raja Hirah, Amr bin Hind. Syair

itu pula yang lalu menjadi kebanggaan kabilahnya. Syair

Haris merupakan syair terbaik yang dirancang dengan

metode seni lawan bicara. Syair yang dinisbatkan kepadanya

dipublikasikan untuk pertama kalinya pada 1922. Bait

pertama dari syairnya adalah:

Asma berkata, “Suatu saat kan berpisah dari kita.”

betapa banyak orang yang kehadirannya awal kehinaan.

Tapi adakah orang yang bosan pada Asma?!

5.

6.

Kala matahari terbit, lentera tidak lagi berguna (penj).

Maksud dari taubat al-Hamdu ialah taubatnya orang-orang

zalim ketika mereka putus harapan. Ini sesuai dengan ayat

45 dari surah al-An'am (penj).

p: 342

7. Samira adalah pembuat patung sapi dari emas di zaman

Nabi Musa as.

8. Tafsir Al-Thabarî, jld. 2, hlm. 98; Tafsîr Al-Manâr, jld. 1,

hlm. 199.

9. Ibnu Hisyam, Al-Sîrah Al-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 331;

jld. 2, hlm. 21.

10. Ibid., hlm. 338; Majma' Al-Bayân, jld. 5, hlm. 387.

11. Al-Aqîdah wa Al-Syari'ah fi Al-Islâm, hlm. 41.

12. “Udzr-e Takshîr dar Pisgah-e Muhammad va Qur'on, hlm.

91; Eslom az didgoh Doneshmandon-e Gharbi, hlm. 42.

13. Masyahid Al-Qiyamah ſi Al-Qur’ân, hlm. 10.

14. Dr. Abdullah Darraz mengatakan, “Seseorang akan

mencecap kenikmatan, bahkan merasakan getaran yang

dahsyat manakala telinga tersentuh ketukan huruf-huruf

Al-Qur’an, yang keluar dari makharij yang irit, berupa

sistematika, penggabungan dan penataan letak masing-

masing huruf: ada huruf yang mendetak; ada yang bersiul;

ada yang mendesir; ada yang mengeras bening; ada yang

lepas seiring nafas; ada yang menyendatkan nafas, sehingga

Anda akan menyaksikan keindahan irama menjelma di

hadapanmu dalam kumpulan unit yang beragam namun

terpadu utuh ... Ya, dari busana baru nan elok ini terwujud

keindahan teks Al-Qur'an. Fungsi lapisan luar ini tidak lain

adalah sederajat fungsi kerang yang me-ngandung mutiara

berharga ....” (Al-Binâ’Al-Adzîm, hlm. 94).

15. Dua kata di atas bermakna batu bata dan penerj.

16. Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, jld. 4, hlm. 308.

p: 343

17. Ibid., jld. 3, hlm. 582.

18. Tsalâts Rasâ’il få I'jâz Al-Qur’ân, hlm. 26.

19. Dalâ'il Al-Ijaz, hlm. 159.

20. Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, jld. 1, hlm. 471.

21. QS. Al-Dukhan [44]: 44.

22. Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, jld. 4, hlm. 281.

23. Al-Itqân, Nau’, 64.

24. Al-Ijaz Al-Bayami li Al-Qurân, hlm. 193.

25. Ibid., hlm. 265.

26. Al-Ijaz Al-Bayâni li Al-Qur'an, hlm. 257.

27. Al-Ijaz Al-Bayâni li Al-Qur'ân, hlm. 250.

28. Al-Mizân fi Tafsir Al-Qur'an. jld. 1, hlm. 163.

29. Al-Balaghah Al-Wadhihah, hlm. 9.

30. Al-Ijaz wa Al-ſjâz, hlm. 13.

31. Majma' Al-Bayân, jld. 5, hlm. 238.

32. Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur'an, jld. 2, hlm. 29.

33. Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam

kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan

amal saleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran

dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (QS.

Al-'Ashr [103]: 1-3).

34. Bibâr Al-Anwâr, jld. 89, hlm. 107.

35. Uyûn Akhbâr Al-Ridhâ, jld. 2, hlm. 128.

36. Abu Ubaidah Muammar bin Mutsanna: Majâz Al-Quran,

edisi Muhammad Fuad Sazgin, cet. Maktab Khanjani.

37. Tamil Masykil Al-Qurân, hlm. 10.

p: 344

38. Goldsehr, Abdulhalim Bihar: Madzâhib Al-Tafsir Al-Islâmî,

Cairo, hlm. 144.

39. Rummani, Khathabi dan Abdul Qohir: Tsalâts Rasâ'il fi

I'jâz Al-Qur'an, hlm. 104.

40. Ibid., hlm. 24.

41. Abu Hilal Askari: Kitâb Al-Shinâ'atain: Al-Kithâbah wa

Al-Syi'r, hlm. 2.

42. Ijaz. Al-Quân, hlm. 200.

43. Ibid., hlm. 75.

44. Al-Itqân, bab 59; Bintu Syathi: Al-Ijaz Al-Bayâni, hlm. 229.

45. Badruddin Zarkashi: Al-Burhân fi 'Ulûm Al-Qur'ân, bab 3,

jld. 1, hlm. 149, dengan diteliti oleh Mar’asyali.

46. Rawiyy yiatu awan yang penuh dengan air hujan. Dalam

istilah ilmu ‘Arudh, para pakar menamainya sebagai huruf

asli rima yang merupakan patokan rima itu sendiri, seperti

huruf (,) dalam kata nasyr, zir, dar.

47. Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan. Dan

gelas-gelas yang diletakkan (QS. Al-Ghasyiah [88]: 13-14).

48. Berada di antara pohon bidara yang tidak berduri. Dan pohon

pisang yang bersusun-susun. Dan naungan yang terbentang

luas (QS Al-Waqiah [56]: 28-30).

49. Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan

apabila mengiringinya. Dan siang apabila menampakkan-

nya. Dan malam apabila menutupinya. Dan langit serta

pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya. Dan

jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah

mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan

p: 345

ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang

mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang

yang mengotorinya. (Kaum) Tsamud Telah mendustakan

(rasulnya) Karena mereka melampaui batas. Ketika bangkit

orang yang paling celaka di antara mereka (QS. Al-Syams

[91]: 1-12).

50. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal

dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa

tahap kejadian (QS. Nuh [71]: 13-14).

51. Dan subuh apabila mulai terang. Sesungguhnya saqar

itu adalah salah satu bencana yang amat besar. Sebagai

ancaman bagi manusia. (Yaitu) bagi siapa di antaramu yang

berkehendak akan maju atau mundur (QS. Al-Muddats-

tsir [74]: 34-37).

52. Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu

telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah dia

telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan

Ka'bah) itu sia-sia? Dan dia mengirimkan kepada mereka

burung yang berbondong-bondong. Yang melempari mereka

dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar (QS. Al-Fil

[105]: 1-4).

53. Dan Kami berikan kepada keduanya Kitab yang sangat

jelas. Dan Kami tunjuki keduanya ke jalan yang lurus. (QS.

Al-Shaffat [37]: 117-118).

54. Demi langit dan yang datang pada malam hari. Tahukah

kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (Yaitu)

p: 346

bintang yang cahayanya menembus. Tidak ada suatu jiwapun

(diri) melainkan ada penjaganya (QS. Al-Thariq [86]: 1-4).

55. Demi bukit. Dan Kitab yang ditulis. Pada lembaran yang

terbuka. Dan demi Baitul Mamur. Dan atap yang ditinggikan

(langit). Dan laut yang di dalam tanahnya ada api (QS.

Al-Thur [52]: 1-5).

56. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)

mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan

yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa

kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang

diwajibkan oleh Allah) (QS. Lukman [31]: 17).

57. Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah

olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu

seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor

lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. dan

jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka

dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang

menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah (QS.

Al-Hajj [22]: 73).

58. Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang

bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah

yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba

yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua

peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang

Maha Pemurah sedang dia tidak kelihatan (olehnya) dan

dia datang dengan hati yang bertaubat. Masukilah surga itu

dengan aman. Itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya

p: 347

memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami

ada tambahannya (QS. Qaf [50]: 31-35).

59. Dan apabila datang suara yang memekakkan (tiupan

sangkakala yang kedua ... Mereka itulah orang-orang kafir

lagi durhaka (QS. Abasa [80]: 32-41).

60. Berkata Isa, “Sesungguhnya aku Ini hamba Allah, Dia

memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku

seorang nabi ... Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak

menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka” (QS.

Maryam [19]: 30-32).

61. Abbas Arabi Hasyimi, Nadzm-e Oyot-e Elohi dar Negoresy,

jld. 29 30.

62. Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-

orang yang berdosa, “Mereka tidak berdiam (dalam kubur)

melainkan sesaat (saja)”. Seperti demikianlah mereka selalu

dipalingkan (dari kebenaran) (QS. Al-Rum [30]: 55).

63. Dan sesungguhnya telah Kami utus pemberi-pemberi peringat-

an (rasul-rasul) di kalangan mereka. Maka perhatikanlah

bagaimana kesudahan orang-orang yang diberi peringatan

itu (QS. Al-Shaffat (37): 72-73).

Sekali-kali jangan. apabila nafas (seseorang) telah (mendesak)

sampai ke kerongkongan. Dan dikatakan (kepadanya),

“Siapakah yang dapat menyembuhkan?” Dan dia yakin

bahwa sesungguhnya Itulah waktu perpisahan (dengan

dunia). Dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan). Kepada

Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau (QS. Al-Qiyamah

[75]: 26-30).

p: 348

65. (Yaitu Tuhan) yang telah menciptakan aku, maka Dialah

yang menunjuki aku. Dan Tuhanku, yang Dia memberi

makan dan minum kepadaku. Dan apabila aku sakit, Dialah

yang menyembuhkan aku. Dan yang akan mematikan aku.

Kemudian akan menghidupkan aku (kembali) (QS. Al-

Syu'ara [26]: 78-81).

66. Dan mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Qur'an

dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya (QS.

Al-An'am [6]: 26).

67. Yang demikian itu disebabkan karena kamu bersuka ria di

muka bumi dengan tidak benar dan karena kamu selalu

bersuka ria (dalam kemaksiatan) (QS. Al-Mu'min [40]: 75).

68. Dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri)

keingkarannya. Dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena

cintanya kepada harta (QS. Al-`Adiyat [100]: 7-8).

69. Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-

seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat (QS. Al-Qiyamah

[75]: 22-23).

70. Dan Tuhanmu agungkanlah! (QS. Al-Muddatstsir [74]: 2).

71. Dan Yaqub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya

berkata, “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf”. Dan kedua

matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah

seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya)

(QS. Yusuf [12]: 84).

72. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang

menciptakannya?! (QS. Al-Waqi'ah [56]: 59).

p: 349

73. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan

berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya

kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-

Nya kepadamu (QS. Al-Hadid [57]: 23).

74. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya

dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya

(QS. Al-Baqarah [2]: 286).

75. Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur

(QS. Al-Kahf [18]: 18).

76. Yang menyuruh mereka mengerjakan yang makruf dan

melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan

menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan

bagi mereka segala yang buruk (QS. Al-A'raf [7]: 157).

77. Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah

membalas tipu daya mereka itu. dan Allah sebaik-baik

pembalas tipu daya (QS. Al Imran [3]: 54).

78. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap

perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul tanggung

jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu (QS. Al-An'am

[6]: 52).

79. Dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau;

Karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)

(QS. Al Imran [3]: 8).

80. Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana

dia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? (QS.

Al-Ghasyiah [88]: 17-18).

81. Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur'ân, jld. 1, hlm. 71.

p: 350

82. Al-Tibyân fi Tafsir Al-Qur'ân, hlm. 159.

83. Min Balaghat Al-Qur’ân, hlm. 99.

84. Mubabits f Ulâm Al-Quần, hlm. 129.

85. Miftâh Al-'Ulûm, hlm. 162.

86. Al-Mitsâl Al-Sâ’ir, jld. 2, hlm. 133.

87. Al-Kasysyâf, jld. 1, hlm. 72.

88. Al-Itqân, jld. 2, bab Nau.

89. Al-Mizân fi Tafsir Al-Qur'ân, jld. 13, hlm. 202.

90. Ibid., jld. 15, hlm. 125.

91. Ibid., jld. 3, hlm. 63.

92. Ibid., jld. 16, hlm. 132.

93. Al-Kasysyâf, jld. 4, hlm. 243.

94. Majma' Al-Bayân, jld. 7-8, hlm. 508.

95. Al-Mîzân fi Tafsîr Al-Qur'ân, jld. 4, hlm. 18.

96. Majma Al-Bayân, jld. 9-10, hlm. 339.

97. Al-Kasysyâf, jld. 2, hlm. 593.

98. Kejadian 9: 20-27; Kejadian 19: 30-38; 49.

99. Kejadian 27, 2; Samuel 11, 13, 18; Raja-raja 13; Yeremia

2: 8; 23: 12.

100. Markus 14: 71; Matius 16: 13, 19.

101. Kisah Para Rasul 7:9.

102. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam,

siang, matahari dan bulan. janganlah sembah matahari

maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakkannya,

jika ialah yang kamu hendak sembah (QS. Fushshilat [41]:

37; Yunus [10]: 100).

p: 351

103. Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-

orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka

bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika

kamu tidak mengetahui (QS. Al-Nahl [16]: 43).

104. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang

di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu

dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti

persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta

(terhadap Allah) (QS. Al-An'am [6]: 116; al-Mujadalah

[58]: 11).

105. Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka

berzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu

menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu,

atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di

antara manusia ada orang yang bendoa, “Ya Tuhan kami,

berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya

bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara

mereka ada orang yang bendoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami

kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah

kami dari siksa neraka”. Mereka itulah orang-orang yang

mendapat bahagian daripada yang mereka usahakan; dan

Allah sangat cepat perhitungan-Nya (QS. Al-Baqarah [2]:

200-202).

106. Beirut, Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1393 H.

107. Ijaz Al-Qurần, hlm. 222.

108. Ijaz Al-Qurân, hlm. 209.

p: 352

109. Dâ'irah Al-Ma'arif Al-Qur'ân Al-'Isyrîn, jld. 7, hlm. 977,

kata kepala a.

110. Al-Dîn wa Al-Islâm, jld. 2, hlm. 53.

111. Al-Tashwîr Al-Fannî fi Al-Qur'ân, hlm. 193.

112. Masyahid Al-Qiyamah fi Al-Qur'an, hlm. 235.

113. Al-Tashwîr Al-Fannî fi Al-Qur’ân, hlm. 17.

114. Ibid., hlm. 111.

115. Ibid., hlm. 27-31.

116. Al-Mu'jizah Al-Khalidah, hlm. 8.

117. Demi waktu matahari naik sepenggalan. Dan demi malam

apabila telah sunyi (gelap) (al-Dhuha, 2)

118. Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam

keadaan berdosa, maka sesungguhnya baginya neraka

Jahannam. Ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula)

hidup (QS. Thahaa [20]: 74).

119. Al-Qur'ân, Muhâwalah li Fahm Ashriy, Mesir, Dar al-

Ma’arif, hlm. 12.

120. Al-Naba'Al-Azdîm: Nadhorât Jadîdah fi Al-Qur'ân, hlm. 95.

121. Tafsîr “Âla Al-Rahmân, hlm. 3.

122. Al-Bayân fi Tafsir Al-Qur’ân, hlm. 43.

123. Al-Tamhîd fi Ulûm Al-Qur’ân, cet. Jami'ah Mudarrisin, Qom.

124. Karya ini berjudul Muqoyeseh’i Miyon-e Taurot, Injil,

Qur'on va Elm, cet. Farhang Islami; Dirâsah Al-Kutub Al-

Muqaddasah fi Dhaw’Al-Mđârif Al-Hadîtsah, cet. Dar arif.

125. Tarjumeh-e Qurân, Behruz Mufidi Syirazi, Apendiks no. 1.

126. I'jâz Al-Qur’an wa Âtsâruh fi Tathawwur Al-Naqd Al-Arabî,

cet. Beirut, Dar Al-Masyriq, 1992.

p: 353

127. Âtsâr Al-Qur’an fi Tathawwur Al-Naqd Al-'Arabî, cet. Dar

Al-Ma'arif, Kairo.

128. Mu'jam Mushannafât Al-Qur’ân Al-Karîm, cet. Dar Al-Rifa',

1403, dalam 4 jilid, Riyadh.

129. Mu'jam Al-Dirâsât Al-Qur'âniyyah, Daftar Tabligat Islami,

Hauzah Ilmiyah, Qom.

130. Fikrat I'jâz Al-Qur'an, Damaskus, 1955.

131. Al-Burhân fi Ulûm Al-Qur'ân, cet. Dar Al-Ma'arif, Beirut.

***

p: 354

Index Teologi dan Mukjizat

Abad Pertengahan: 18,55

Abdulmalik Juwaini: 123

Abdul Qahir: 8, 23, 108-109, 208, 229-230, 241, 297,321, 323

Abdurrahman bin Abu Bakar, Jalaluddin Suyuthi: 185

Abdurrahman bin Katsir: 17

Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Wasithi: 22

Abu Ali Fadhl bin Hasan: 111

Abu Bakar Abdul Qahir bin Abdurrahman Jurjani: 8

Abu Bakar Muhammad bin Abu Thayyieb Baqillani: 8

Abu Bakar Muhammad Thayyib Baqilani: 104

Abu Hamid Ghazali: 110

Abul Hasan Ali bin Isa Zamani: 8, 228

Abu Manshur Maturidi: 122

Abu Sulaiman Khathani: 8

Abu Sulaiman Muhammad bin Ibrahim Khaththaie: 23

Abu Ubaidah: 226-227,319, 344

Abu Umar bin Ma'ruf: 21

Abu Yaqub, Yusuf bin Muhammad bin Ali Sakkaki: 142

Adah: 75, 96, 151

Adatullah: 61, 64, 67

'Âdatullâh: 67

Adikodrati: 12

p: 355

Af’al ilâhiyyah: 68

Afirmatif: 58, 200

Agustinus,: 287

Ahli fikih: 104, 175

Ahlul: 226

‘A-ja-za: 5

Aksiomatis.: 104

Aks wa tabdîl: 240

Aktsariy al-wuqû“: 96

Alamah Thabathabai: 66

Al-Bayân wa Al-Tibyân: 21

Al-Haq: 124, 171

Al-Hayawân: 21, 337

Al-husn wa al-qubh al-dzâtî: 129

Ali bin Isa Rumani: 23

Ali bin Maitsam Bahrani: 143

Ali Mahdi Zaitun: 316

Allamah Syekh Muhammad Husain Kasyif Githa’: 295

Allamah Thabathabai: 47, 88, 215, 219, 241, 248-249, 254, 305,

307, 335

Al-Muhashshal: 127, 325, 333-334

Al-Qur'an: iii, x, ix, 2, 4-5, 8, 15-16, 21-25, 27, 40-42, 52, 61-62,

65-66, 68-69, 75-76, 79, 84-87, 93, 101, 103-113, 119-121,

123-124, 130-133, 137-152, 155-197, 199-202, 204, 206-208,

210-214, 217-218, 221-229, 231, 233, 235, 237, 240-243, 245,

248-249, 251-253, 255-262, 264-267, 269, 271-277,283-317,

323, iv, 325-326, 332-333, 335-337, 340, 343-344, 349

Amerika: 32, 35-36, 39, 313

Amir Yahya Hamzah Alawi Zaidi: 145

Analisis Agumentasi: 178

Analogi: 146, 195, 230, 243-245, 247-248, 315

An sich: 96

Antitaklid: 283

Aqalliy al-wuqû : 96

'Aqlî: 134

Aqli wa naqli: 67

Aquinas: 18,319, 329

p: 356

Argumen persuasif: 131

Aristoteles: 287

Ashabul Kahfi: 42, 188, 271

Astronomi: 287, 291

Asy'ariyah: 15, 60-61, 63-64, 66-69, 74, 98, 104, 122, 127-129,

138, 175, 229,316

Ayatullah Khuie: 9

Ayatullah Muhammad Hadi Makrifat: 310

Ayatullah Sayyid Abul Qasim Khu'i: 307

Badruddin Muhammad bin Abdullah Zarkasyi: 148

Bahasa Sanskerta: 35

Bakri Syaikh: 242

Balaghah: 104, 146, 149, 217, 229, 298

Bani Israil: 3,40, 75, 80, 101, 120, 300

Bashirah: 160

Bayan: 104, 108, 143, 185, 253

Bayyinah: 159, 186

Bentuk derivatif: 5

Burhan: 159

Burhân Risâlat: 314

Cendekiawan Muslim: 155

Champollion: 35, 330

Copernicus: 287

Dâ'im al-wuqû': 96

Dâ’imî: 96

David Hume: 19,54, 57

Deskriptif: 134, 242, 288

p: 357

Dharûrî: 74

Diksi: 202

Dimensi ontologis: ix

Disjungsi: 146

Distorsi: 262, 272, 303

Dr. Abdullah Darraz: 292, 301, 343

Dr. Muin: 30

Dua belas mata air: 3

Einstein: 287

Eksplisi: 146

Empirisme: viii, 40, 57, 128

Epistemologi empirik: 57

Era skolastisme Kristen: 18

Etimologi Mukjizat: iii, 5

Evaluasi Klaim: 177

Fâ'il: 74

Fâ’iliyyat al-fa'il: 71

Farabi: 102, 287, 320

Fashl wa washl: 146

Figurasi: 146, 230, 243, 249, 315

Filosof: 18, 29, 39, 44, 47, 55, 59, 64, 68, 102, 125, 188

Filsafat: 271, 284, 287, 329

Filsafat Peripatetik: 46

Filsafat Sejarah: 271

Filsafat teleologis mukjizat: viii

Firaun: 75, 80, 151, 158

Fisika: 287

Fitrah nurani: vii

Fonetika: 201

Fragmentasi: 243

p: 358

G

Galileo: 287

Geometrika, 287

George Jordack: 309

Gharîb: 10, 35, 109

Ghazali: 64, 110, 287, 320, 325, 331

Hadzf: 230

Hakikat eksistensi: vii

Hakikat Mukjizat: iii, 1, 10

Hakikat mukjizat: viii, iii, 1, 9-10, 142

Hakikat Wujud: 222

Hanafi Muhammad Syaraf: 315

Haqîqah wa majâz: 230

Haqîqî: 315

Hari Kiamat: 155, 172

Hashr wa ithlâq: 230

Hidayah tasyri'iyah: 84

Hikmah: 68, 102-103, 153, 156, 165, 320, 332

Hipnotisme: 10-11, 38, 328

Hipnotisme maynatisme: 10

Hipokrasi: 251

Hissi: 151, 154, 156

Hukum Akal: iii, 60

Hukum cipta: 78, 83, 95

Hukum kausalitas: 57, 60, 65, 68, 74, 76, 84-85, 88, 91-92

Hukum Universal Kausalitas: iii, 85

Husain bin Muhammad: 109

Husain Dhiyauddin Atar,: 314

Husn al-khitâm: 223

Husn wa qubh dzâtî: 68

p: 359

Ibn Sinan Khafaji: 23

Ibnu Abil Ashba’ Abdulazdim bin `Abdulwahid: 143

Ibnu Athiyah Andalusia: 111

Ibnu Hazm: 103, 175-176

Ibnu Khaldun: 155, 321

Ibnu Qutaibah Abu Muhammad Abdullah Muslim: 21

Ibnu Rusyd: 122

Ibnu Sina, 44, 154, 287

Ibtisam Marhun Shafar: 317

Idealisme Murni: 284

Identifikasi: 15, 40, 308

Idhmâr wa izdhâr: 146

Ihya' Al-'Ulûm: 110

Îjâb: 72

I'jâz: 5, 174

Îjâz wa ithnâb),: 230

'Ilal tsânawiyyah: 99

'Illah mutaârafah: 79

Ilmu astronomi: 75, 291

Ilmu Balaghah: 104, 229

Ilmu Bayan: 108, 253

Ilmu Kalam Islam: 157

Ilmu teknis: viii

Iltizâmi: 134

Iluminisme: 44

Imamah: 17

Imam Ali bin Abi Thalib: 51

Imam Fakhru Razi: 123

Imam Haramain: 123, 321

Imamiyah: 71

Imam Ja'far Shadiq: 17,51

Implikatif: 134

Implisi: 146

Imtinâ bi al-ghair: 72

India: 32, 38

p: 360

Inferensi: 93, 137, 308, 334-335

Instrumen: 14, 244

Iran: 30, 32, 54

Iran kontemporer: 30

Ir. Tanawush: 32, 35

Isti’arah: 249

Istithrâd,: 223

Ithnâb: 217, 221, 230, 242

Jalaluddin Abdurahman bin Abu Bakar Suyuthi: 8

Jinas: 236-240

Jinas istiqaqi: 238

Jinas khath: 237

Jinas lafzdi: 238

Jinas mudhari’: 237

Jinas naqish: 236

Jinas qalbi: 238

Jinas tamm: 236

Jinas tanasubi: 239

Jinas thibaqi: 239

Jinas za’id: 236

John Hick: 39

Jordania: 314

Kaidah rasional: 58, 73

Kalam: 7, 157, 288

Kamaluddin ‘Abdulwahid Abdulkarim Zemalakani: 145

Keberadaan subjek: 95

Keburukan substansial: 129

Keindahan sastra: 104-105, 111, 165, 179, 185-186, 217,295, 298,

304, 307, 309, 314-315

Kekuatan supranatural.: 18

p: 361

Khalil Gibran: 195, 309

Khâriq al-'âdah: 75, 151

Khithabi: 109

Khurdah: 197

Kinayah: 251

Kitab samawi kaum Muslimin: 4

Komparasi: 211

Komprehensivitas: 284, 288

Konjungsi: 146

Konsep abstrak: 90

Kuasa absolut: 135

Landasan Teori Sharfah: 176

Leksikal: 249

Leon Danny: 35, 37

Literasi: 228, 230

Logika: 287

Lubaid: 108, 191-192, 340

Mabda’ âlam: 97

Mafhûm âmm: 85

Mafhôm khashsh: 85

Mahmud bin Umar Zamakhsyari: 110

Makna literal: 66-67, 212, 249, 315

Maqdûr: 71

Matematika: 287

Materialisme: 58, 284

Materialisme Radikal: 284

Materialistik: 78, 285

Maudhû’i: 302

Maurice Bucaille: 291, 311

Mawdhû: 95

Medivial: 18

p: 362

Menakwil mukjizat: 81-82

Menegasikan: 58

Mesir: 35, 75, 313, 315, 330, 332, 335, 353

Mesir kuno: 35

Metafisika: viii

Metode epistemologis: viii

Metode ontologis mukjizat: viii

Metonim: 243, 251

Mizbon-e Nosyenos: 38

Mizdavvar: 38

Motif: 180

Muhâl ‘âdî: 70

Muhâl bi al-ghair: 89

Muhâl dzâtî: 70, 72, 89

Muhâl wuqû’î: 70, 89

Muhammad Abu Zahra: 315

Muhammad bin Zakaria: 29

Muhammad SAW: 4, 26, 79-80, 121-123, 130, 132-133, 137,

153-154, 157, 163

Mu'jizah: 5-6

Mukadimah tafsir: 166

Mukjizat abadi: 4

Mukjizat aklani: 9, 152, 154, 156

Mukjizat eksternal: 152

Mukjizat indrawi: 9, 156

Mukjizat internal: 152

Mukjizat kenabian: 10

Muktazilah: 71, 106, 110, 113, 122, 164, 175, 227-228, 316

Multidimensi Al-Qur'an: 226

Mumkin al-wujûd: 71

Muqaththa’ah: 313

Murtâdh: 10

Murtadha Muthahari: 308, 331

Musâwî al-wuqû: 96

Musta’liyah: 197

p: 363

Musthafa Mahmud: 298

Musthafa Shadiq Rafi'i: 292

Musyabbah: 244

Musyabbah-bih: 244

Muthâbaqi,: 134

N

Nabi Ibrahim as: 3,79, 156, 188

Nabi Isa as: 3,50, 76, 79, 120, 130, 151, 153

Nabi Musa as: 3, 75, 79-80, 136, 151, 156, 188, 204, 213, 222,

299, 342

Nadham Muktazili: 176

Naim Himsha: 317

Nalar logis: vii

Naluri kuriositas: vii

Naqsh: 69

Naturalistik: 285

Nazdm: 227, 241, 293, 319

Newton: 287, 309

Nilai kejujuran: 139

Normatif: 135, 283, 288

Objek kekuasaan: 71

Pandangan Asy'ariyah: 60, 66

Pandangan Zamakhsyari: 111

Paul Tillich: 20, 329

Pemikir kontemporer: 20

Perancis: 30, 35, 39, 55

Peripatetisme: 44

Perspektif klasik: 19

p: 364

Plato: 287

Plotemius: 287

Positivisme: 58

Proses kognitif: 91

Pytagoras: 287

Qâbilayyat al-qabil: 71

Qadhi Abdul Jabbar bin Ahmad: 106

Qadhi Abdul Jabbar Muktazili: 14

Qadhi ‘Iyadh: 111

Qadr: 66

Qafiyah: 108

Qath’i: 311

Qot'î: 164

Quraisy: 77, 193

Qurb Nâfilah: 16

Quthbuddin bin Hasan Sa'id bin Hibatullah Rawandi: 112

Raghib Isfahani: 109-110, 155

Raihana Arab: 192

Raja Namrud: 3

Raja Samanik: 29

Rasional: 14, 44, 46, 57-58, 60, 67, 73, 84-85, 90-91, 93-94, 117-

118, 128, 134, 137, 163, 275, 283, 287, 303, 314, iii, iv, 335

Rasional: iii, iv, 84, 163, 283

Rasyad Khalifah: 313

Raymond, or Life and Death: 38

Realitas: viii, vii, iii, 9, 15, 19-20, 27-29, 39, 48, 53-54, 56, 58-59,

68, 79, 86, 90-91, 93, 102, 117, 125, 129-130, 142, 146, 155-

156, 173, 185, 190, 235, 241, 243, 245, 249, 256, 269, 298

Rekonstruksi: 235

Retorika: 108, 112, 153-154, 181, 208, 225, 267, 292, 316

Richard Swinburne: 20,92, 134, 329, 331-332, 334-335

p: 365

Riyâdhah: 12

Sains modern: viii

Sajak Mutawazin: 233

Sajak Mutharraf: 233

Sayyâl: 36

Sayyid Abdullah Syubbar: 186-187

Sayyid Ahmad Khan Hindi: 75

Sayyid Hibatuddin: 292, 297

Sayyid Quthub: 196, 292, 295-297, 323

Sejarah akidah: 157

Sejarah kenabian: vii

Shalah Abdul Fatah Khalidi: 314

Sharfah: iv, 21, 24, 104, 107, 113, 143, 146, 148, 167, 174-177,

180-182, 187

Shudfah: 55

Sinkhiyyah: 60

Sinkhiyyat al-'illah wa al-ma'lûl: 73

Skeptisisme: 21, 163

Socrates: 287

Subjek efektivitas: 95

Sultan: 159, 323

Sumber Wujud: 97

Sunnatullah: 67, 78

Supranatural: 12

Syadidah: 197

Syaikh Isyraq Syahrawardi: 45

Syekh Abu Ja'far Muhammad bin Hasan Thusi: 107

Syekh Muhammad Jawad Balaghi: 303

Syekh Thusi: 112, 166

p: 366

Tabarsi: 161

Tadhammuni: 134

Tafsir: 7,66, 110-111, 161, 166, 186, 215, 247, 295, 297,303-304

Tahaddi: 106, 161

Tahaddî: 5, 79, 107, 111-112, 115, 147, 164, 177, 186, 295, 305

Takhallus: 223

Takrâr: 230

Takwil: iii, 64, 74, 76, 84, 219, 288

Takwînî: 95

Tamtsîl: 230

Tamtsil: 247

Taqdîm wa ta’khîr: 230

Taqdîm wa ta’khîr: 230

Ta’rîf wa nakirah: 230

Tashdir: 240

Tauhîd af’âlî: 65

Tauhid tindakan: 65, 85, 99, 117, 128

Teolog Asy'ariyah: 61, 63-64, 67-68, 104, 175, 229

Teolog Muktazilah: 106, 110, 122, 164, 228

Teori Berita Gaib Al-Qur'an: 148

Teori keindahan: 107

Teori Kompisisi: 148

Teori lirik: 107, 241

Teori Lirik: 241

Teori Non-Orisinal: iv, 174

Teori relativitas mukjizat: 80

Teori Sharfah: 21, 104, 107, 113, 143, 167, 174-175, 180-182, 187

Teori Sharfah versi Nadham: 148

Teori Sharfah versi Sayyid Murtadha: 107, 143

Terminologi mukjizat: iii, 7

Thabí'î: 134

Thayy al-ardh: 38

Thomas Aquinas: 18, 329

Thusi: 9, 107, 112, 166, 324, 334

Tidur artifisial: iii, 30

p: 367

Tongkat Nabi Musa as: 3,79, 156

Transenden: 44, 46, 48, 102, 126, 129, 136, 181, 224, 244, 250, 263

Ummi: iv, 104, 119, 121, 152, 255-256, 310, 312

‘Uqûl mufâriqah: 46

‘Uqûl mujarradah: 46

Ushûl musallamah: 68

Uslûb: 293

W

Wahyu Makkiyah: 169

Wajh syibh: 244

Wajib bi al-ghair: 71

Walid bin Mughirah Makhzumi: 192

Washfi: 134

Wazn: 108

William James: 39

Wujud transenden: 136

Zamakhsyari: 110-111, 201, 203, 210-211, 247, 252, 254, 297,

324, 343-344

***

p: 368

tentang Pusat

Bismillahirohmanirrohim

هَلْ یَسْتَوِی الَّذِینَ یَعْلَمُونَ وَالَّذِینَ لَا یَعْلَمُونَ

Apakah sama antara orang yang berpengetahuan dan tidak berpengetahuan?

Quran Surat Az-Zumar: 9

Selama beberapa tahun sekarang, Pusat Penelitian Komputer ghaemiyeh telah memproduksi perangkat lunak seluler, perpustakaan digital, dan menawarkannya secara gratis. Pusat ini benar-benar populer dan didukung oleh hadiah, sumpah, wakaf dan alokasi bagian yang diberkati dari Imam AS. Untuk layanan lebih lanjut, Anda juga dapat bergabung dengan orang-orang amal di pusat tersebut di mana pun Anda berada.
Tahukah Anda bahwa tidak semua uang layak dibelanjakan di jalan Ahl al-Bayt (as)?
Dan tidak setiap orang akan memiliki kesuksesan ini?
Selamat untukmu.
nomor kartu :
6104-3388-0008-7732
Nomor rekening Bank Mellat:
9586839652
Nomor rekening Sheba:
IR390120020000009586839652
Dinamakan: (Lembaga Penelitian Komputer Ghaemieh)
Setorkan jumlah hadiah Anda.

Alamat kantor pusat:

Isfahan, Jl. Abdurazak, Bozorche Hj. Muhammad Ja’far Abadei, Gg. Syahid Muhammad Hasan Tawakuli, Plat. No. 129/34- Lantai satu.

Website: www.ghbook.ir
Email: info@ghbook.ir
Nomor Telepon kantor pusat: 031-34490125
Kantor Tehran: 021-88318722
Penjualan: 09132000109
Pelayanan Pengguna: 09132000109